KKJ Desak Kapolri Cabut Aturan SKK Jurnalis Asing, Ini Alasannya

Ilustrasi Kebebasan Pers

IndonesiaVoice.com – Di sebuah ruangan sempit di pusat ibu kota, secarik dokumen ditebar di atas meja kayu bertuliskan—Perpol No. 3 Tahun 2025. Kertas itu dingin, namun isi dan dampaknya menyulut bara. 

Bara perlawanan dari Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) Indonesia, yang tak hendak diam menyaksikan sebuah kebijakan yang dianggapnya bisa menjadi palu godam bagi kebebasan pers.

Hari itu, suara protes menggema di lorong-lorong kesadaran publik yang mulai lelah dengan pembungkaman. Perpol Nomor 3 Tahun 2025 ini bukan sekadar regulasi, ini ancaman sistemik. 

Perpol Nomor 3 Tahun 2025, yang baru saja disahkan pada 10 Maret lalu, memuat satu pasal kontroversial: “jurnalis asing kini diwajibkan memiliki Surat Keterangan Kepolisian (SKK) untuk dapat melakukan kerja-kerja jurnalistik di Indonesia”.


Baca juga: AS Naikkan Tarif, Indonesia Ogah Balas Dendam, Ini Alasannya 

Bagi KKJ, ini bukan hanya pasal biasa. Ini adalah bentuk pembangkangan terhadap semangat reformasi dan konstitusi yang sudah menjamin kemerdekaan pers sebagai hak asasi.

Melampaui Batas, Melanggar Konstitusi

Hukum Indonesia sudah lama punya koridor yang jelas untuk mengatur peliputan oleh jurnalis asing. Jalurnya ada di Kementerian Komunikasi dan Digital, dengan pengawasan Dewan Pers—lembaga independen yang dibentuk dari rahim semangat reformasi itu sendiri.

Namun Perpol ini, kata KKJ, tiba-tiba merangsek masuk. Polisi, yang secara hukum tak punya mandat untuk mengatur kerja jurnalistik, kini malah menjadi pintu gerbang baru yang harus dilalui jurnalis dari luar negeri. Bukan hanya tumpang tindih, tapi ini penyerobotan.



 

Baca juga: Laut Mengejar, Daratan Menyusut, 2000 Pulau Akan Hilang: Nasib Indonesia di Laporan PBB

Luka Lama yang Dikhawatirkan Terbuka Lagi

Bagi insan pers, intervensi semacam ini mengingatkan pada masa lalu yang kelam—di mana pers bukan penjaga demokrasi, melainkan sekadar pengeras suara kekuasaan. 

Kekhawatiran mereka tak main-main. Selain membuka ruang represif, Perpol ini dikhawatirkan jadi alat legitimasi untuk membungkam jurnalis, terutama dalam situasi sensitif seperti peliputan konflik, korupsi, atau isu-isu HAM.

Maka KKJ tak lagi hanya menyuarakan keprihatinan. Mereka menuntut Tegas. Tak ada kompromi. Di antara desakan mereka:

  1. Cabut Pasal 5 Ayat (1) Perpol No. 3/2025.
  2. Hentikan pembuatan peraturan sejenis yang berpotensi membatasi ruang gerak jurnalis.
  3. Libatkan publik dan pemangku kepentingan dalam setiap proses kebijakan yang menyentuh kebebasan berekspresi.
  4. Dan yang terpenting: jaga demokrasi dari dalam, bukan dari balik senjata dan seragam.




 

Baca juga: Dukung Ganjar-Mahfud, Cak Lontong Alami Intoleransi Politik, ‘Dihukum’ Pembatalan Job 

Suara Rakyat Harus Menyala

Apa arti demokrasi jika suara kebenaran dibatasi aksesnya? Jika mereka yang mengabarkan fakta harus menunggu restu dari senjata? Pertanyaan-pertanyaan itulah yang menggantung di udara, bersama kecemasan kolektif yang pelan-pelan berubah menjadi perlawanan sipil.

KKJ, dengan 11 organisasi pendiri yang mewakili jurnalis, aktivis, dan masyarakat sipil, kini berdiri sebagai pagar api terakhir. Mereka bukan hanya menolak Perpol ini, tapi juga melindungi satu-satunya jalur yang tersisa bagi demokrasi: “kebebasan berbicara dan memberitakan”.

Be the first to comment

Tinggalkan Balasan