
IndonesiaVoice.com – Di balik tembok putih Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS), tempat yang seharusnya menjadi ruang pemulihan dan harapan, tersimpan sebuah kenyataan pahit yang mengguncang nurani.
Seorang dokter residen anestesi dari Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran diduga melakukan kekerasan seksual terhadap keluarga pasien—sebuah peristiwa yang mengubah rumah sakit menjadi ruang luka, bukan sekadar fisik, tapi batin yang dalam.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Arifah Fauzi, menyampaikan keterpukulannya atas kasus ini.
Dalam pernyataannya di Jakarta, Jumat (11/4/2025) beliau menekankan bahwa tidak ada ruang publik, termasuk rumah sakit, yang boleh menjadi panggung kekerasan terhadap perempuan.
Baca juga: KKJ Desak Kapolri Cabut Aturan SKK Jurnalis Asing, Ini Alasannya
“Ini adalah peringatan pahit bahwa kekerasan seksual bisa terjadi di mana saja. Bahkan di tempat yang seharusnya menjadi benteng terakhir rasa aman. Tidak ada satu pun perempuan yang pantas menjadi korban kekerasan seksual,” ujar Menteri Arifah dengan suara getir, namun tegas.
Kementerian PPPA kini mengawal penuh jalannya proses hukum dan pemulihan korban.
Lebih dari sekadar pendampingan psikologis dan konseling, negara hadir untuk memastikan bahwa hak-hak korban dipulihkan dan pelaku mendapatkan hukuman yang setimpal.
Saat Hukum Menjadi Cahaya
Tersangka yang kini telah ditahan oleh Polrestabes Bandung terancam Pasal 6 jo Pasal 15 UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).
Baca juga: AS Naikkan Tarif, Indonesia Ogah Balas Dendam, Ini Alasannya
Ancaman hukumannya berat: penjara hingga 12 tahun dan/atau denda Rp300 juta. Namun itu belum cukup.
Karena posisi pelaku sebagai tenaga medis dan relasi kuasa yang melekat, hukum memungkinkan pemberatan pidana hingga sepertiga dari vonis maksimal.
“Ini bukan sekadar soal hukum, ini tentang rasa keadilan yang selama ini kabur bagi banyak korban,” kata Arifah.
Ia pun memberikan apresiasi kepada UPTD PPA Provinsi Jawa Barat dan Kota Bandung atas respons cepat mereka.
Baca juga: Laut Mengejar, Daratan Menyusut, 2000 Pulau Akan Hilang: Nasib Indonesia di Laporan PBB
Dalam waktu singkat, pendampingan diberikan, koordinasi dengan pihak kepolisian dilakukan, dan pelaku berhasil diamankan.
Bukti nyata bahwa ketika sistem bergerak serempak, keadilan bukan lagi sekadar mimpi.
Berani Melapor, Berani Melawan
Kasus ini menjadi tamparan bagi banyak institusi. Bahwa kampus, rumah sakit, bahkan ruang pelayanan publik sekalipun, membutuhkan sistem pencegahan kekerasan seksual yang kokoh.
Karena ketika kekuasaan disalahgunakan, tubuh manusia bisa menjadi medan perang yang sunyi.
Menteri Arifah pun menyerukan pada masyarakat untuk berani melapor. Untuk tidak lagi menunduk dalam diam.
Baca juga: Dukung Ganjar-Mahfud, Cak Lontong Alami Intoleransi Politik, ‘Dihukum’ Pembatalan Job
Layanan Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129, baik melalui hotline maupun WhatsApp di 08111-129-129, siap mendengar dan bergerak.
“Kami mendukung keberanian korban dan keluarganya. Melaporkan adalah bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan. Suara mereka adalah suara semua perempuan yang selama ini dibungkam oleh rasa takut,” tutupnya dengan suara lantang, menggema dari Jakarta hingga ke lorong-lorong sunyi rumah sakit itu.
Be the first to comment