
IndonesiaVoice.com – Langit masih berdebu ketika Htet Min Oo (25) membuka matanya. Bau tanah basah, besi bengkok, dan sesuatu yang lebih tajam—bau kematian—memenuhi udara.
Separuh tubuhnya terperangkap di bawah reruntuhan tembok masjid, tempat ia baru saja berwudhu untuk sholat Jumat.
Di telinganya masih bergema suara gemuruh, seperti langit yang runtuh ke bumi.
Gempa berkekuatan M7,7 telah mengubah Mandalay menjadi kota yang bergetar—bukan hanya oleh guncangan bumi, tapi juga oleh ratapan.
Militer Myanmar mengumumkan korban tewas mencapai 1.644 jiwa per Sabtu (29/3). Tapi angka itu hanyalah statistik.
Di baliknya, ada nama-nama: seorang nenek yang tak sempat menyambung sholat terakhirnya, dua paman yang terkubur di bawah beton, dan ratusan Muslim lain yang hilang di tengah persiapan Idul Fitri.
Baca juga: Mereka Datang untuk Mengabdi, Tapi Justru Dibantai: Tragedi di Yahukimo
Lebih dari 50 masjid hancur. Bukan sekadar bangunan, melainkan saksi bisu dari doa-doa yang tiba-tiba terputus.
“Saya Menyelamatkan Empat Orang, Tiga di Antaranya Sudah Mati”
Di Desa Sule Kone, seorang lelaki 39 tahun—yang namanya ia rahasiakan, karena ketakutan lebih besar daripada keinginan untuk dikenang—berlari di antara puing. Tangannya mengais batu dan kayu, mencoba menarik tubuh-tubuh yang sebagian sudah dingin.
“Saya menyelamatkan empat orang dengan tangan saya sendiri,” katanya, suaranya pecah.
Baca juga: Raja Sisingamangaraja XII, Cahaya Perlawanan yang Tak Pernah Padam
“Tiga diantaranya sudah tidak bernyawa. Yang keempat… meninggal di pelukan saya.”
Ia menggambarkan pemandangan itu seperti mimpi buruk yang tak kunjung usai: jamaah terjepit di antara tiang-tiang roboh, Al-Qur’an berserakan di lantai yang retak, suara azan tergantikan oleh jerit minta tolong.
Lalu, gempa susulan datang. Ia harus lari, meninggalkan seorang pria yang masih terjebak, tangannya terulur seolah memohon.
Baca juga: Menggali Nilai Keteladanan Sisingamangaraja XII, Cahaya yang Menyinari Generasi Milenial
“Kami tidak punya alat berat. Hanya tangan dan doa,” ujarnya.
“Tidak Ada yang Datang Menyelamatkan Kami”
Htet Min Oo masih mencoba mengikis beton dengan jarinya yang sudah berdarah ketika matahari terbenam.
Dua pamannya dan neneknya masih di bawah sana. Tapi semakin lama, harapan semakin tipis.
(Dari berbagai sumber)
Be the first to comment