Anggota DPD RI dari Provinsi Maluku, Prof. Dr. Jhon Pieris, mengatakan ada kejanggalan dengan adanya putusan Mahkamah Agung (MA) jika ditinjau dari segi etika politik hukum.
“Dari segi etika politik hukum, dia (MA) sama saja boleh mendudukkan caleg yang korup itu ditempat yang terhormat. kan begitu jadinya,” ujar Jhon Pieris dalam diskusi publik yang digelar Pascasarjana Universitas Kristen Indonesia (UKI) bertajuk “Kedudukan Calon Legislatif Setelah Putusan Mahkamah Agung Sebagai Suatu Tinjauan Yuridis” yang diadakan di Aula Pascasarjana UKI, Salemba, Jakarta, 22 September 2018.
Diskusi yang dimotori Ketua Panitia Nourmaida Silalahi SH, MH, ini menghadirkan pembicara yaitu Prof. Dr. John Pieris, SH, MS (Anggota DPD RI), Dr. Mombang L Panggabean, SH, MH (Dosen UKI), Dr. Daniel Yusmic P Foekh, SH, MH (Pengamat Hukum), Dwi Putra Nugraha SH, MH, (Mewakili Bawaslu) dan Deddy Tambunana SIP (Pengamat Politik) serta dimoderatori oleh Saor Siagian SH, MH (Ketua Umum IKA UKI).
Diskusi ini dilatarbelakangi dengan adanya Mahkamah Agung (MA) telah memutus uji materi Pasal 4 ayat (3), Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR dan DPRD Kabupaten/kota terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (UU Pemilu) pada Kamis (13/9/2018).
Pasal yang diuji materikan itu mengatur soal larangan bagi mantan narapidana kasus korupsi, mantan bandar narkoba dan eks narapidana kasus kejahatan seksual pada anak untuk maju menjadi calon legislatif. Dalam putusannya, MA menyatakan bahwa larangan mantan narapidana kasus korupsi menjadi caleg bertentangan dengan UU Pemilu.
Dalam sambutannya, Ketua Umum Perkumpulan IKA Magister Ilmu Hukum UKI Aryanti Baramuli Putri menjelaskan sasaran diskusi ini adalah untuk mengetahui apakah putusan MA sudah sesuai dengan konstitusi.
“Juga untuk mengetahui apakah putusan MA tersebut memberikan suatu ruang untuk melakukan tindak pidana,” ujar dia.
Sasaran berikutnya dalam diskusi ini, menurut Aryanti, apakah dengan adanya putusan MA ini merupakan produk hukum yang memberikan kepastian hukum.
“Harus ada kejelasan dan kepastian antar lembaga peradilan bila kita lihat keadaan saat ini karena UU Pemilu belum putus di MK. Caleg sudah diputuskan MA terlebih dahulu. Sementara PKPU mengacu pada UU Pemilu yang sedang digugat di Mahkamah Konstitusi,” kata dia.
Sementara Mewakili Bawaslu, Dwi Putra Nugraha SH, MH, menerangkan terkait pembahasan caleg koruptor ini sudah melalui diskusi panjang. Bahkan, sudah ada empat putusan terkait hal tersebut. Sedangkan dalam Kitab UU Hukum Pidana tersirat masih membolehkan para caleg yang pernah terlibat korupsi.
“Pembatasan hak politik (khususnya para caleg yang pernah korupsi) hanya bisa dikurangi oleh UU atau putusan pengadilan. Jadi, pengadilan tipikor lah yang bisa didorong untuk mencabut hak politik bagi caleg yang pernah jadi koruptor sehingga tidak bisa dipilih kembali. Jadi, bukan ditingkatan PKPU,” tegas dia.
Sedangkan Dr. Mombang Panggabean menjelaskan MA telah memutuskan larangan para mantan narapidana kasus korupsi menjadi calon anggota legislatif (caleg) karena dianggap bertentangan dengan UU Pemilu.
“Putusan MA ini berdampak pada berubahnya status tidak memenuhi syarat bakal caleg napi koropsi menjadi memenuhi syarat,” kata dia.
Pengamat Hukum, Dr. Daniel Yusmic Foekh, mengatakan pentingnya melihat putusan MA ini dari perspektif keadilan. Jika syarat menjadi anggota KPU dan Bawaslu saja begitu ketat, semisal tidak boleh dipenjara, maka apalagi menjadi calon legislatif.
“Anggota KPU dan Bawaslu bisa ketat, tapi mengapa bagi calon anggota DPR dan DPD tidak. (Seolah-olah) ada pengecualian (bagi calon anggota DPR dan DPD). ada apa? Apakah memang dari 265 juta warga Indonesia, sudah tidak ada lagi yang baik, sehingga harus diberi kewenangan bagi calon anggota legislatif yang merupakan mantan napi koruptor,” imbuh dia.
Pengamat politik, Deddy Tambun, mengatakan penyelenggaraan pemilu memang tidak terlepas dari kontroversi. Ada kontroversi antar lembaga dan juga Undang-Undang.
Kini, menurut Deddy, ada tiga lembaga yang berkaitan dengan penyelenggaraan Pemilu yaitu KPU, Bawaslu dan DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu).
“Terkait adanya persoalan seperti putusan MA ini, alangkah baiknya peran DKPP justru mestinya bisa diandalkan. Apalagi DKPP itu bukan hanya terdiri dari para praktisi tapi juga akademisi. DKPP harusnya bisa menjadi pemutus persoalan pemilu supaya masyarakat tidak bingung dan punya pegangan,” tandas mantan anggota Panwas ini.
Be the first to comment