Geger! Dokter PPDS Unpad Diduga Perkosa Keluarga Pasien, Komnas Perempuan Desak ‘Zona Tanpa Toleransi’

Dokter PPDS Unpad Diduga Perkosa Keluarga Pasien
Geger! Dokter PPDS Unpad Diduga Perkosa Keluarga Pasien, Komnas Perempuan Desak 'Zona Tanpa Toleransi'

IndonesiaVoice.com – Rumah sakit seharusnya menjadi tempat di mana luka diobati, nyeri diredakan, dan harapan dipupuk. 

Namun, bagi seorang perempuan yang hanya ingin menemani keluarganya yang sakit di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS), ruang itu justru berubah menjadi mimpi buruk. 

Di balik tembok putih yang steril, di antara desis alat medis dan langkah cepat tenaga kesehatan, ia menjadi korban pemerkosaan oleh seorang dokter anestesi—seorang yang diharapkan meringankan penderitaan, bukan menambahnya.

Kasus ini bukan sekadar insiden kriminal biasa. Ini adalah pengkhianatan terhadap sumpah Hippocrates, pelanggaran terhadap kepercayaan, dan bukti betapa rapuhnya sistem pengawasan di fasilitas kesehatan. 

Baca juga: Ketika AI Jadi Pengacara, Hakim New York Marah Diduga ‘Disesatkan’ Avatar Digital




 

Pelaku, seorang peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Universitas Padjadjaran, menggunakan statusnya sebagai tenaga medis untuk melakukan kekerasan seksual. 

Sebuah ironi pahit: di tempat yang seharusnya menjadi benteng perlindungan, justru muncul predator berjas putih.

Gunung Es Kekerasan Seksual di Fasilitas Kesehatan

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyebut kasus ini sebagai bagian dari fenomena gunung es. 

Dalam Catatan Tahunan 2024, tercatat 1.830 kasus kekerasan seksual di ranah publik, tiga diantaranya terjadi di fasilitas kesehatan. Angka itu mungkin hanya puncaknya saja.

Baca juga: Simpati Prabowo pada Keluarga Koruptor Jadi Sorotan, ICW: Justru Banyak Keluarga Ikut Nikmati Uang Haram!




 

“Banyak korban takut melapor karena ancaman pelaku, rasa malu, atau kekhawatiran dikriminalisasi,” ujar Dahlia Madanih, Komisioner Komnas Perempuan. 

“Ini masa-masa sulit bagi korban. Mengalami kekerasan seksual di tempat yang seharusnya didedikasikan untuk penyembuhan—sungguh di luar nalar.”

RS Hasan Sadikin, Kementerian Kesehatan, dan Universitas Padjadjaran telah mengambil tindakan disiplin. Namun, Komnas Perempuan menegaskan bahwa langkah hukum saja tidak cukup. 

Perlu ada perubahan sistemik—kebijakan “Zona Tanpa Toleransi” kekerasan seksual di seluruh fasilitas kesehatan, mekanisme pelaporan yang aman, serta penguatan etika profesi.

Baca juga: Dokter Residen Anestesi Jadi Tersangka Kekerasan Seksual di RSHS Bandung, KemenPPPA: Kami Kawal Korban!




 

Penyalahgunaan Keilmuan dan Kekuasaan

Yang membuat kasus ini lebih mengerikan adalah dimensi kekuasaan di dalamnya. Pelaku bukanlah orang sembarangan; ia seorang dokter yang terikat sumpah dan Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI). 

Ia memiliki akses ke ruang privat pasien, kepercayaan keluarga, dan otoritas medis—semuanya disalahgunakan untuk memuaskan nafsu.

“Kasus ini tidak bisa dilihat sekadar tindak pidana biasa. Ada penyalahgunaan keilmuan dan wewenang,” tegas Yuni Asriyanti, Komisioner Komnas Perempuan. 

“Ini bukan soal ‘oknum’, tapi kegagalan sistem dalam mencegah kekerasan seksual di lingkungan profesi kedokteran.”

Baca juga: KKJ Desak Kapolri Cabut Aturan SKK Jurnalis Asing, Ini Alasannya




 

Komnas Perempuan mendorong organisasi profesi kesehatan untuk menciptakan mekanisme pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. 

Tanpa itu, rumah sakit hanya akan menjadi ruang steril yang menyembunyikan luka-luka tak terlihat.

Proses Hukum dan Hak Korban

Polda Jawa Barat telah menetapkan pelaku sebagai tersangka berdasarkan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). 

Komnas Perempuan mengapresiasi langkah cepat ini, tetapi mengingatkan: proses hukum harus transparan, tanpa kompromi melalui restorative justice atau perdamaian sepihak.

Baca juga: AS Naikkan Tarif, Indonesia Ogah Balas Dendam, Ini Alasannya




 

“Korban berhak atas perlindungan, pemulihan, restitusi, dan pendampingan. Layanan harus mudah diakses, cepat, dan manusiawi,” tegas Yuni.

Akankah Rumah Sakit Kembali Menjadi Ruang Aman?

Kasus ini adalah tamparan keras bagi dunia kesehatan Indonesia. Ketika seorang dokter—yang seharusnya menjadi pelindung—berubah menjadi predator, siapa lagi yang bisa dipercaya?

Rumah sakit harus lebih dari sekadar bangunan dengan peralatan canggih. Ia harus menjadi ruang yang menjamin keamanan, terutama bagi mereka yang sedang dalam kondisi rentan. 

Tanpa itu, kita hanya akan terus menyaksikan pengulangan tragedi yang sama: di balik pintu kamar perawatan, di antara bisikan doa untuk kesembuhan, ada teriakan korban yang tak terdengar.

Baca juga: Laut Mengejar, Daratan Menyusut, 2000 Pulau Akan Hilang: Nasib Indonesia di Laporan PBB




 

Komnas Perempuan berjanji memantau kasus ini hingga tuntas. Tapi satu pertanyaan tetap menggantung: Akankah kita membiarkan ruang penyembuhan terus menjadi ruang kekerasan?

Be the first to comment

Tinggalkan Balasan