POLITIK IDENTITAS DAN SISTEM DEMOKRASI DI INDONESIA

opini sapta siagian tentang politik identitas
Sapta Siagian

POLITIK IDENTITAS DAN SISTEM DEMOKRASI DI INDONESIA

oleh: Sapta Baralaska Utama

 

ABSTRAK

Identitas politik di Indonesia telah menjadi isu yang semakin penting dalam beberapa tahun terakhir. Identitas etnis, agama, dan wilayah seringkali menjadi faktor penting dalam memengaruhi preferensi politik masyarakat.

Namun, dampak identitas politik ini pada sistem demokrasi dan religius di Indonesia masih diperdebatkan. Dampak identitas politik pada sistem demokrasi dan religius di Indonesia masih merupakan isu yang kompleks dan terus berubah.

Meskipun ada beberapa dampak negatif yang perlu diatasi, identitas politik juga dapat menjadi sumber kekuatan bagi masyarakat dan memperkuat partisipasi politik. Oleh karena itu, perlu ada upaya yang terus-menerus untuk memperkuat sistem demokrasi dan religius di Indonesia serta mengatasi konflik yang timbul karena identitas politik.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperjelas dan menganalisis dampak dari identitas politik terhadap sistem demokrasi dan religius di Indonesia.

Penelitian ini bertujuan untuk memberikan pemahaman yang lebih baik tentang isu-isu yang terkait dengan identitas politik dan bagaimana isu-isu ini mempengaruhi sistem politik dan masyarakat Indonesia secara keseluruhan.

Dengan demikian, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan pemikiran dan kebijakan yang berkaitan dengan sistem demokrasi dan religius di Indonesia.

Kata kunci: Politik Identitas, Sistem Demokrasi


PENDAHULUAN

Politik identitas di Indonesia merujuk pada praktik politik yang didasarkan pada identitas etnis, agama, gender, dan orientasi seksual. Hal ini menjadi semakin terlihat dalam beberapa tahun terakhir, terutama dalam konteks pemilihan umum dan kampanye politik. Salah satu contoh politik identitas yang paling terkenal di Indonesia adalah penggunaan agama sebagai dasar kampanye politik.

Banyak calon politikus yang mencoba untuk memenangkan suara pemilih dengan mengidentifikasi diri mereka dengan agama tertentu atau mengeksploitasi isu-isu keagamaan. Hal ini dapat mengakibatkan polarisasi masyarakat dan meningkatkan ketegangan antar kelompok agama.

Selain agama, identitas etnis juga seringkali digunakan sebagai dasar kampanye politik. Ada beberapa partai politik di Indonesia yang secara terbuka menyatakan bahwa mereka mewakili kepentingan etnis tertentu. Hal ini bisa memperkuat solidaritas dalam kelompok etnis, tetapi juga dapat memicu sentimen kebencian terhadap kelompok lain.

Selain itu, politik identitas di Indonesia juga mencakup isu-isu gender. Isu-isu gender juga sering digunakan dalam kampanye politik, baik oleh calon laki-laki maupun perempuan.

Latar belakang politik identitas di Indonesia bisa dilacak kembali ke masa kolonialisme, di mana kebijakan pemerintah kolonial Belanda membagi-bagi masyarakat Indonesia berdasarkan identitas etnis dan agama.

Pada saat itu, pemerintah kolonial membagi masyarakat Indonesia menjadi tiga kelompok: pribumi, pendatang, dan orang-orang Eropa. Pribumi sendiri kemudian dibagi lagi berdasarkan etnis dan agama, seperti Jawa, Sunda, Muslim, Hindu, dan sebagainya.

Setelah kemerdekaan Indonesia, praktik politik identitas masih terus berlanjut dalam berbagai bentuk, meskipun di bawah konsep nasionalisme yang menekankan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.


Beberapa partai politik pada awalnya terbentuk dengan basis etnis atau agama tertentu, seperti Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) dan Partai Kristen Indonesia (Parkindo).

Di era Orde Baru politik identitas diselubungi dengan konsep sensitif yang dikenal dengan istilah Suku-Agama-Ras-Antargolongan (SARA). Erman menyebutkan bahwa di Indonesia politik identitas lebih terkait dengan masalah etnisitas, agama, ideologi dan kepentingan-kepentingan lokal yang diwakili pada umumnya oleh para elit berdasarkan kepentingannya masing-masing.

Ada empat kebijakan yang dijalankan Orde Baru untuk melemahkan politik identitas di tanah air. Pertama, tidak ada daerah yang asli. Maksud semua daerah terbuka sebagai daerah migrasi maupun transmigrasi sehingga semua komunitas tercerabut dari akar sosio-kultural dan politiknya.

Kedua, pemerintah Orde Baru menghindari terbentuknya kelas karena itu persoalan SARA dikontrol sedemikian ketat. Dan yang berhak menggunakan SARA hanya pemerintah dalam menjustifikasi kelompok mana yang bersalah dan dikucilkan relasi sosial-politiknya.

Ketiga, modernisasi dijalankan supaya pengaruh etnis dan agama merosot. Keempat, negara mengatur supaya jangan ada yang tumpang tindih antara agama dan suku. Karena dengan cara ini persatuan tidak pernah ada dan pemerintah pusat tidak terancam.

Praktik politik identitas semakin meningkat selama periode reformasi pada akhir 1990-an dan awal 2000-an, ketika terjadi pelonggaran dalam kontrol politik dan kebebasan pers di Indonesia.

Partai politik mulai memperkuat pandangan ideologi mereka dengan mengambil posisi terkait isu-isu keagamaan, etnis, dan gender.


Salah satu momen penting dalam sejarah politik identitas di Indonesia adalah Pemilihan Umum Presiden 2014, di mana kampanye politik kedua calon, Joko Widodo dan Prabowo Subianto, banyak dilandasi oleh retorika politik identitas.

Pada kampanye tersebut, Prabowo Subianto menggunakan isu-isu keagamaan dan etnis untuk memenangkan dukungan di kalangan pemilih yang diduga berasal dari kelompok yang lebih konservatif.

Di sisi lain, Joko Widodo menarik dukungan dari kelompok-kelompok minoritas dengan menekankan pesan persatuan dan inklusivitas.

Kemudian, dengan menyelidiki pola pemilihan gubernur di Jakarta pada tahun 2017, kehadiran petahana Basuki Tjahaja Purnama, pemilu menghadirkan kesempatan langka untuk menganalisis politik identitas.

Meskipun memiliki peringkat popularitas 65 persen, Ahok, seorang Kristen dan etnis Tionghoa, kalah dalam pemilihan. Muslim konservatif menolaknya, dengan alasan bahwa non-Muslim tidak boleh mengepalai provinsi mayoritas Muslim.

Hal ini memvalidasi gagasan bahwa “kembalinya” agama di ranah publik, setidaknya sebagian, merupakan hasil dari tren globalisasi. Sejauh paradigma tatanan politik yang berpusat pada negara telah mencapai batas-batasnya sebagai akibat dari globalisasi, penilaian kritis terhadap pandangan tradisional tentang hubungan antara agama dan politik diperlukan.

Secara keseluruhan, latar belakang politik identitas di Indonesia adalah hasil dari kompleksitas sejarah, perbedaan budaya, dan kepentingan politik.


Praktik politik identitas dapat memperkuat identitas dan solidaritas dalam kelompok tertentu, tetapi juga dapat memicu konflik antar kelompok, memperkuat ketidakadilan, dan merusak persatuan bangsa.

Oleh karena itu, perlu adanya pemahaman dan penghargaan terhadap keragaman di Indonesia, serta pengakuan terhadap hak asasi manusia dan kesetaraan bagi semua warga negara.

Meskipun berguna, penjelasan yang berpusat pada agama ini memiliki tiga keterbatasan. Pertama, gagal membedakan antara agama pemilih dan agama kandidat pada tataran konseptual.

Kedua, mengacaukan sentimen pemilih dengan retorika dan mobilisasi politik. Ketiga, terlalu bergantung pada penjelasan pemilih sendiri tentang motivasi memilih mereka.

Politik identitas telah mempengaruhi perilaku memilihnya selama pemilihan gubernur pada tahun 2017. Dampak dari politik identitas berarti bahwa orang peduli tentang hal yang berbeda dan fokus pada hal yang berbeda.

Ini bisa berbahaya karena bisa membuat orang tidak peduli satu sama lain, dan juga bisa menimbulkan masalah. Gagasan politik identitas masih hidup dan baik, dan mereka kembali ke cara lama membagi orang menjadi kelompok yang berbeda.

Gagasan awal di balik Republik Indonesia adalah bahwa setiap orang harus bersatu, dan itulah yang harus kita ingatkan.


Politik Identitas

Frasa identitas dan politik identitas relatif baru, dengan yang pertama dipopulerkan oleh psikolog Erik Erikson pada 1950-an dan yang terakhir hanya muncul pada 1980-an dan 1990-an politik budaya.

Saat ini, identitas dapat berhubungan dengan berbagai hal, dari kategori atau posisi masyarakat hingga pengetahuan dasar tentang diri sendiri (seperti dalam “identitas saya dicuri”).

Politik identitas selalu ada dalam bentuk ini. Menurut Kosher yang mengutip George Mosse, pendirian agama sekuler bangsa pada abad ke-19, dengan ritual massanya, meletakkan dasar bagi fasisme abad kedua puluh.

Dengan mengadopsi cara religius dan mengembangkan ritual publik, politik baru menjanjikan lebih dari sekadar kemajuan moneter: ia menjanjikan pemenuhan spiritual melalui pengalaman identifikasi kelompok yang kuat.

Perasaan agama dan etnis telah lama menjadi penting dalam politik Indonesia. Dalam hal agama, Indonesia telah memperdebatkan apakah akan memasukkan Syariah dalam konstitusinya sejak awal.

Dampak organisasi keagamaan juga berkembang, menurut penelitian. Sumaktoyo mengatakan bahwa kelompok Islam konservatif telah berkontribusi pada meningkatnya prasangka sosial terhadap minoritas agama dan porsi konservatif pemilih Muslim Indonesia telah tumbuh dalam pengaruh karena kemampuan organisasi telah meningkat.


Agama dan etnis memainkan peran yang menakutkan dalam kehidupan sehari-hari, dan terlebih lagi dalam keterlibatan politik. Agama dan etnis dapat dibagi baik di tingkat nasional maupun daerah.

Peristiwa pemilihan gubernur Jakarta baru-baru ini pada tahun 2017 menunjukkan pentingnya politik identitas agama dan etnis. Perasaan identifikasi agama dan etnis tidak pernah dapat dibenarkan, terutama di negara yang beragam seperti Indonesia.

Masyarakat Indonesia terdiri dari beberapa suku bangsa, ras, bahasa, dan kepercayaan. Akibatnya, perasaan identifikasi agama dan etnis tidak boleh ditoleransi. Sikap-sikap ini menyebabkan polarisasi dan segmentasi di antara masyarakat, yang mungkin merupakan awal dari fragmentasi suatu bangsa.

Gagasan kebangkitan identitas agama harus ditunjukkan dalam skenario pemilu nasional. Selain itu, sikap untuk politik identitas telah meningkat beberapa kali, dan itu memiliki gejalanya.

Arjon mengutip Brubaker menjelaskan bahwa tidak ada hubungan intrinsik antara agama dan kekerasan politik. Namun, agama memang menyediakan massa potensial sumber daya moral, ideologis, dan organisasi tingkat pribadi yang dapat bekerja dalam konteks tertentu, menginformasikan, sah, atau mempertahankan bentuk keterlibatan moral dan politik yang paling mengagumkan.

Selain itu, faktor agama diperkenalkan ke dalam konflik melalui ketakutan dan bermain pada ketidakamanan sosial di antara faktor-faktor lainnya.

Selain itu, perselisihan dan kerusuhan yang didasarkan pada agama dan etnis meletus dan menyebar lebih cepat daripada jenis konflik dan kekerasan lainnya di Indonesia.


Hal ini diperdebatkan karena banyak orang Indonesia menganggap etnis dan agama sebagai hal yang penting bagi identitas mereka. Meskipun identitas agama tidak dapat dipisahkan dari struktur kesadaran identitas yang lebih besar seperti etnis, bahasa, ras, kasta, suku, kekerabatan, dan lokasi, mereka tidak dapat dipisahkan satu sama lain.

Kajian artikel ini adalah dampak politik identitas terhadap sistem demokrasi dan keagamaan adalah pola respons yang sudah ada di mana-mana dan mendasar di Indonesia.

Reaksi manusia yang paling khas terhadap kesulitan bukanlah analisis intelektual dan tindakan politik yang signifikan, melainkan pencarian perlindungan emosional dan mundur ke dalam kegiatan yang mendistorsi kesadaran penuh individualitas.

Inilah tepatnya yang ditawarkan politik identitas: kumpulan perilaku stereotip yang melemahkan atau melenyapkan lapisan semantik dari keunikan lengkap, atau menyebabkan pergeseran dari kesadaran individu ke kesadaran kelompok yang kuat.

Dalam situasi politik identitas, teknik dekonstruktif dan konstruktif biasanya dicampur, dengan yang pertama mengurangi identitas individu dan yang terakhir membangun identitas komunitas baru.

Dalam politik, gagasan “identifikasi” dianggap sebagai sumber stabilitas demokrasi, seperti dalam literatur pluralisme, atau sebagai sumber keluhan unik berbasis masalah, di mana anggota kelompok yang terpinggirkan gelisah atas nama anggota kelompok tertentu dan berbeda. penyebab preferensial.

Mason menjelaskan bahwa ketika kita menganggap politik identitas partisan sebagai identitas sosial yang dapat selaras dengan atau menyimpang dari identitas lain, kita dapat memprediksi bahwa anggota partai yang tidak selaras dengan agama, ras, atau ideologi mereka akan merasa kurang terikat afektif dengan partai mereka daripada anggota partai yang sama yang agama, ras, dan ideologinya sepenuhnya selaras dengan partai mereka.


Sementara primordialisme adalah kepercayaan bahwa ada fenomena religius yang mendalam yang ada di dunia. Orang yang menganut pandangan ini percaya bahwa kelompok identitas sosial dicirikan oleh hal-hal tertentu, seperti wilayah, agama, budaya, bahasa, dan organisasi sosial.

Mereka juga percaya bahwa kelompok-kelompok ini memiliki identitas etnis dan agama yang kuat. Primordialis percaya bahwa kelompok-kelompok ini paling mampu mencapai tujuan kolektif mereka dengan bekerja sama.

Raiser mengutip buku tahun 1998 dengan judul Religion in Global Politics, Jeff Haynes yang menyelidiki proses “perampasan” agama di banyak bagian dunia.

Kesimpulannya adalah bahwa agama-agama mendapatkan pengaruh baru dalam domain publik ketika mereka membantu melindungi identitas budaya kelompok sosial yang terancam, membangun kohesi internal dalam menghadapi perubahan budaya.

“Intinya,” tulis Haynes dikutip Raiser, “kunci untuk memahami fungsi sosial politik agama saat ini adalah bahwa ia sering menyediakan sumber daya bagi orang-orang untuk mencoba menangani dampak dari proses modernisasi atau konflik pasca-moderniter.”

Kita tidak bisa lepas dari identifikasi atau politik identitas. Identitas adalah “prinsip moral yang kuat yang telah diturunkan kepada kita,” dalam kata-kata Charles Taylor yang dikutip Mayumi, dan telah melampaui negara dan budaya karena didasarkan pada psikologi dasar dari nafas manusia.

Teori moral ini menunjukkan bahwa kita memiliki identitas batin sejati yang tidak diakui dan bahwa seluruh masyarakat eksternal mungkin salah dan tirani.


Ini memusatkan kebutuhan alami kita untuk pengakuan atas martabat kita dan memberi kita kosakata untuk menyuarakan ketidakpuasan kita ketika pengakuan seperti itu tidak diberikan.

Al-Farisi mengungkapkan bahwa politik identitas merupakan kreasi negara yang monumental dalam rangka pelabelan warga negaranya. Pelabelan ini menjadi penting dalam urusan politik pengaturan atau bisa juga sebagai politik kontrol negara terhadap warganya untuk mengetahui ‘siapa lawan’ dan ‘siapa kawan’. Pengaturan dan kontrol negara terhadap warganya tidak berhenti sampai di sini.

Sebaliknya Arjon mengungkap bahwa baik orang Indonesia yang religius maupun nasionalis cenderung menempatkan kepercayaan mereka pada individu tertentu daripada ide atau prinsip.

Akibatnya, selama konflik dan kekerasan politik, para pemimpin agama seperti Imam atau pendeta, atau kepala suku atau raja lokal dari pemimpin kelompok etnis, memainkan peran penting dalam meningkatkan atau menghindari perang.

Sayangnya, pemerintah Indonesia cenderung meminimalisir pentingnya dua faktor penting di Indonesia: agama dan etnis. Menurut fakta, masjid dan Imam memainkan peran penting dalam permusuhan. Selain itu, pemerintah Indonesia secara teratur mengecualikan para pemimpin agama dan adat dari diskusi resolusi konflik.

Sari mengutip Frederik Barth berpendapat bahwa agama dan etnis terus berubah, dan batas-batas keanggotaan suatu kelompok etnis sering dinegosiasikan dan dinegosiasi ulang. Itu tergantung pada perjuangan politik di antara kelompok-kelompok yang ada.

Frederik Barth menyebut fenomena negosiasi identitas ini situasional. Pada batas ini, aktor mencoba mengeksploitasi simbol budaya dan menampilkan perilaku etnis tertentu yang berubah dari waktu ke waktu, sesuai dengan situasi tertentu, atau sesuai dengan kepentingan pribadi atau sosial.

Hal ini dianggap penting karena berkaitan erat dengan citra diri dan harga diri baik sebagai individu maupun sebagai kelompok. Identitas tersebut akan selalu dialami, dikomunikasikan, diproses, atau dikonstruksikan oleh setiap individu dalam berinteraksi.


Sistem Demokrasi di Indonesia

Indonesia adalah negara demokrasi yang menganut sistem presidensial. Sistem politik Indonesia didasarkan pada konstitusi yang ditetapkan pada tahun 1945 dan telah mengalami beberapa revisi sejak saat itu.

Sebagai negara demokrasi, Indonesia memiliki sistem pemerintahan yang didasarkan pada prinsip-prinsip pemilihan umum, persamaan hak, kebebasan berpendapat, dan pengakuan hak asasi manusia. Pemilihan umum di Indonesia dilaksanakan secara berkala untuk memilih presiden, wakil presiden, anggota parlemen, serta kepala daerah.

Namun, meskipun Indonesia telah memiliki sistem demokrasi yang relatif stabil, masih ada beberapa tantangan yang dihadapi dalam proses konsolidasi demokrasi. Beberapa di antaranya adalah korupsi, ketimpangan ekonomi, intoleransi, dan ancaman terorisme.

Selain itu, masalah-masalah seperti perbedaan etnis dan agama, kekerasan politik, dan ketidakstabilan ekonomi juga dapat mengancam kestabilan demokrasi di Indonesia.

Oleh karena itu, pemerintah Indonesia terus berusaha untuk memperkuat sistem demokrasi dan memperbaiki kondisi sosial dan ekonomi untuk memastikan keberlangsungan demokrasi di Indonesia.

Di era baru reformasi, demokrasi dijalankan dengan lebih demokratis dibanding masa lalu. Partai politik lebih independen, dan ada pengaturan hak asasi manusia. Institusi demokrasi lebih fungsional, dan konsep trias politica (pemerintahan tiga bagian) sepenuhnya otonom. Namun, Anam berpendapat bahwa ideologi yang ingin menggantikan Pancasila masih bisa muncul. Akhir-akhir ini marak terjadi politik identitas, yang terkait dengan sejarah yang telah dipaparkan di atas. Islam Politik ingin menerapkan ideologinya di Negara.

Beberapa isu agama dapat menjadi kontroversi, dan dapat menimbulkan konflik di Indonesia. Sejak tahun 1990-an dan 2000-an, telah terjadi banyak perubahan dalam politik Indonesia.

Hal ini menyebabkan banyak partai politik yang berbeda berusaha mendapatkan dukungan dari orang-orang beragama. Namun, ada juga partai politik yang tidak fokus pada agama, melainkan berusaha bekerja sama untuk memenuhi kebutuhan setiap orang di masyarakat Indonesia. Tokoh agama juga terlibat dalam politik dengan cara yang berbeda, sebagai individu dan dalam organisasi keagamaan.


Politik Identitas dan Dampaknya pada Demokrasi

Di Indonesia, munculnya politik identitas merupakan tanda kelemahan karena menunjukkan bahwa kekuasaan yang tersentralisasi dan hegemonik pada masa Orde Baru Berkuasa tidak lagi memegang kendali.

Kekuatan ini direpresentasikan dengan munculnya beberapa kekuatan politik yang mengusung simbol dan ideologi Islam. Beberapa dari kekuatan ini tabu bahkan di antara “mereka yang tahu”, karena memiliki potensi untuk direvitalisasi.

Identitas politik dapat memiliki dampak signifikan pada sistem demokrasi dan religius di Indonesia. Berikut adalah beberapa dampak yang mungkin timbul:

  1. Pemisahan dan konflik antara kelompok: Identitas politik dapat memisahkan orang ke dalam kelompok-kelompok yang berbeda, dan jika identitas ini menjadi lebih kuat dari kewarganegaraan, dapat menimbulkan konflik antara kelompok. Ini dapat mengancam stabilitas sistem demokrasi dan mendorong munculnya perselisihan agama dan kelompok.

  2. Pengaruh pada proses pemilihan: Identitas politik, terutama agama, dapat memengaruhi proses pemilihan dan keputusan pemilih. Ini dapat menghasilkan pemilihan yang tidak rasional dan tidak didasarkan pada kualifikasi dan kemampuan kandidat, tetapi lebih pada identitas mereka.

  3. Ketergantungan pada kepemimpinan agama: Identitas politik, khususnya agama, dapat membuat orang lebih mengandalkan pemimpin agama dalam membuat keputusan politik. Ini dapat mengurangi kemandirian individu dan memperkuat pengaruh agama di masyarakat.

  4. Pelanggaran hak asasi manusia: Identitas politik dapat digunakan sebagai alasan untuk melakukan diskriminasi atau penindasan terhadap kelompok tertentu. Ini dapat mengancam hak asasi manusia dan melanggar prinsip demokrasi.


Penting bagi partai politik dan pemimpin politik di Indonesia untuk mempromosikan identitas politik yang inklusif dan memperkuat persatuan dan kesatuan dalam perbedaan agama.

Hal ini dapat membantu menjaga stabilitas sosial dan keberlangsungan demokrasi di Indonesia. Dalam hal religius, identitas politik dapat mempengaruhi sistem religius di Indonesia dengan cara-cara sebagai berikut:

  1. Memperkuat pengaruh agama: Identitas politik, khususnya agama, dapat memperkuat pengaruh agama di masyarakat. Ini dapat memperkuat nilai-nilai agama dan membuat orang lebih menghargai dan mengikuti ajaran agama.

  2. Menimbulkan konflik antara kelompok: Identitas politik, khususnya agama, dapat menimbulkan konflik antara kelompok-kelompok yang berbeda. Ini dapat mengancam perdamaian dan toleransi antar kelompok di masyarakat.

  3. Menentukan kebijakan publik: Identitas politik, khususnya agama, dapat mempengaruhi kebijakan publik dan tindakan pemerintah. Ini dapat memperkuat atau melemahkan nilai-nilai agama dalam masyarakat.

  4. Memperkuat solidaritas kelompok: Identitas politik, khususnya agama, dapat memperkuat solidaritas kelompok dan memperkuat hubungan antar anggota kelompok. Ini dapat membuat orang lebih bergabung dan mendukung kelompok mereka dalam konteks religius.


Dalam mengembangkan dampak positif dari politik identitas maka diperlukan partisipasi politik penting dalam membantu menjaga demokrasi tetap kuat.

Publik harus memiliki akses ke informasi tentang proses politik, dan diizinkan untuk berpartisipasi dalam pemilihan atau bentuk kegiatan publik lainnya. Kebebasan pers menjadi pilar dalam masyarakat mendapatkan informasi yang bebas dan terbuka. Artinya, pemerintah harus membantu melindungi media dari pengaruh kekuatan luar, seperti politik atau uang.

Masyarakat perlu lebih sadar akan hak politik mereka dan proses politik yang terjadi, sekolah, kelompok masyarakat, dan masyarakat umum perlu dididik tentang politik. Ini akan membantu warga negara lebih terlibat dalam pemerintahan, dan membantu membuat keputusan yang lebih baik tentang masa depan.

Pemerintah bertanggung jawab untuk menegakkan hukum secara adil dan tidak memihak sehingga setiap orang memiliki hak yang sama dan dapat berpartisipasi dalam demokrasi. Caranya dengan memperkuat lembaga-lembaga yang independen dan bebas dari pengaruh politik.

Organisasi masyarakat sipil dapat membantu memperkuat demokrasi dengan membantu pemerintah untuk berpartisipasi dalam proses politik dan memberikan dukungan kepada organisasi tersebut dalam perkembangannya.

Toleransi dan menghargai perbedaan penting dalam membangun demokrasi yang berjalan dengan baik untuk semua orang. Kita harus mendorong orang untuk menghormati perbedaan budaya, agama, dan pendapat politik orang lain, dan bekerja sama untuk menemukan titik temu.


Karenanya dalam hal keagamaan, pendidikan agama dapat membantu memperkuat pengaruh agama dalam masyarakat. Sekolah dan lembaga keagamaan dapat memberikan pendidikan yang mengajarkan orang tentang nilai-nilai agama, sehingga mereka dapat menghayati keyakinan mereka dengan lebih efektif.

Keterlibatan masyarakat dalam kegiatan keagamaan dapat membantu memperkuat pengaruh agama dalam masyarakat. Ini dapat membantu orang lebih memahami dan menghayati ajaran agama, dan membuat mereka lebih terhubung dan mendukung satu sama lain.

Kesediaan tokoh agama di tingkat lokal dan nasional dapat memberikan contoh yang baik tentang praktik keagamaan yang benar dan benar. Hal ini dapat memotivasi masyarakat untuk lebih memahami dan mengamalkan ajaran agama serta meningkatkan pengaruh agama di masyarakat.

Pemerintah dapat membantu mendukung keyakinan beragama, misalnya dengan memberikan dukungan pendidikan agama, membantu membangun tempat ibadah, dan memberikan perlindungan hukum bagi kebebasan beragama masyarakat.

KESIMPULAN

Politik identitas tidak bisa dijadikan pola atau dasar untuk mencapai demokrasi yang sesungguhnya, karena politik identitas tidak akan membawa dalam tujuan kesatuan dan kebersamaan.

Pluralisme bangsa Indonesia merupakan sebuah kenyataan yang seharusnya dapat dikapitalisasi menjadi sumber kekuatan politik untuk membangun sistem demokrasi yang lebih kuat namun tetap harus ramah dengan nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi negara.

Oleh karena itu, penguatan ideologi negara “Pancasila” menjadi keniscayaan yang harus segera dilakukan oleh negara. Adapun kita juga perlu melihat bahwa dampak positif dari adanya politik identitas ini adalah masyarakat jadi tahu siapa diri dan identitas mereka sehingga bila politik identitas ini disertai dengan pengajaran pluralism yang sepadan maka politik identitas akan mencapai manfaatnya.

Namun bila tanpa pengajaran yang jelas kemungkinan dampak yang telah diuraikan diatas bisa menjadi kenyataan. Dampak dari politik identitas masyarakat harus pandai mereduksi hal-hal apa saja yang berkaitan dengan identitas mereka. Angin perselisihan akan mudah sekali ditiupkan pada masyarakat yang tidak sadar siapa dan di mana diri mereka.


Oleh karena itu pendidikan multikulturalisme harus diutamakan untuk menghalau efek buruk politik identitas. Hal yang esensial adalah konsepsi “politik kebhinekaan” yang harus dikedepankan, sebab konsep ini yang akan menjabarkan secara praktis nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan politik negara dan politik kebangsaan sebagai antitesis dari politik identitas yang lebih rentan untuk disalahgunakan oleh kelompok politik yang tidak memahami jiwa dan semangat kebangsaan dan kenegaraan Indonesia.

Dalam kesimpulannya, politik identitas di Indonesia merupakan fenomena yang kompleks dan terus berubah seiring dengan perubahan sosial dan politik di Indonesia. Penting bagi masyarakat untuk menghargai keragaman dan memahami bahwa identitas tidak boleh digunakan untuk memecah belah masyarakat dan memperkuat kepentingan politik individu atau kelompok tertentu.

 

 

Be the first to comment

Tinggalkan Balasan