IndonesiaVoice.com | Penerapan arsitektur berkelanjutan menjadi begitu penting untuk segera dilakukan mengingat peningkatan kerusakan lingkungan fisik di muka bumi. Pun, diberitakan baru-baru ini terjadi bencana alam tidak bisa dihindari, gempa di Cianjur sebesar 5,6 Magnitudo telah meluluhlantakkan bangunan rumah penduduk dan gedung lainnya serta menelan ratusan korban jiwa.
“Seminar ‘Arsitektur berkelanjutan dan penerapannya’ yang kita diskusikan hari ini merupakan konsekuensi terhadap peningkatan kerusakan fisik di muka bumi,” kata Guru Besar Magister Arsitektur Universitas Kristen Indonesia (UKI) Prof Dr Ing Ir Sri Pare Eni lic rer reg, Keynote Speaker, di Aula Kampus UKI, Jalan Diponegoro, Jakarta, Sabtu (17/12/2022).
Prof Sri Pari Eni melanjutkan, peraturan yang terdapat pada Green Bulding Counsil Indonesia (GBCI), saat ini sudah diterapkan terutama pada gedung-gedung pemerintah, oleh Kementerian PUPR RI untuk mengatasi masalah kerusakan lingkungan.
“Diharapkan arsitektur berkelanjutan ini bisa dilaksanakan di semua perancangan bangunan, salah satunya bisa dikembangkan melalui pendidikan formal,” ujarnya.
Menurut Prof Sri, Arsitektur Berkelanjutan dan Penerapannya atau Green Architecture mulai banyak diperbincangkan sekitar awal 1970 di negara-negara maju sebagai konsekuensi terhadap peningkatan kerusakan lingkungan fisik muka bumi.
“Hal ini disebabkan karena pertambahan penduduk dan perkembangan aktivitas manusia meningkatkan kebutuhan sarana-prasarana fisik, memicu pengurasan sumber daya alam termasuk energi, air, material dan sumber daya alam lain, yang berakibat semakin banyak lahan terbuka hijau atau lingkungan alami diubah menjadi lingkungan binaan yang padat bangunan dan infrastruktur, sehingga terjadi penurunan daya dukung lingkungan untuk mendukung aktivitas manusia dan menurunnya kemampuan alam untuk menyuplai air bersih, menetralisir limbah (cair, padat, gas) hasil aktivitas manusia serta terjadi pencemaran tanah akibat limbah padat, kontaminasi air tanah dan polusi,” jelas dia.
“Lonjakan kebutuhan sarana fisik manusia memicu penurunan kualitas lingkungan, mengkonsumsi energi fosil dalam jumlah besar, mengemisi co2, menyebabkan pemanasan bumi dan perubahan iklim, memerlukan strategi pembangunan kawasan dan bangunan dengan konsep arsitektur hijau,” imbuh Prof Sri.
Baca juga: Kuliah Umum Pascasarjana UKI: Arsitektur Perkotaan Yang Berkelanjutan
Prof Sri menambahkan, “Arsitektur hijau/berkelanjutan adalah suatu bentuk arsitektur yang minim mengkonsumsi sumber daya alam (energi, air dan material), minim memberikan dampak negatif terhadap alam, minim menghasilkan limbah padat, cair dan gas, serta tidak menimbulkan pemanasan lingkungan dan tidak memicu pemanasan bumi.”
Sementara salah satu pembicara, Mahasiswa Magister Arsitektur UKI Victor Joel Manusama, dalam paparan makalahnya, menyoroti Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Hutan Kota Patriot Bekasi. RTH ini tentu saja mengacu pasal 29 ayat 2, Undang-undang nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang disebutkan proporsi ruang terbuka hijau pada wilayah kota paling sedikit 30 persen dari luas wilayah kota.
“Pada dasarnya desain ruang terbuka hijau di Hutan Kota Patriot Bekasi sudah terdapat kebutuhan dasar yang terdapat didalamnya seperti taman hijau, area tempat berkumpul, lapangan olahraga, pedestrian taman dan fasilitas penunjang seperti adanya masjid, toilet dan retail makanan,” tuturnya.
Baca juga: Komisi Informasi DKI Goes To Campus UKI Gelar Seminar Pentingnya Transparansi Informasi Publik
“Namun setelah dilakukan pengamatan bahwasanya masih terdapat kekurangan dalam perawatan dan perbaikan fasilitas yang ada. Masih terdapat bangku taman yang rusak, terlihat juga adanya genangan pada lokasi dan titik-titik taman penghijauan dan lokasi retail makanan yang tidak tertata dengan baik,” urai dia.
Lanjut Victor, berdasarkan hasil pembahasan yang telah dilakukan terdapat rekomendasi yang dapat ditambahkan dalam pemenuhan kebutuhan terkait dengan pembangunan yang berkelanjutan menurut prinsip-prinsip arsitektur ekologis, yakni penerapan energi terbarukan pada pencahayaan kawasan dengan teknologi solar cell yang ramah lingkungan, pemanfaatan teknologi IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah) dalam pengelolaan limbah dan penampungan air hujan yang dapat dimanfaatkan kembali, serta pembuatan kawasan resapan (sumur resapan) sebagai alat pengendali permukaan air tanah bagi Kawasan lingkungan perkotaan.
“Rekomendasi ini sangat penting agar ruang terbuka hijau, dalam hal ini Hutan Kota Patriot Bekasi dapat dipergunakan semaksimal mungkin tidak hanya sebagai lokasi wisata namun sebagai bagian dari Kawasan yang dapat melestarikan lingkungan khususnya di perkotaan,” tandasnya.
Seminar ini dibuka Direktur Program Pascasarjana UKI, Prof Dr dr Bernadetha Nadeak, MPd, PA. Dalam sambutannya, Ketua Program Studi Magister Arsitektur Dr Ramos P Pasaribu, ST, MT, menjelaskan seminar yang digelar HIMA (Himpunan Mahasiswa Arsitektur) dalam rangka Kegiatan Dies Natalis ke 6 Program Studi Magister Arsitektur UKI yang diikuti juga pembicara dari Universitas Trisakti Jakarta, Universitas Parahyangan Bandung dan Universitas Atma Jaya Yogyakarta. (VIC)
Be the first to comment