
IndonesiaVoice.com – Papua Pegunungan, Jumat, 21 Maret 2025. Langit pagi yang semestinya cerah, tiba-tiba gelap oleh asap hitam yang membumbung tinggi.
Asap itu berasal dari bangunan sekolah dan rumah sakit milik gereja yang dilalap si jago merah.
Suara jeritan dan tangis memecah kesunyian lembah. Di balik asap, terlihat sosok-sosok bersenjata bergerak cepat, meninggalkan jejak darah dan kehancuran.
Ini bukan sekadar serangan. Ini adalah tragedi kemanusiaan yang menoreh luka dalam di hati Papua.
Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) menyebutnya sebagai “pengingkaran terhadap nilai-nilai kemanusiaan.”
Baca juga: Raja Sisingamangaraja XII, Cahaya Perlawanan yang Tak Pernah Padam
Satu guru tewas, empat lainnya luka berat—tiga guru dan satu tenaga kesehatan—serta dua guru luka ringan.
Mereka adalah para pahlawan tanpa tanda jasa yang memilih mengabdi di daerah rawan konflik, jauh dari gemerlap kota, demi menyalakan pelita pendidikan dan kesehatan bagi anak-anak Papua.
“Kejadian ini sungguh mencederai rasa kemanusiaan,” kata Pdt. Darwin Darmawan, Sekretaris Umum PGI, dalam pernyataan resminya.
“Para korban adalah anak-anak muda yang telah mendedikasikan diri mereka untuk melayani di daerah yang paling membutuhkan.”
Darah yang tumpah di Anggruk bukan sekadar angka. Ia adalah cerita tentang seorang guru yang mungkin sedang mempersiapkan materi pelajaran untuk esok hari.
Baca juga: Menggali Nilai Keteladanan Sisingamangaraja XII, Cahaya yang Menyinari Generasi Milenial
Tentang seorang tenaga kesehatan yang baru saja menyelamatkan nyawa seorang ibu melahirkan.
Tentang bangku-bangku sekolah yang kini hangus, dan tempat tidur rumah sakit yang berubah menjadi puing.
Evakuasi korban dilakukan dengan susah payah. Helikopter mendarat di Dekai, ibukota Yahukimo, pada Minggu, 23 Maret 2025.
Dari sana, korban diterbangkan ke Sentani, Jayapura, menggunakan pesawat Caravan dan Pilatus Porter.
Namun, luka fisik mungkin bisa sembuh, sedangkan luka batin akan terus membekas.
Baca juga: Raja Sisingamangaraja XII, Matahari yang Tak Pernah Tenggelam di Tanah Batak
PGI tak hanya menyampaikan belasungkawa, tetapi juga menyerukan de-eskalasi kekerasan.
“Kepada semua kelompok bersenjata yang berkonflik di Tanah Papua, kami terus menyerukan penghentian ketegangan dan kekerasan,” tegas Pdt. Darwin.
“Dialog adalah jalan yang berbudaya dan bermartabat untuk menyelesaikan masalah sosial-politik di Tanah Papua.”
Seruan itu bukan tanpa alasan. Papua telah terlalu lama menjadi medan pertikaian yang tak kunjung usai.
Darah warga sipil terus mengalir, sementara harapan akan perdamaian seperti semakin menjauh.
PGI mendesak agar para pelaku kekerasan ditindak tegas sesuai hukum.
Namun, lebih dari itu, mereka mengajak semua pihak untuk merenung: sampai kapan kekerasan akan menjadi bahasa yang dipahami di bumi Cendrawasih ini?
Tragedi Anggruk adalah cermin dari luka lama yang belum kunjung sembuh.
Ia mengingatkan semua bahwa di balik keindahan alam Papua, ada tangis yang tak terdengar, ada darah yang tak terlihat, dan ada harapan yang terus terkubur.
Kini, yang tersisa adalah pertanyaan: “akankah tragedi ini menjadi cambuk untuk menghentikan lingkaran kekerasan? Atau, akankah ia hanya menjadi satu dari sekian banyak catatan kelam dalam sejarah panjang konflik di Papua?”
Yang pasti, bagi keluarga korban, bagi anak-anak yang kehilangan guru, bagi masyarakat yang kehilangan tempat berobat, Anggruk bukan sekadar nama sebuah tempat.
Ia adalah kenangan pahit yang akan terus menghantui.
Dan bagi semua, tragedi ini adalah pengingat: “perdamaian bukanlah kemewahan, melainkan kebutuhan. Tanpanya, yang tersisa hanyalah reruntuhan dan air mata”.
Be the first to comment