
IndonesiaVoice.com – Di dalam ruang sidang yang sunyi, palu keadilan diketuk. Namun, alih-alih memberikan ketenangan bagi korban Dr John Palinggi, suara itu terdengar seperti dentuman yang melukai hati.
Prof. Dr. Marthen Napang, S.H., M.H., guru besar hukum Universitas Hasanuddin, dijatuhi hukuman satu tahun penjara karena terbukti memalsukan putusan Mahkamah Agung (MA). Seharusnya, vonis ini menjadi penegasan bahwa kejahatan hukum tidak boleh dibiarkan.
Namun, bagi Dr. John Palinggi, pelapor sekaligus korban dalam perkara ini, keputusan tersebut hanyalah potongan kecil dari ironi yang lebih besar: “betapa hukum bisa dipermainkan oleh mereka yang justru seharusnya menjunjungnya“.
Skandal Coreng Wajah Hukum Indonesia
Kasus ini tidak bisa dipandang sebagai insiden biasa. Ini adalah pengkhianatan terhadap supremasi hukum, dilakukan oleh seorang akademisi yang seharusnya menjadi benteng keadilan.
Semua bermula ketika Dr. John Palinggi menemukan adanya dugaan pemalsuan putusan Mahkamah Agung dalam perkara No. 219 PK/PDT/2017.
Tidak tinggal diam, ia mengajukan permohonan klarifikasi kepada MA pada 15 Februari 2024. Jawabannya mengungkap fakta mencengangkan: “putusan yang digunakan oleh Marthen Napang adalah rekayasa—bukan dokumen resmi”.
Bukti-bukti yang dihadirkan dalam persidangan sangat jelas dan tidak terbantahkan. Ada email berisi dokumen putusan palsu, rekaman komunikasi digital, serta aliran dana mencapai Rp 950 juta ke berbagai rekening yang diduga berkaitan dengan manipulasi ini. Namun, meskipun fakta-fakta ini terungkap, keadilan yang didapat terasa terlalu ringan.
Vonis Ringan, Keadilan Dipertanyakan
Majelis Hakim yang dipimpin oleh Buyung Dwikora, S.H., M.H., akhirnya memutuskan bahwa Marthen Napang bersalah melakukan tindak pidana penipuan. Hukuman satu tahun penjara pun dijatuhkan.
Namun, vonis ini langsung menuai kritik keras. Iqbal, kuasa hukum Dr. John Palinggi, menegaskan bahwa jaksa sebenarnya telah menuntut empat tahun penjara dengan dakwaan Pasal 263 ayat 2 KUHP—pasal yang secara tegas mengatur pemalsuan dokumen. Namun, dalam putusan hakim, Marthen Napang hanya dinyatakan bersalah berdasarkan Pasal 378 KUHP tentang penipuan.
“Saya kecewa dengan vonis ini,” ujar Dr. John Palinggi. “Ini bukan sekadar soal saya sebagai korban, tetapi soal kehancuran moral dalam sistem hukum kita. Jika seorang profesor hukum bisa memalsukan putusan MA dan hanya dihukum satu tahun, apa yang bisa kita harapkan dari keadilan di negeri ini?”
Menurut John Palinggi, vonis ini menciptakan preseden buruk bagi dunia hukum. “Saya sudah tujuh tahun lebih berjuang membongkar kasus ini. Saya tidak peduli dengan uang Rp 950 juta yang hilang, tapi saya tidak bisa diam melihat Mahkamah Agung dilecehkan. Jika putusan tertinggi bisa dipalsukan, siapa lagi yang bisa menjamin keadilan di negeri ini?“
Celah Hukum dan Bobroknya Penegakan Etika
Kasus ini lebih dari sekadar perdebatan soal vonis. Ini adalah tamparan keras bagi dunia hukum dan akademik. Seorang guru besar hukum, yang seharusnya menjadi penjaga moralitas dan etika hukum, justru terbukti memanipulasi putusan pengadilan tertinggi di Indonesia. Ini bukan hanya pelanggaran hukum, tetapi penghinaan terhadap profesi hukum itu sendiri.
Lalu, bagaimana seorang pemalsu putusan MA hanya dihukum satu tahun, sementara seorang pencuri kecil bisa mendekam bertahun-tahun di balik jeruji besi?
Ini adalah bukti nyata bahwa ada ketimpangan dalam penegakan hukum. Hukum ternyata tidak selalu buta, ia bisa melihat siapa yang berdiri di hadapannya, dan terkadang, ia bisa memihak kepada mereka yang memiliki pengaruh.
Lebih dari Uang, Ini Soal Martabat Mahkamah Agung
Bagi Dr. John Palinggi, kasus ini bukan sekadar perkara uang. “Saya mediator non-hakim yang diangkat oleh Mahkamah Agung RI. Saya bekerja untuk menegakkan keadilan. Tapi ketika saya melihat lembaga tertinggi peradilan dilecehkan, saya tidak bisa diam,” katanya.
Ia menyesalkan mengapa banyak pihak seolah menutup mata terhadap pelanggaran besar ini.
“Bapak Presiden Prabowo berkomitmen membangun negara ini berdasarkan hukum. Tapi jika di dalam sistem ada yang mencabik-cabik harga diri Mahkamah Agung, saya sungguh prihatin,” ujar John Palinggi.
Menurutnya, jika seorang guru besar bisa lolos dengan hukuman ringan setelah memalsukan putusan MA, maka tidak ada jaminan kasus serupa tidak akan terjadi lagi di masa depan.
“Jika pemalsuan putusan MA dibiarkan, ke mana lagi rakyat harus mencari keadilan?“
Hukum Harus Ditegakkan, Tanpa Pandang Bulu
Kasus ini menjadi ujian besar bagi sistem hukum Indonesia. Jika banding tidak diajukan, jika tidak ada upaya memperbaiki keadilan yang pincang ini, maka akan ada lebih banyak orang yang bermain-main dengan hukum.
Masyarakat tidak ingin hukum hanya berlaku bagi yang kecil dan lemah, sementara mereka yang bergelar, berkuasa, atau memiliki jaringan luas bisa mengakali hukum dengan mudah.
Vonis ini telah dijatuhkan, tetapi perdebatan tentang keadilannya baru dimulai. Akankah ini menjadi bukti bahwa hukum di Indonesia masih bisa dibeli? Ataukah akan ada perlawanan untuk menegakkan keadilan yang sesungguhnya?
Yang pasti, jika kejahatan sebesar ini hanya dihukum ringan, maka negeri ini sedang berjalan menuju jurang kehancuran moral yang lebih dalam.
Waktu yang akan menjawab. Tetapi satu hal yang harus diingat:
“Keadilan bukanlah sekadar kata-kata dalam teks undang-undang, tetapi harus nyata dalam setiap keputusan yang diambil.”
Berita Terkait:
JPU Minta Hakim Tolak Pledoi Prof Marthen Napang, Ini Alasannya!
Jaksa Tuntut Empat Tahun Penjara Prof Marthen Napang Terkait Kasus Dugaan Pemalsuan Dokumen MA
Saksi Kolega Unhas Tegaskan Tidak Bertemu Marthen Napang pada 12 dan 13 Juni 2017
Ahli IT dan Forensik Ungkap Fakta Email Bukti di Sidang Terdakwa Marthen Napang
Saksi Maskapai dan Bank Ungkap Bukti Kuat Kasus Dugaan Penipuan dan Pemalsuan Prof Marthen Napang
Kesaksian Elsa Novita Bongkar Modus Pemalsuan dalam Sidang Terdakwa Marthen Napang
Saksi Pelapor Ungkap Fakta Baru dalam Sidang Kasus Penipuan Terdakwa Prof Dr Marthen Napang
Hakim Tolak Eksepsi Terdakwa Prof Marthen Napang Dalam Kasus Dugaan Pemalsuan Salinan Putusan MA
Saksi Kolega Unhas Tegaskan Tidak Bertemu Marthen Napang pada 12 dan 13 Juni 2017
Ahli IT dan Forensik Ungkap Fakta Email Bukti di Sidang Terdakwa Marthen Napang
Saksi Maskapai dan Bank Ungkap Bukti Kuat Kasus Dugaan Penipuan dan Pemalsuan Prof Marthen Napang
Kesaksian Elsa Novita Bongkar Modus Pemalsuan dalam Sidang Terdakwa Marthen Napang
Saksi Pelapor Ungkap Fakta Baru dalam Sidang Kasus Penipuan Terdakwa Prof Dr Marthen Napang
Hakim Tolak Eksepsi Terdakwa Prof Marthen Napang Dalam Kasus Dugaan Pemalsuan Salinan Putusan MA
Be the first to comment