Kriminalisasi Advokat, Dua Bulan Penjara untuk Sebuah Fitnah Tanpa Bukti

IndonesiaVoice.com – Sebuah preseden hitam bagi dunia hukum Indonesia kembali terjadi. Advokat Tony Budidjaja, yang tengah menjalankan tugasnya untuk menegakkan hukum dan keadilan, justru dikriminalisasi dalam upayanya mengeksekusi putusan arbitrase internasional.

Perkara ini bukan sekadar kasus perdata atau pidana biasa—ini adalah ujian bagi independensi profesi advokat serta kredibilitas sistem hukum Indonesia.

Dari Pembela Menjadi Terdakwa, Narasi Aneh dalam Penegakan Hukum

Kisah ini dimulai ketika Tony Budidjaja mewakili kliennya, Vinmar Overseas Ltd., dalam pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase yang telah berkekuatan hukum tetap terhadap PT Sumi Asih.

Eksekusi ini dilakukan sesuai perintah Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang seharusnya tidak lagi bisa diganggu gugat.

Namun, yang terjadi justru di luar nalar. Alih-alih memastikan pelaksanaan putusan, aparat penegak hukum malah menetapkan Tony sebagai tersangka tanpa pemeriksaan terlebih dahulu.

“Polres Metro Jakarta Selatan menetapkan status itu pada Februari 2023, dalam sebuah proses yang sarat kejanggalan,” tegas Tony dalam jumpa pers di Kantor LSM Law Partner, Jakarta, Selasa (4/3/2025).

Setelah Tony mengadukan tindakan penyidik ke Biro Wassidik Mabes Polri, harapan akan keadilan sempat muncul.

“Namun, tanpa peringatan, kasus ini justru dilimpahkan begitu saja ke Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan dan langsung diteruskan ke persidangan, meskipun berkas perkara belum lengkap,” jelasnya.

Laporan Polisi Ilegal dan Hakim yang Berganti Tiba-tiba

Dari fakta persidangan, terungkap bahwa laporan polisi yang menjadi dasar kasus ini dibuat oleh pihak yang tidak memiliki legal standing.

Delik yang dituduhkan kepada Tony—yakni Pasal 317 KUHP tentang fitnah—adalah delik aduan, yang artinya hanya bisa dilaporkan oleh pihak yang dirugikan langsung.

“Anehnya, laporan justru dibuat oleh seorang pengacara, Rusmin Widjaya, yang bahkan tidak memiliki surat kuasa,” beber Tony.

“Tidak hanya itu, drama semakin pelik ketika Ketua Majelis Hakim tiba-tiba diganti saat persidangan tengah berjalan,” imbuhnya.

Pergantian mendadak ini, lanjut Tony, terjadi ketika seharusnya pengadilan membacakan putusan sela terkait keabsahan laporan polisi dan permohonan penuntutan terhadap pelapor yang diduga memberikan keterangan palsu di bawah sumpah.

Ia yang merasa ada kejanggalan mengajukan keberatan resmi kepada Ketua Pengadilan, tetapi tidak pernah mendapat tanggapan jelas.

Hingga akhirnya, pada 20 Februari 2025, hakim baru Raden Ari Muladi secara mengejutkan langsung menjatuhkan putusan, tanpa mempertimbangkan keberatan yang telah diajukan.

Lebih mengejutkan lagi, Tony dinyatakan bersalah tanpa adanya satu pun alat bukti yang sah.

Eksekusi Putusan Arbitrase yang Dibungkam?

Tim penasihat hukum Tony, yang terdiri dari Todung Mulya Lubis, Juniver Girsang, dan Hafzan Taher, melihat kejanggalan ini sebagai rekayasa hukum yang bertujuan menghalangi eksekusi putusan arbitrase.

PT Sumi Asih telah dihukum untuk membayar sejumlah uang kepada Vinmar berdasarkan putusan arbitrase ICDR Amerika Serikat tahun 2009.

Namun, alih-alih melaksanakan putusan, pihak-pihak yang berkepentingan justru diduga berusaha membelokkan proses hukum demi mempertahankan aset mereka.

“Untuk menjatuhkan putusan pidana, hakim harus mendasarkannya pada sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, ditambah dengan keyakinan bahwa putusan itu adil dan bermanfaat,” tegas Juniver Girsang.

Fakta-fakta yang terungkap di persidangan juga menunjukkan ketidakkonsistenan keterangan saksi yang dihadirkan jaksa, termasuk Alexius Darmadi dan koleganya dari manajemen PT Sumi Asih. Mereka bersikeras bahwa perusahaan mereka berbeda dengan yang disebut dalam putusan arbitrase—dalih yang sebenarnya telah ditolak oleh putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

Pukulan bagi Profesi Advokat dan Penegakan Hukum

Putusan ini tidak hanya merugikan Tony Budidjaja secara pribadi, tetapi juga menyerang prinsip dasar profesi advokat. Luhut MP Pangaribuan, Ketua DPN PERADI Rumah Bersama Advokat (RBA), menegaskan bahwa kriminalisasi terhadap advokat merupakan ancaman serius bagi demokrasi dan supremasi hukum di Indonesia.

“Putusan ini telah menyerang kemandirian dan keagungan profesi advokat sebagai pilar penegakan hukum dan keadilan. Seluruh advokat wajib memperjuangkan perlindungan atas profesinya agar tidak terintimidasi dan dikriminalisasi,” tegasnya.

Sejak dulu, advokat disebut sebagai officium nobile, profesi yang mulia karena perannya dalam membela hak asasi manusia dan menegakkan keadilan. Pasal 5 ayat (1) UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat secara tegas menyatakan bahwa advokat berkedudukan setara dengan penegak hukum lain, seperti hakim, jaksa, dan polisi.

Lebih lanjut, Pasal 16 UU Advokat memberikan hak imunitas kepada advokat dalam menjalankan tugasnya—hak yang telah ditegaskan kembali oleh Putusan Mahkamah Konstitusi No. 26/PUU-XI/2013. Putusan ini menegaskan bahwa advokat tidak dapat dituntut secara pidana maupun perdata dalam membela kepentingan kliennya.

Alarm Bahaya bagi Dunia Hukum

Kasus Tony Budidjaja adalah peringatan keras bahwa sistem hukum di Indonesia masih bisa digunakan sebagai alat untuk mengkriminalisasi pihak-pihak yang berani menegakkan keadilan. Jika seorang advokat yang menjalankan tugasnya dengan mengacu pada putusan pengadilan saja bisa dikriminalisasi, bagaimana nasib rakyat biasa yang mencari keadilan?

Tim penasihat hukum Tony menegaskan bahwa putusan ini harus dikoreksi. Bukan hanya demi kepentingan klien yang dirugikan, tetapi juga untuk menjaga marwah profesi advokat dan memastikan bahwa hukum tetap menjadi alat keadilan, bukan senjata bagi mereka yang ingin membungkam kebenaran.

Kasus ini belum berakhir. Perjuangan hukum masih panjang. Namun, satu hal yang pasti—dunia hukum Indonesia tengah menghadapi ujian besar, dan setiap mata kini tertuju pada apakah keadilan masih bisa ditegakkan di negeri ini. (Victor)

 

Be the first to comment

Tinggalkan Balasan