
IndonesiaVoice.com – Suasana ruang sidang Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (22/1/2025) terasa penuh ketegangan ketika terdakwa kasus dugaan pemalsuan dokumen Mahkamah Agung (MA), Prof. Dr. Marthen Napang, SH, MH, membacakan nota pembelaannya
Namun, bukan substansi pledoi yang menjadi sorotan, melainkan panjangnya pembacaan yang berulang-ulang, seolah ingin menutupi fakta yang telah terungkap di persidangan.
Marthen Napang, yang merupakan Guru Besar di Universitas Hasanuddin (Unhas), berusaha membantah tuntutan empat tahun penjara yang diajukan Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Tuduhan terhadap Marthen Napang jelas yakni pemalsuan dokumen Mahkamah Agung (MA) sebagaimana diatur dalam Pasal 263 KUHP.
Namun, di balik setiap argumen pembelaan Marthen Napang, terdapat upaya untuk menggiring opini bahwa dirinya hanyalah korban kekeliruan sistem hukum.
Dalam sidang sebelumnya, dua ahli telah dihadirkan untuk membongkar fakta. Suwito Pomalingo, pakar teknologi informasi dari Universitas Multimedia Nusantara, dan Heri Priyatno, ahli forensik dari Mabes Polri, menyampaikan temuan mereka.
Bukti digital yang diperoleh dari sebuah flashdisk mengonfirmasi keberadaan email tanpa subjek yang dikirim dari akun marthennapang@gmail.com ke jnp_mediator@yahoo.com pada 13 Juni 2017. Lampiran email itu berisi dokumen yang diduga putusan MA yang dipalsukan.
Namun, dalam pledoinya, Marthen tetap bersikukuh. Ia menyangkal kepemilikan email tersebut, bahkan berusaha menggiring narasi bahwa dirinya tak pernah berhubungan dengan pelapor, Dr John Palinggi. Bantahan itu terdengar janggal, mengingat bukti elektronik sudah berbicara lebih jelas dibanding sekadar pengakuan.
Tak berhenti di sana, Marthen mencoba menarik perkara lain yang telah diputuskan di Pengadilan Negeri Makassar sebagai dalih untuk meminta kebebasan.
Ia berdalih bahwa kasusnya di PN Jakarta Pusat seharusnya mengikuti putusan sebelumnya, di mana ia sempat divonis enam bulan penjara, kemudian dibebaskan setelah mengajukan Peninjauan Kembali (PK) di MA pada Oktober 2024.
Padahal, perkara yang ditanganinya saat itu berbeda: kasus di PN Makassar berkaitan dengan laporan palsu (Pasal 220 KUHP), sementara di PN Jakarta Pusat, ia menghadapi dakwaan pemalsuan dokumen (Pasal 263 KUHP).
Dinamika sidang semakin menarik untuk diikuti, terutama dengan agenda replik yang dijadwalkan pada Rabu, 5 Februari 2025. Akankah pembelaan panjang yang diulang-ulang ini berhasil menggoyahkan keyakinan hakim? Ataukah justru menjadi bukti tambahan bahwa terdakwa hanya berusaha menghindari konsekuensi hukum?
Kasus ini bukan hanya soal pemalsuan dokumen, tetapi juga tentang bagaimana hukum diuji dalam menghadapi pembelaan yang lebih menyerupai permainan kata.
Publik menantikan bagaimana hakim akan menilai pledoi yang lebih banyak membangun narasi dibanding menanggapi fakta.
Berita Terkait:
Jaksa Tuntut Empat Tahun Penjara Prof Marthen Napang Terkait Kasus Dugaan Pemalsuan Dokumen MA
Saksi Kolega Unhas Tegaskan Tidak Bertemu Marthen Napang pada 12 dan 13 Juni 2017
Ahli IT dan Forensik Ungkap Fakta Email Bukti di Sidang Terdakwa Marthen Napang
Saksi Maskapai dan Bank Ungkap Bukti Kuat Kasus Dugaan Penipuan dan Pemalsuan Prof Marthen Napang
Kesaksian Elsa Novita Bongkar Modus Pemalsuan dalam Sidang Terdakwa Marthen Napang
Saksi Pelapor Ungkap Fakta Baru dalam Sidang Kasus Penipuan Terdakwa Prof Dr Marthen Napang
Hakim Tolak Eksepsi Terdakwa Prof Marthen Napang Dalam Kasus Dugaan Pemalsuan Salinan Putusan MA
Saksi Kolega Unhas Tegaskan Tidak Bertemu Marthen Napang pada 12 dan 13 Juni 2017
Ahli IT dan Forensik Ungkap Fakta Email Bukti di Sidang Terdakwa Marthen Napang
Saksi Maskapai dan Bank Ungkap Bukti Kuat Kasus Dugaan Penipuan dan Pemalsuan Prof Marthen Napang
Kesaksian Elsa Novita Bongkar Modus Pemalsuan dalam Sidang Terdakwa Marthen Napang
Saksi Pelapor Ungkap Fakta Baru dalam Sidang Kasus Penipuan Terdakwa Prof Dr Marthen Napang
Hakim Tolak Eksepsi Terdakwa Prof Marthen Napang Dalam Kasus Dugaan Pemalsuan Salinan Putusan MA
Be the first to comment