IndonesiaVoice.com – Sidang kasus dugaan penipuan dan pemalsuan putusan Mahkamah Agung (MA) dengan terdakwa Prof Marthen Napang, Guru Besar Universitas Hasanuddin, kembali digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Selasa (17/12/2024). Sidang kali ini menghadirkan pemeriksaan terdakwa yang dipenuhi berbagai bantahan terkait dakwaan.
Bantahan Marthen Napang atas Kesaksian dan Bukti
Dalam persidangan, Marthen Napang menyatakan dirinya hadir pada pemeriksaan digital forensik pada 20 April 2017. Namun, ia menegaskan bahwa pelapor, John Palinggi, tidak hadir pada waktu itu.
“Saya datang dan handphone saya diperiksa oleh ahli digital forensik. Tidak ada temuan apa pun, dan ponsel saya dikembalikan,” katanya.
Marthen juga membantah kesaksian yang menyebutkan dirinya mengunjungi kantor John Palinggi pada Juni 2017.
“Saya tidak pernah ke kantor John Palinggi pada Juni 2017. Pada tanggal 9, 12, dan 14 Juni, saya berada di Makassar. Keterangan saksi itu tidak benar,” ujar Marthen dengan tegas.
Meski begitu, terkait pengakuan Marthen Napang berada di Makassar itu menjadi tanya-tanya. Sebab dalam persidangan sebelumnya 30 September 2024, JPU Saksi dari PT Lion Group, Vande, mengungkapkan terdakwa melakukan enam penerbangan selama Juni 2017. Salah satunya adalah penerbangan pada 13 Juni 2017 dari Jakarta ke Makassar. Hal ini membantah klaim terdakwa yang menyatakan dirinya berada di Makassar pada 12 Juni 2017.
Juga, lanjut Vande, ditemukan ada 6 kali penerbangan yang dilakukan oleh Marthen Napang (selama Juni 2017). Penerbangan yang ditemukan adalah pada tanggal 5 Juni dari Jakarta – Makassar, 13 Juni dari Jakarta – Makassar, 17 Juni Makassar – Jakarta, 21 Juni dari Jakarta – Makassar, 27 Juni Malaysia – Bangkok, dan 27 Juni Malaysia (Langkawi) – Malaysia (Kuala Lumpur)..
Somasi dan Sengketa Tanah
Dalam kesaksiannya, Marthen mengungkap bahwa dirinya pernah mengirim somasi kepada Elsa Novita terkait pengembalian uang senilai Rp 500 juta untuk pembelian tanah.
“Saya sudah memberi somasi agar uang itu dikembalikan. Hingga kini, surat-surat terkait transaksi itu tidak ada kelanjutannya,” jelasnya.
Namun, kasus ini semakin rumit setelah muncul pengakuan bahwa Elsa menggunakan identitas palsu. Marthen mengaku tidak mengetahui kebenaran tersebut hingga diberitahu oleh penyidik.
Transfer Dana dan Konflik
Persidangan juga menyoroti dugaan transfer dana oleh John Palinggi kepada beberapa orang, yang kemudian dikaitkan dengan Marthen. Terdakwa membantah keterlibatannya dalam transaksi itu.
“Saya tidak pernah memberikan nomor rekening tersebut kepada John Palinggi. Bahkan, saya baru tahu tentang transfer itu setelah ada sengketa,” ungkap Marthen.
Terkait tiga nomor rekening yang disebutkan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP), Marthen mengaku pernah mentransfer dana untuk transaksi tanah di Jakarta dan Kendari.
Namun, ia menegaskan transaksi itu tidak terkait dengan kejahatan seperti yang dituduhkan. “Tuduhan saya mendanai tindak pidana sangat tidak berdasar,” katanya.
Sedangkan dalam persidangan pada tanggal 24 September 2024, Elsa Novita mengungkapkan bahwa pertama kali mengetahui namanya terlibat dalam aliran dana, ketika John Palinggi datang ke rumahnya pada Agustus 2017 dan menyebut telah mentransfer uang dengan total Rp 250 juta ke rekening BCA atas nama Elsa Novita.
Elsa mengakui bahwa ia memiliki rekening BCA, tetapi setelah memeriksa di ATM bersama suaminya, tidak ada uang sebesar itu masuk ke rekeningnya. Setelah dicek, ternyata nomor rekening yang ditransfer berbeda dengan rekeningnya
Elsa Novita kemudian mendatangi pihak BCA dan menemukan bahwa rekening tersebut dibuka menggunakan data identitasnya yang telah dipalsukan, mulai dari status pernikahan, status pernikahan, status pekerjaan, foto, tanda tangan, dan juga tanda tangan yang terletak di bawah foto. Sedangkan, terkait tempat dan tanggal lahir serta NIK, datanya sama.
Klarifikasi Email dan Foto
Dalam sidang, pengacara menunjukkan foto dan email yang diduga milik Marthen. Ia menjelaskan bahwa email lamanya telah diretas sehingga ia menggantinya dengan alamat baru. “Saya tidak lagi memakai email lama karena merasa telah diretas,” terangnya.
Sedangkan dalam persidangan 29 Oktober 2024, Subdit Forensik Puslabfor Mabes Polri, Heri Priyatno, mengungkapkan dirinya melakukan pendampingan kepada penyidik dalam proses ekstraksi data dari flashdisk yang berisi salinan email terkait. Flashdisk tersebut kemudian dikirim ke lab forensik sebagai barang bukti. Dari analisis terhadap flashdisk tersebut, Heri mengonfirmasi adanya email tanpa subjek yang dikirim dari akun marthennapang@gmail.com kepada jnp_mediator@yahoo.com pada tanggal 13 Juni 2017 pukul 15:03. Di dalam lampiran email itu terdapat dokumen yang diduga merupakan putusan MA.
Sorotan Barang Bukti
Jaksa Penuntut Umum, Suwarti, menyoroti barang bukti berupa kartu nama yang ditemukan selama pemeriksaan.
“Kartu nama ini diberikan pada tahun 2004 dan juga pada tahun 2017,” jelas Marthen saat menjawab pertanyaan JPU.
Namun, perhatian utama dalam sidang kali ini adalah hubungan terdakwa dengan pelapor, John Palinggi. Majelis Hakim Ketua, Buyung Dwikora, mempertanyakan dinamika antara keduanya yang berujung pada perkara hukum ini.
“Saudara terdakwa mengatakan tidak terlalu kenal dengan pelapor, namun mengakui ada hubungan keluarga jauh dari Toraja. Sebenarnya apa yang terjadi antara Anda dan John Palinggi?” tanya Majelis Hakim.
Marthen menjelaskan bahwa konflik bermula dari permintaan pinjaman uang oleh John Palinggi pada tahun 2017.
“Dia minta pinjam Rp 1 miliar, tapi saya tolak karena memang tidak punya uang. John marah dan mendesak, tapi tetap saya tidak kasih,” ujar Marthen.
Sontak, penjelasan Marthen Napang ini mengundang gelak tawa sambil menggelengkan kepala dari Pelapor John Palinggi beserta tim kuasa hukumnya yang menghadiri sidang tersebut. Pasalnya, perlu diketahui, John Palinggi merupakan pengusaha sukses yang sudah mengunjungi lebih dari 41 negara ini sudah puluhan tahun berkantor di Graha Mandiri, Jl Imam Bonjol, Jakarta. Dimana dia mesti mengeluarkan biaya operasional sedikitnya Rp. 1 Milyar setiap tahunnya.
Persoalan Transfer Dana ke Elsa Novita
Majelis Hakim juga mengupas keterkaitan transfer dana dari terdakwa dan John Palinggi kepada Elsa Novita, yang menjadi salah satu titik sengketa. Marthen mengaku transfernya dilakukan untuk pembelian tanah, namun transaksi itu batal karena konflik yang muncul.
“Saya transfer ke Elsa Novita untuk pembelian tanah, tapi transaksi batal. Elsa takut bertemu saya karena mengira uang saya hasil kejahatan,” terang Marthen.
Hakim menegaskan bahwa baik Marthen maupun John Palinggi sama-sama mengenal Elsa Novita. Namun, tujuan transfer dari pihak pelapor masih menjadi tanda tanya.
“John Palinggi bilang ke saya bahwa dia juga sudah transfer ke Elsa. Tapi saya tidak tahu jelas tujuannya,” tambah Marthen.
Laporan Balik
Marthen mengungkapkan bahwa ia pernah melaporkan John Palinggi atas tuduhan pencemaran nama baik.
“Dia mengirim surat ke Kementerian Pendidikan Tinggi, menuduh saya sebagai teroris, pencuci uang, bandar narkoba, dan memiliki putusan MA palsu. Surat itu bahkan sampai ke Rektor,” ujar Marthen.
Meski telah dilaporkan, proses hukum atas dugaan pencemaran nama baik tersebut dihentikan oleh pengadilan di Makassar melalui SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan).
Secara keseluruhan, Marthen membantah seluruh dakwaan, termasuk tuduhan keterlibatannya dalam memalsukan putusan MA. “Saya tidak pernah melakukan tindakan seperti yang dituduhkan,” tegasnya.
Berita Terkait:
Saksi Kolega Unhas Tegaskan Tidak Bertemu Marthen Napang pada 12 dan 13 Juni 2017
Ahli IT dan Forensik Ungkap Fakta Email Bukti di Sidang Terdakwa Marthen Napang
Saksi Maskapai dan Bank Ungkap Bukti Kuat Kasus Dugaan Penipuan dan Pemalsuan Prof Marthen Napang
Kesaksian Elsa Novita Bongkar Modus Pemalsuan dalam Sidang Terdakwa Marthen Napang
Saksi Pelapor Ungkap Fakta Baru dalam Sidang Kasus Penipuan Terdakwa Prof Dr Marthen Napang
Hakim Tolak Eksepsi Terdakwa Prof Marthen Napang Dalam Kasus Dugaan Pemalsuan Salinan Putusan MA
Be the first to comment