
IndonesiaVoice.com – Di bawah langit biru Anatolia yang memantulkan cahaya keemasan matahari senja, Presiden Prabowo Subianto berdiri di podium Antalya Diplomacy Forum, suaranya mengalir tenang namun berkarakter seperti aliran sungai yang dalam.
“Rakyat kami tidak ingin dilibatkan dalam aliansi atau blok manapun, khususnya blok militer. Kami netral,” tegas Prabowo Subianto, dalam keterangan persnya, Sabtu (12/4/2025).
Kalimat itu terasa seperti pisau bermata dua—tegas di satu sisi, namun penuh kerendahan hati di sisi lain. Sebuah deklarasi yang bukan hanya politik, tapi juga filosofi hidup yang telah mengalir dalam darah Nusantara sejak era Non-Aligned Movement.
Warisan Kuno dalam Diplomasi Modern
Prabowo tidak sekadar berbicara tentang kebijakan luar negeri. Ia merangkai kata-kata seperti seorang dalang yang memainkan wayang-wayang sejarah: India, Mesir, Yugoslavia—negara-negara pendiri Gerakan Non-Blok yang dulu bersatu melawan polarisasi Perang Dingin.
“Seribu teman terlalu sedikit. Satu musuh terlalu banyak,” imbuhnya.
Ungkapan itu ia lontarkan dengan senyum samar, seolah mengingatkan kita pada pepatah Jawa “ꦲꦺꦴꦫꦔꦶꦱꦶꦤꦶꦁꦔꦭꦃꦲꦏ꦳ꦃꦲꦶꦏꦶꦃꦲꦤꦏ꦳ꦸ” (Ora sinungging, akeh sing apik)—”Tak perlu memihak, banyak yang akan baik.”*
Filosofi ini, katanya, bukan sekadar retorika. Ia telah menjadi napas ASEAN—sebuah kawasan yang memilih “bicara, bicara, dan bicara” alih-alih saling menghancurkan.
“Terkadang bicara itu membosankan,” ujarnya sambil tertawa kecil, “tapi lebih baik bicara daripada bertikai.”
Baca juga: Ketika AI Jadi Pengacara, Hakim New York Marah Diduga ‘Disesatkan’ Avatar Digital
Indonesia sebagai Jembatan Dunia
Di hadapan para diplomat dan pemikir global, Prabowo membayangkan Indonesia bukan sebagai negara yang terjepit di antara raksasa-raksasa geopolitik, tapi sebagai jembatan. Seperti dermaga yang menghubungkan kapal-kapal dari segala penjuru samudera.
“Saya ingin berada dalam hubungan yang sangat baik. Saya ingin menghormati semua kekuatan besar, sebagaimana saya berharap mereka juga menghormati kita,” jelasnya.
Kalimat itu diucapkannya dengan nada yang hampir seperti doa. Sebuah harapan agar dunia tak lagi dibelah oleh blok-blok yang saling berseteru, melainkan dirajut oleh diplomasi yang menghargai kedaulatan masing-masing.
Baca juga: AS Naikkan Tarif, Indonesia Ogah Balas Dendam, Ini Alasannya
Netralitas: Bukan Pasif, Tapi Bijak
Bagi Prabowo, netralitas bukan berarti diam. Ia menggambarkannya seperti pendekar yang memilih tidak menarik pedang bukan karena takut, tapi karena tahu perang hanya akan melukai kedua belah pihak.
“Prinsip ini sudah saya pegang sejak kampanye,” tegasnya.
Dan mungkin, inilah yang membedakan visinya: netralitas yang aktif, seperti air yang mengalir lembut tapi mampu mengikis batu. Sebuah strategi yang bukan hanya untuk hari ini, tapi untuk warisan perdamaian generasi mendatang.
Di akhir pidatonya, Prabowo meninggalkan satu pesan yang menggema: Indonesia tidak akan menjadi pion dalam papan catur geopolitik. Ia ingin Nusantara tetap menjadi tanah damai—tempat di mana seribu teman masih terasa kurang, dan satu musuh pun sudah terlalu berat untuk dipikul.
Be the first to comment