Dissenting Opinion yang Membawa Harapan Sorbatua Siallagan dan Perjuangan Masyarakat Adat

masyarakat adat batak
Solidaritas Masyarakat Sipil Untuk Sorbatua Siallagan mendatangi Mahkamah Agung RI, Jakarta (26/2/2025) guna meminta keadilan dari MA terkait dengan perkara Sorbatua Siallagan (Ketua Komunitas Masyarakat Adat Ompu Umbak Siallagan di Dolok Parmonangan, Simalungun, Sumut).

IndonesiaVoice.com – Di bawah langit kelabu yang menggantung di atas ibukota, ratusan orang berkumpul di depan gedung Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia, Jakarta, (26/2/2025).

Mereka adalah bagian dari Solidaritas Masyarakat Sipil untuk Sorbatua Siallagan, sebuah gerakan yang lahir dari kegelisahan atas ketidakadilan yang dialami oleh Sorbatua Siallagan, Ketua Komunitas Masyarakat Adat Ompu Umbak Siallagan di Dolok Parmonangan, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Hari ini, mereka datang dengan satu tuntutan: keadilan.

Sorbatua Siallagan, seorang lelaki yang telah menghabiskan hidupnya memimpin komunitas adatnya, kini terjerat dalam pusaran hukum yang rumit. Pada 14 Agustus 2024, tiga hari sebelum peringatan kemerdekaan Indonesia ke-79, Pengadilan Negeri Simalungun menjatuhkan putusan yang mengguncang hati banyak orang.

Sorbatua dinyatakan bersalah karena “mengerjakan dan menduduki kawasan hutan” dan dihukum penjara selama dua tahun serta denda satu miliar rupiah. Jika denda tak terbayar, ia harus menjalani kurungan tambahan selama enam bulan.

Namun, putusan itu bukanlah akhir cerita. Judianto Simanjuntak, pengacara publik dari Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), dengan suara lantang menyatakan bahwa putusan tersebut keliru dan menyesatkan.

“Fakta sejarah menunjukkan bahwa komunitas Ompu Umbak Siallagan telah mendiami dan mengelola wilayah adatnya sejak tahun 1700-an, jauh sebelum kehadiran PT. Toba Pulp Lestari (TPL),” tegas Judianto dalam siaran persnya, Rabu (26/2/2025).

Generasi ke-11 dari keturunan Raja Ompu Umbak Siallagan ini telah hidup harmonis dengan alam, menjaga warisan leluhur mereka.

Dalam sidang itu, ada satu suara yang berbeda. Hakim Agung Cory Fondara Dodo Laia, S.H., M.H., menyampaikan dissenting opinion, pendapat yang berseberangan dengan mayoritas hakim. Ia berargumen bahwa tanpa sosialisasi izin Kawasan Hutan Produksi yang dimiliki TPL, tindak pidana tidak bisa dikenakan kepada Sorbatua.
“Ini menunjukkan bahwa sebenarnya Sorbatua tidak melakukan tindak pidana,” ujar Judianto.

Upaya hukum banding yang diajukan Sorbatua membawa angin segar. Pada 17 Oktober 2024, Pengadilan Tinggi Medan membatalkan putusan Pengadilan Negeri Simalungun.

Majelis hakim menyatakan bahwa perbuatan Sorbatua bukanlah tindak pidana, melainkan perbuatan perdata. Sorbatua pun dibebaskan dari segala tuntutan dan diperintahkan untuk dibebaskan dari rumah tahanan.

Namun, kelegaan itu tak bertahan lama. Kejaksaan Negeri Simalungun mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung, membawa kasus ini kembali ke titik awal.

Sinung Karto, dari Divisi Penanganan Kasus Pengurus Besar Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (PB AMAN), menegaskan bahwa putusan Pengadilan Negeri Simalungun melukai rasa keadilan.

“Keberadaan masyarakat adat dilindungi oleh konstitusi merujuk pada Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 28I ayat (3) UUD 1945,” katanya.

Namun, tanpa Undang-Undang Masyarakat Adat, perlindungan itu hanya menjadi kata-kata indah di atas kertas. “Kriminalisasi terhadap Sorbatua adalah akibat dari ketiadaan payung hukum yang jelas,” tambahnya.

Mufti Fathul Barri, Direktur Eksekutif Forest Watch Indonesia (FWI), menilai proses hukum ini telah melampaui nalar. Kawasan hutan yang disengketakan belum melalui tahapan penetapan resmi, melainkan masih dalam tahap penunjukan.

“Ini adalah konflik administrasi, bukan pidana,” tegasnya.

Konflik antara masyarakat adat Ompu Umbak Siallagan dan PT. TPL seharusnya diselesaikan melalui jalur administratif oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, bukan melalui meja hijau pengadilan.

Julius Ibrani, Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), melihat kasus ini sebagai cermin pengabaian negara terhadap hak-hak masyarakat adat.

“Aparat penegak hukum justru menjadi alat kriminalisasi, bukan pelindung keadilan,” ujarnya.

Pola kriminalisasi yang berulang ini, menurutnya, semakin memperkuat impunitas dan melemahkan komitmen negara dalam menegakkan hak asasi manusia.

Elisabet Simanjuntak, pimpinan aksi dari Sekretariat Nasional Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN), menyuarakan harapan mereka.

“Kami meminta Mahkamah Agung untuk menjaga netralitas dan independensinya. Tegakkan hukum demi keadilan bagi Sorbatua,” serunya.

Mereka berharap Mahkamah Agung akan menguatkan putusan Pengadilan Tinggi Medan yang membebaskan Sorbatua dari segala tuntutan.

Di tengah terik matahari yang mulai menyengat, suara-suara mereka bergema. Mereka bukan hanya memperjuangkan Sorbatua, tetapi juga masa depan masyarakat adat di seluruh Nusantara.

Sebuah perjuangan yang tak hanya tentang hukum, tetapi juga tentang martabat, identitas, dan hak untuk hidup berdampingan dengan alam.

Kini, semua mata tertuju pada Mahkamah Agung, menanti putusan yang akan menentukan nasib Sorbatua Siallagan—dan mungkin, nasib masyarakat adat di Indonesia.(*)

Be the first to comment

Tinggalkan Balasan