Nelayan, Mahasiswa, dan Penyandang Disabilitas Gugat UU Pajak, Perlawanan Rakyat Kecil di Mahkamah Konstitusi

mahkamah konstitusi
Sidang perdana Uji Materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) terkait topik pajak pertambahan nilai (PPN) di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, 10 Maret 2025.

IndonesiaVoice.com –  Di tengah gemuruh ombak yang menerpa Pulau Pari, Asmania, seorang perempuan nelayan, harus berjuang melawan dua gelombang sekaligus: perubahan iklim yang merusak hasil tangkapannya dan kebijakan pajak yang semakin memberatkan hidupnya. 

Bersama Fauzan Hakami, mahasiswa yang khawatir tak bisa melanjutkan pendidikan, serta Risnawati Utami, penyandang disabilitas yang terbebani biaya hidup tambahan, mereka mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Gugatan ini bukan sekadar soal angka dan persentase, melainkan tentang keberlangsungan hidup rakyat kecil yang terpinggirkan oleh kebijakan yang dianggap tidak adil. 

Sidang perdana uji materi UU HPP digelar pada 10 Maret 2025, dengan agenda pemeriksaan pendahuluan. Para pemohon, yang terdiri dari individu dan organisasi terdampak, menuntut keadilan atas kebijakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12% yang dinilai merugikan masyarakat.

Baca juga: Vonis Ringan Guru Besar Hukum Unhas Marthen Napang, Apakah Pemalsuan Putusan MA Dianggap Sepele?


Wajah-Wajah yang Terlupakan

Asmania, nelayan dari Pulau Pari, merasakan langsung dampak kebijakan ini. Penghasilannya yang sudah menipis akibat kerusakan lingkungan dan perubahan iklim, semakin terpuruk dengan kenaikan PPN. 

“Saya harus memilih antara membeli kebutuhan pokok keluarga atau memenuhi kebutuhan spesifik saya sebagai perempuan,” ujarnya dengan suara lirih.

Fauzan Hakami, mahasiswa Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka, juga merasakan beban yang sama. 

Kenaikan biaya pendidikan akibat dihapusnya jasa pendidikan dari daftar yang tidak dikenai PPN, membuatnya khawatir tidak bisa menyelesaikan studinya. 

“Ini bukan hanya soal uang, tapi juga tentang masa depan kami,” tegasnya.

Baca juga: Dari UKI Untuk Indonesia: GARANSI Dideklarasikan, Bergerak Lawan Korupsi


Risnawati Utami, penyandang disabilitas fisik, menambahkan bahwa kebijakan ini semakin memberatkan hidupnya. 

“Kami sudah terbebani dengan biaya tambahan untuk kebutuhan spesifik. PPN ini hanya membuat hidup kami semakin sulit,” ujarnya.

Kebijakan PPN, Langkah Mundur Negara 

Afif Abdul Qoyim, kuasa hukum para pemohon yang tergabung dalam Tim Advokasi untuk Demokrasi Sektor Keadilan Pajak (TAUD-SKP), menyatakan bahwa UU HPP telah mengabaikan prinsip progressive realization yang mewajibkan negara untuk memenuhi hak-hak dasar rakyat secara bertahap. 

“Dihapusnya jasa pelayanan kesehatan dan pendidikan dari daftar yang tidak dikenai PPN adalah langkah mundur yang bertentangan dengan konstitusi,” tegasnya.

Novia Sari, kuasa hukum lainnya, menekankan bahwa kebijakan ini tidak mempertimbangkan kebutuhan spesifik perempuan dan penyandang disabilitas. 

Baca juga: Ketika Koruptor Dimuliakan, Orang Jujur Tersingkir, Gerakan Batak Anti Korupsi Jadi Jawaban!


“Perempuan dan penyandang disabilitas adalah kelompok yang paling rentan. Kebijakan ini hanya memperparah ketidakadilan yang sudah ada,” ujarnya.

Ketidakpastian Hukum dan Ancaman bagi Masa Depan

Judianto Simanjuntak, kuasa hukum para pemohon, menyoroti ketidakpastian hukum yang timbul akibat UU HPP. 

“Perubahan tarif PPN bisa dilakukan sewaktu-waktu tanpa indikator yang jelas. Ini menimbulkan ketidakpastian bagi masyarakat,” ujarnya. 

Ia juga menegaskan bahwa perubahan tarif pajak seharusnya diatur melalui undang-undang, bukan peraturan menteri, sesuai dengan Pasal 23A UUD 1945.

Fauzan Hakami, sebagai perwakilan pemohon, menegaskan bahwa kebijakan ini hanya memberatkan rakyat kecil. 

Baca juga: Kolaborasi Inovatif ITB dan ST Morita Farma: Tamanu Polyphenol, Solusi Revolusioner Perawatan Kulit dan Mulut


“PPN 12% ini akan memicu kenaikan harga, menurunkan daya beli, dan memperlebar ketimpangan sosial. Sementara itu, pajak untuk orang super kaya tidak diatur dengan tegas,” ujarnya.

Tuntutan kepada Mahkamah Konstitusi

Para pemohon meminta MK untuk:

  1. Menunda pemberlakuan Pasal 4A ayat (2) huruf b dan (3) huruf a, g, j serta Pasal 7 ayat (1), (3), dan (4) UU HPP hingga putusan akhir.
  2. Menyatakan pasal-pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
  3. Memastikan perubahan tarif PPN diatur dengan undang-undang, bukan peraturan menteri.

Mahkamah Konstitusi memberikan waktu 14 hari kepada para pemohon untuk memperbaiki permohonan uji materiil ini. Sidang ini menjadi harapan baru bagi rakyat kecil yang menuntut keadilan di tengah kebijakan yang dinilai tidak memihak.

Baca juga: Ketum AMINDO, Dr John Palinggi: Mediasi Efektif Cegah Konflik Industrial Pasca-PHK Massal


Perlawanan yang Tak Pernah Usai

Di balik sidang yang dingin dan formal, ada cerita-cerita pilu yang tersembunyi. Ada nelayan yang berjuang melawan ombak dan kebijakan, mahasiswa yang mempertaruhkan masa depannya, dan penyandang disabilitas yang berjuang untuk hidup layak. 

Gugatan ini bukan hanya tentang angka dan persentase, tapi tentang manusia-manusia yang ingin diakui haknya.

Di tengah ketidakpastian, mereka tetap berharap: bahwa Mahkamah Konstitusi akan menjadi mercusuar keadilan yang menerangi jalan mereka menuju kesejahteraan.

Be the first to comment

Tinggalkan Balasan