
IndonesiaVoice.com – Malam itu, langit di Ngada terasa lebih gelap dari biasanya. Bukan karena mendung atau hujan, tapi karena sebuah kabar yang menyayat nurani yaitu seorang anak mengadu, diikuti dua anak lainnya.
Mereka bercerita dengan suara bergetar, tentang ketakutan yang mereka simpan, tentang seorang pria berseragam yang seharusnya melindungi, tapi justru melukai.
Lelaki itu adalah AKBP Fajar Widyadharma Lukman, mantan Kapolres Ngada. Sosok yang selama ini berwibawa di hadapan anak buahnya, kini duduk di kursi pesakitan sebagai tersangka kasus pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur.
Kabar ini mencabik hati, mengoyak kepercayaan, dan menampar kesadaran kita bahwa kejahatan bisa bersembunyi di balik pangkat dan jabatan, bahwa seragam tak selalu menjamin keselamatan.
Jeritan yang Lama Senyap
Dalam sunyi, banyak anak-anak di negeri ini yang terpaksa menyimpan luka. Mereka menanggung beban yang seharusnya tak pernah ada dalam dunia anak-anak—trauma, ketakutan, dan kehilangan rasa percaya pada orang dewasa.
Sekretaris Eksekutif Bidang Keadilan dan Perdamaian Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Pdt. Etika Saragih, dengan tegas mengecam tindakan ini.
“Ini bukan hanya pelanggaran hukum, tetapi juga penghancuran martabat manusia. Sebuah pengkhianatan terhadap kepercayaan publik,” ujarnya.
Dalam pandangan PGI, kejahatan ini tak hanya melukai korban secara fisik dan psikologis, tetapi juga mencederai nilai-nilai kemanusiaan yang seharusnya dijunjung tinggi.
Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Anak (KHA) sejak 1990, namun nyatanya, perlindungan anak di negeri ini masih rapuh.
Baca juga: Vonis Ringan Guru Besar Hukum Unhas Marthen Napang, Apakah Pemalsuan Putusan MA Dianggap Sepele?
Menuntut Keadilan, Mengembalikan Harapan
Dalam pernyataan resminya, PGI mendesak Polri untuk mengusut tuntas kasus ini tanpa ada upaya perlindungan terhadap pelaku.
“Hukum harus ditegakkan, bukan sekadar formalitas, tetapi dengan transparansi dan akuntabilitas,” tegas Pdt. Etika.
Selain itu, Kapolri juga diminta untuk mengevaluasi mekanisme pengawasan internal agar tak ada lagi oknum yang menyalahgunakan kekuasaan mereka untuk melakukan kejahatan serupa.
Tak hanya keadilan bagi pelaku, PGI juga menuntut pemerintah daerah dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk memberikan pendampingan dan rehabilitasi bagi korban.
“Anak-anak ini bukan sekadar angka dalam laporan kasus. Mereka adalah individu yang berhak mendapatkan pemulihan, perlindungan, dan keadilan,” lanjutnya.
Baca juga: Dari UKI Untuk Indonesia: GARANSI Dideklarasikan, Bergerak Lawan Korupsi
Kejadian ini bukan yang pertama. Dan jika sistem hukum serta pengawasan internal tidak diperbaiki, ini juga tak akan menjadi yang terakhir.
Jangan Biarkan Sunyi Menjadi Kuburan Keadilan
Ada banyak anak di Indonesia yang saat ini hidup dalam ketakutan. Mereka dipaksa diam, entah karena rasa malu, ancaman, atau karena tak tahu ke mana harus mengadu.
Kejahatan seksual terhadap anak bukan hanya soal individu yang menyimpang, tetapi juga soal sistem yang membiarkan mereka lolos tanpa hukuman setimpal.
Negara, aparat, dan kita semua punya tanggung jawab untuk memastikan bahwa suara anak-anak ini didengar, bahwa luka mereka tidak dianggap angin lalu. Bahwa mereka tidak hanya dihitung dalam statistik, tetapi dipulihkan sebagai manusia seutuhnya.
Baca juga: Ketika Koruptor Dimuliakan, Orang Jujur Tersingkir, Gerakan Batak Anti Korupsi Jadi Jawaban!
“Anak-anak adalah masa depan bangsa. Jika kita tidak melindungi mereka hari ini, kita sedang menghancurkan masa depan kita sendiri,” tutup Pdt. Etika Saragih.
Kini, bola keadilan ada di tangan penegak hukum. Apakah mereka akan berpihak pada kebenaran, atau justru membiarkan kejahatan ini tenggelam dalam diam?
Kita menunggu. Anak-anak ini menunggu.
Be the first to comment