Simpati Prabowo pada Keluarga Koruptor Jadi Sorotan, ICW: Justru Banyak Keluarga Ikut Nikmati Uang Haram!

ICW

IndonesiaVoice.com – Di tengah lengang udara Hambalang, dalam wawancara bersama enam pemimpin redaksi media, Presiden Prabowo Subianto melemparkan sebuah simpati yang mengundang gemuruh tanda tanya.

Bukan kepada korban, bukan kepada rakyat yang dirampas hak hidupnya oleh korupsi. Tapi kepada keluarga para koruptor — mereka yang dalam banyak kasus justru ikut menikmati, bahkan menyembunyikan hasil kejahatan.

“Saya kasihan sama keluarganya,” ungkap Prabowo, menanggapi wacana pemiskinan koruptor dan lambatnya pengesahan RUU Perampasan Aset.

Baca juga: Dokter Residen Anestesi Jadi Tersangka Kekerasan Seksual di RSHS Bandung, KemenPPPA: Kami Kawal Korban!


Kalimat sederhana itu menyulut bara di dada banyak pegiat antikorupsi. Salah satunya datang dari Indonesia Corruption Watch (ICW) yang menilai pernyataan itu sebagai bentuk pengaburan batas antara keadilan dan pemakluman.

Simpati yang keliru, yang justru meredupkan cahaya komitmen pemberantasan korupsi.

Keluarga, Pelindung atau Komplotan?

Data tak pernah berdusta. Dari hasil pemantauan ICW atas tren penindakan korupsi 2015–2023, ditemukan bahwa dalam 46 kasus korupsi, sebanyak 44% pelakunya melibatkan anggota keluarga tersangka utama.

Tak semua keluarga adalah korban. Banyak di antara mereka justru pelaku — baik aktif sebagai perencana atau pasif sebagai penikmat hasil.

Baca juga: KKJ Desak Kapolri Cabut Aturan SKK Jurnalis Asing, Ini Alasannya


Korupsi tidak berdiri sendiri. Ia hidup dalam jaringan, tumbuh di lingkaran kepercayaan, dan kerap kali itu berarti keluarga.

Rumah menjadi tempat cuci uang. Harta disamarkan dalam nama istri, anak, atau saudara. Uang kotor berganti wajah, tapi tidak pernah kehilangan bau busuknya.

Namun hingga kini, RUU Perampasan Aset yang telah diperjuangkan sejak 2012, belum juga lahir.

Ironisnya, di bawah pemerintahan Prabowo yang mayoritas partainya mendominasi parlemen, RUU ini bahkan tidak masuk dalam Prolegnas Prioritas 2025.

Baca juga: AS Naikkan Tarif, Indonesia Ogah Balas Dendam, Ini Alasannya


Padahal, bila ada kehendak politik yang tulus, pengesahan itu semestinya hanya soal waktu.

Kehilangan Fokus pada Korban Sejati

Apa yang sering terlupakan dalam narasi korupsi adalah siapa yang sesungguhnya paling menderita. Bukan koruptor, bukan keluarganya, melainkan rakyat.

Mereka yang kehilangan akses terhadap layanan publik yang layak, kehilangan kesempatan hidup yang lebih baik, dan dipaksa menerima ketimpangan sebagai takdir.

ICW menyebut bahwa dari kerugian negara akibat korupsi sebesar Rp234,8 triliun, hanya 13 persen yang berhasil dikembalikan ke kas negara. Sisanya? Hilang, lenyap bersama janji-janji perubahan.

Baca juga: Laut Mengejar, Daratan Menyusut, 2000 Pulau Akan Hilang: Nasib Indonesia di Laporan PBB


Lalu, ketika simpati negara justru mengalir kepada keluarga para pencuri uang rakyat, pantaskah kita masih berharap korupsi akan betul-betul diberantas?

Sinyal Mundurnya Agenda Antikorupsi

Pernyataan Prabowo tak bisa dipandang ringan. Di tengah krisis kepercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum, sikap Presiden memiliki daya resonansi yang kuat.

Ia bisa menjadi mercusuar atau justru kabut. Dan saat ini, banyak yang merasa ia lebih memilih kabut.

ICW mendesak Presiden untuk segera mendorong pengesahan RUU Perampasan Aset. Ini bukan soal mempermalukan keluarga koruptor, tapi memastikan bahwa keadilan tidak berhenti pada vonis penjara.

Baca juga: Dukung Ganjar-Mahfud, Cak Lontong Alami Intoleransi Politik, ‘Dihukum’ Pembatalan Job 


Kekayaan haram harus disita, akar korupsi harus dicabut — hingga tidak ada ruang aman lagi bagi para pencuri berdasi, bahkan jika mereka bersembunyi di balik nama keluarga.

Be the first to comment

Tinggalkan Balasan