
IndonesiaVoice.com – Di lereng Bukit Barisan, di mana kabut pagi menyelimuti puncak-puncak gunung, seorang pemimpin lahir.
Namanya, Patuan Bosar Sinambela, atau lebih dikenal sebagai Raja Sisingamangaraja XII, adalah cahaya yang menerangi kegelapan penjajahan.
Lahir pada 18 Februari 1845, ia bukan sekadar raja, melainkan simbol perlawanan, pemersatu, dan penjaga martabat budaya Batak.
Perjuangannya melawan Belanda, yang dimulai pada 1878, bukan hanya tentang mempertahankan tanah, tetapi juga tentang menjaga adat, agama, dan identitas bangsa Batak dari cengkeraman kolonialisme.
“Perannya tidak hanya sebagai pemimpin politik, Beliau juga dianggap sebagai pemimpin spiritual, yang mewujudkan nilai-nilai dan tradisi masyarakat Batak,” kata Dr. Freddy Pandiangan, Wakil Sekjen DPN Batak Center, dalam Memorial Lecture 180 Tahun Pahlawan Nasional Raja Sisingamangaraja XII, yang digelar secara hybrid oleh Batak Center, di Jakarta, Kamis (20/3/2025).
Baca juga: Menggali Nilai Keteladanan Sisingamangaraja XII, Cahaya yang Menyinari Generasi Milenial
Perlawanan yang Tak Kenal Lelah
Sisingamangaraja XII adalah pemimpin yang tak kenal kompromi. Dengan strategi gerilya, ia memimpin perlawanan di medan yang sulit, menghindari penangkapan selama bertahun-tahun.
Ia bukan hanya pemimpin militer, tetapi juga pemimpin spiritual. Sebagai parmalim, ia diyakini memiliki kekuatan khusus yang memperkuat otoritasnya di mata rakyatnya.
Upacara-upacara keagamaannya bukan sekadar ritual, melainkan panggilan untuk mengangkat senjata dan melindungi tanah serta tradisi mereka.
“Beliau adalah simbol perlawanan terhadap ketidakadilan,” kata Freddy. “Perjuangannya melawan Belanda adalah perjuangan untuk kemerdekaan dan kebebasan.”
Baca juga: Raja Sisingamangaraja XII, Matahari yang Tak Pernah Tenggelam di Tanah Batak
Pemersatu di Tengah Keragaman
Sisingamangaraja XII bukan hanya pemimpin bagi suku Batak. Ia adalah pemersatu. Ia menyatukan berbagai suku di Tanah Batak, membangun aliansi, dan menggalang kekuatan untuk melawan penjajah. Dalam perjuangannya, ia mengajarkan pentingnya solidaritas dan kerja sama.
“Dalam perbedaan, ada kekuatan apabila kita bersatu,” ujar Freddy.
Nilai-nilai luhur habatakon, seperti Dalihan Na Tolu, menjadi pedoman dalam kepemimpinannya. Ia menghormati tradisi dan budaya, menjadikannya sebagai kekuatan untuk melawan dominasi asing.
Warisan yang Abadi
Kematian Sisingamangaraja XII pada 17 Juni 1907 bukanlah akhir dari pengaruhnya. Justru, ia menjadi simbol kemerdekaan dan kebanggaan budaya.
Orang Batak terus menghormatinya melalui ekspresi budaya dan peringatan, memastikan bahwa nilai-nilai dan perjuangannya tetap hidup.
Pada 9 November 1961, pemerintah Indonesia mengukuhkannya sebagai Pahlawan Nasional melalui SK Presiden RI No 590/1961. Ini adalah pengakuan atas perjuangannya yang tak kenal lelah untuk kemerdekaan dan martabat bangsa.
Inspirasi bagi Generasi Milenial
Di era modern, nilai-nilai perjuangan Sisingamangaraja XII tetap relevan. Ia menginspirasi generasi muda untuk mempertahankan identitas budaya, melawan ketidakadilan, dan memperjuangkan keberlanjutan.
“Beliau adalah contoh pemimpin yang visioner, berintegritas, dan berani berkorban,” kata Freddy.
Dalam konteks Indonesia Emas 2045, nilai-nilai yang diwariskan oleh Sisingamangaraja XII—seperti solidaritas sosial, pelestarian budaya, dan kepemimpinan yang berintegritas—menjadi kunci untuk menghadapi tantangan globalisasi.
Raja Sisingamangaraja XII bukan hanya pahlawan bagi orang Batak, tetapi bagi seluruh Indonesia. Ia adalah simbol perlawanan, pemersatu, dan penjaga martabat budaya.
Warisannya terus hidup, menginspirasi generasi demi generasi untuk memperjuangkan kebenaran, keadilan, dan kemerdekaan.
Di lereng Bukit Barisan, di mana kabut pagi masih menyelimuti puncak-puncak gunung, semangat Sisingamangaraja XII tetap menyala. Seperti matahari yang tak pernah tenggelam, cahayanya terus menerangi jalan menuju Indonesia yang lebih baik.
Be the first to comment