Raih Gelar Doktor Hukum, Hulman Panjaitan: Pentingnya Pembentukan Pengadilan Sengketa Konsumen 

Raih Gelar Doktor Hukum, Hulman Panjaitan: Pentingnya Pembentukan Pengadilan Sengketa Konsumen 
Dekan FH UKI Hulman Panjaitan, SH, MH

Dekan Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia (FH UKI) Hulman Panjaitan, SH, MH, berhasil meraih gelar doktor pada Sidang Terbuka Promosi Doktor dari Universitas Pelita Harapan yang diadakan secara daring (20/2). Hulman Panjaitan lulus Doktor dengan yudisium Magna Cum laude dan IPK 3.91.

Sidang Promosi Doktor tersebut dipimpin Ketua Sidang: Dr (Hon) Jonathan L Parapak, MEng.Sc, Promotor Prof Dr Nindyo Pramono, SH, MS, dan Ko-Promotor Assoc Prof Dr Henry Soelistyo Budi, SH, LLM. Sedangkan Oponen Ahli yakni Prof Dr Bintan R Saragih, SH, Prof Dr Basuki Rekso Wibowo, SH, MS, Prof Dr IBR Supancana, SH, MH, Prof Dr Rosa Agustina, SH, MH, dan Dr Dhaniswara K Harjono, SH, MH, MBA.

Dalam Sidang tersebut, Hulman berhasil mempertahankan disertasinya yang berjudul “Reposisi dan Penguatan Kelembagaan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dalam Memberikan Perlindungan Hukum Kepada Konsumen dan Menjamin Keseimbangan Kepentingan Konsumen dan Pelaku Usaha” 

Dalam disertasinya, Hulman memaparkan penyelesaian sengketa konsumen secara cepat, adil dan biaya murah merupakan dambaan semua pihak, baik oleh pelaku usaha maupun bagi konsumen yang dalam berbagai keadaan mempunyai posisi yang dominan lemah dibanding dengan pelaku usaha. 

“Sebagai suatu negara kesejahteraan (welfare state), keadaan ini disadari pemerintah, sehingga pemerintah melakukan intervensi dalam memberikan perlindungan hukum kepada konsumen melalui pembentukan Undang Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) yang didalamnya mengatur Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) sebagai suatu lembaga yang khusus menyelesaikan sengketa konsumen dengan pelaku usaha di luar pengadilan,” kata dia. 


Baca juga: Dekan FH UKI Hulman Panjaitan: Penegakan Hukum terhadap Pelanggar HKI Masih Lemah dan Belum Jadi Prioritas  

Hulman melanjutkan tujuan pembentukan BPSK sebagai alternatif penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan adalah dalam rangka tercapainya penyelesaian sengketa konsumen secara cepat, murah dan adil. 

Sebab itulah, UUPK banyak memberikan manfaat dan kemudahan kepada konsumen dalam menyelesaikan sengketanya melalui BPSK, diantaranya biaya yang murah dan waktu yang relatif lebih cepat dan beban pembuktian terbalik dalam perkara-perkara tertentu sesuai Pasal 19 UUPK. 

“Namun realitas penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK dalam memberikan perlindungan hukum kepada konsumen serta mewujudkan keseimbangan kepentingan konsumen dengan pelaku usaha tidak sesuai harapan. Karena terdapat sejumlah kendala dan permasalahan, diantaranya, kendala kelembagaan, pendanaan, harmonisasi dan konsistensi peraturan perundang-undangan dan sumber daya manusia,” beber dia.   

“Berdasarkan sejumlah kendala dan permasalahan yang dialami BPSK tersebut, dalam rangka pemberian perlindungan hukum kepada konsumen dan menjamin keseimbangan kepentingan konsumen dan pelaku usaha, maka secara kelembagaan BPSK perlu direposisi dan diberi penguatan. Dan memperhatikan belum adanya disertasi atau penelitian setara disertasi yang membahas dan melakukan kajian terhadap reposisi dan penguatan kelembagaan BPSK sebagai akibat kelemahan dan kendala yang dialaminya sehingga tidak mampu memberikan keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sebagai wujud perlindungan hukum kepada konsumen,” pungkasnya. 


Baca juga: Kampus UKI Buka Dapur Umum KOINONIA Untuk Mahasiswa Ditengah Pandemi Covid-19

Hulman menjelaskan tiga pokok permasalahan dalam disertasinya sebagai berikut : 

  1. Bagaimana pengaturan mengenai kedudukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen sebagai lembaga penyelesaian sengketa konsumen ditinjau dari sistem peradilan di Indonesia ?  
  2. Bagaimana implementasi perlindungan hukum dan jaminan keseimbangan kepentingan konsumen dengan pelaku usaha dalam  penyelesaian sengketa konsumen melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen? 
  3. Bagaimana bentuk reposisi dan penguatan kelembagaan penyelesaian sengketa konsumen, sehingga mampu memberikan perlindungan hukum kepada konsumen dan menjamin keseimbangan kepentingan antara konsumen dan pelaku usaha ?   

 “Teori hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori tujuan hukum yang dikemukakan Gustav Radbruch, yaitu keadilan sebagai tujuan hukum dari aspek filsafat, kepastian hukum sebagai tujuan hukum dari aspek juridis dan kemanfaatan sebagai tujuan hukum dari aspek sosiologis,” urai dia. 

“Selain itu adalah teori Sistem Hukum yang dikemukakan oleh Lawerence M. Friedman, yang terdiri dari Struktur hukum, substansi hukum dan budaya hukum. Termasuk teori perlindungan hukum yang dikemukakan oleh Philipus M Hadjon,” lanjut Hulman. 

Sengketa konsumen, lanjut Hulman, sebagai suatu sengketa antara pelaku usaha dengan konsumen yang menuntut ganti rugi atas kerusakan, pencemaran dan/atau yang menderita kerugian akibat mengkonsumsi barang dan atau memanfaatkan jasa, secara umum dapat diselesaikan baik melalui Pengadilan maupun di luar Pengadilan. 


Baca juga: Kampus UKI Buka Dapur Umum KOINONIA Untuk Mahasiswa Ditengah Pandemi Covid-19

“Melalui pengadilan merupakan kompetensi absolut dari Pengadilan Negeri sebagai bagian dari peradilan umum sedangkan di luar pengadilan dilakukan melalui BPSK sesuai Pasal 45 ayat (2) UUPK,” ujar dia.  

Penelitian dalam disertasi ini, jelas Hulman, merupakan penelitian hukum normatif yang juga dikenal sebagai penelitian hukum doktrinal, didukung dengan penelitian empiris. Dengan mempergunakan pendekatan undang-undang, pendekatan kasus dan pendekatan komparatif (perbandingan). 

Mengingat bentuk penelitian adalah penelitian hukum normatif yang didukung dengan penelitian empiris, maka jenis data yang digunakan adalah baik data primer maupun data sekunder. Dengan alat pengumpulan data melalui studi dokumenter dan wawancara.  

Terhadap pokok permasalahan yang pertama, urai Hulman, bagaimana Pengaturan Kedudukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Sebagai Lembaga Penyelesaian Sengketa dalam Sistem Peradilan di Indonesia dapat dikemukakan bahwa dengan memperhatikan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen sebagai dasar pembentukan BPSK, termasuk aturan pelaksanaannya yang tersebut dalam Kepmerindag No. 350/MPP/Kep/12/2001 dan Permendag No. 06/M-DAG/PER/2/2017, dapat diketahui bahwa pembentukan BPSK sebagai lembaga penyelesaian sengketa khusus konsumen di luar Pengadilan tidak didasarkan kepada Undang Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman, yaitu UU No. 14 Tahun 1970 jo UU No. 48 Tahun 2009.  


Baca juga: Ditengah Pandemi Covid-19, FH UKI Jakarta Salurkan Bantuan Kepada Mahasiswa Perantau 

Pada konsiderans bagian “mengingat” dari peraturan perundang-undangan pembentukan BPSK, termasuk UU No. 8 Tahun 1999 hanya mencantumkan Pasal 5 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), Pasal 27 dan Pasal 33 UUD 1945 dan tidak mencantumkan undang undang tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman maupun peraturan perundang-undangan lainnya bidang kekuasaan kehakiman sebagai dasar pembentukannya, seperti halnya dengan UU No. 2 Tahun 2004 tentang Pengadilan Hubungan Industrial yang dalam konsideransnya mencantumkan UU No. 14 Tahun 1970 dan UU No. 2 Tahun 1986 sebagai dasar pembentukannya. 

Bahkan melalui Kepmerindag No. 350/MPP/Kep/12/2001 dan Pemendag No. 06/M-DAG/PER/2/2017, pada konsiderans bagian “mengingat”, selain hanya mencantumkan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen sebagai dasar pembentukannya adalah juga mencantumkan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah dan UU No. 2 Tahun 2014 tentang Perdagangan sehingga dengan demikian BPSK tidak merupakan bagian dari pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia dan berada diluar sistem peradilan Indonesia sesuai UUKK. 

Terhadap permasalahan yang kedua, kata Hulman, yaitu bagaimana Implementasi Perlindungan hukum kepada Konsumen Dalam Penyelesaian Sengketa Konsumen Melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, dapat diuraikan bahwa pembentukan BPSK sebagai lembaga penyelesaian sengketa konsumen di luar Pengadilan dimaksudkan adalah untuk memberikan perlindungan hukum kepada konsumen secara adil dan bermanfaat dengan waktu yang cepat dan biaya murah. 


Baca juga: Sikapi Teror Bom di Surabaya, IKA PPs UKI: “Segera Sahkan RUU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme”

Namun, berdasarkan penelitian yang dilakukan, baik terhadap pelaku usaha, konsumen, pengamat dan advokat maupun sumber bahan hukum primer lainnya, dapat dikemukakan bahwa dalam praktik, aspek keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sebagai wujud perlindungan hukum kepada konsumen, tidak dapat terwujud sebagaimana diharapkan karena adanya sejumlah kendala atau hambatan dalam penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK yaitu sebagai berikut : 

  1. Kendala pendanaan 
  2. Kendala Kelembagaan 
  3. Kendala Peraturan, yang meliputi.
    1. Kekurang lengkapan pengaturan dari segi materi (substansial).
    2. Adanya aturan yang bersifat kontradiksi 
    3. Pengaturan upaya hukum yang tidak dikenal dalam hukum acara 
    4. Ketidakkonsistenan antara peraturan perundang-undangan yang terkait dengan perlindungan konsumen.
  4. Kendala Sumber Daya Manusia BPSK. 
  5. Kendala Tidak Adanya Irah-Irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. 
  6. Kendala Pemilihan Metode Penyelesaian Sengketa di BPSK. 

“Dalam praktik penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK, dikaitkan dengan tujuan hukum yang disampaikan Gustav Radbruch, maka dapat dikatakan bahwa penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK tidak mencerminkan asas keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan serta tidak menjamin adanya keseimbangan kepentingan konsumen dan pelaku usaha, karena adanya sejumlah kendala atau permasalahan yang dialami BPSK sebagaimana diuraikan diatas.   

Terhadap permasalahan yang ketiga mengenai bentuk Reposisi dan penguatan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dalam memberikan perlindungan Hukum Kepada Konsumen dan Menjamin Keseimbangan Kepentingan Konsumen dan Pelaku Usaha dapat diuraikan bahwa bentuk reposisi yang dilakukan berkaitan dengan keseluruhan unsur sistem hukum yang dikemukakan Lawerence M. Friedman, yaitu dari segi struktur hukum, substansi hukum dan budaya hukumnya. Dari segi struktur, kelembagaan BPSK harus direposisi ke Dalam Sistem Peradilan  


Baca juga: Pakar Hukum Dhaniswara K Harjono: Prediksi 2021, Akan Terjadi Booming Sengketa

Dalam kaitannya dengan pemberian perlindungan hukum kepada konsumen, termasuk menjamin keseimbangan kepentingan konsumen dengan pelaku usaha, maka kelembagaan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen yang selama ini didirikan di Daerah Tingkat II dan/atau Daerah Kabupaten/Kota sesuai UUPK dan dari segi pembinaan dan pengawasan berada di Kementerian Perdagangan dan tidak merupakan bagian dari pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia telah mengakibatkan sejumlah kendala dan permasalahan yang mengakibatkan banyak BPSK yang tidak dapat menjalankan tugas dan fungsinya sebagaimana diharapkan, maka dari segi struktur kelembagaan, perlu dilakukan reposisi ke dalam sistem peradilan dengan menempatkannya pada posisi yang sesungguhnya, yaitu sebagai pengadilan khusus di bawah peradilan umum sehingga merupakan pelaksana kekuasaan kehakiman dan oleh sebab itu sebagai bagian dari sistem peradilan di Indonesia.  

Hulman berpendapat pengadilan khusus yang dimaksudkan adalah Pengadilan Sengketa Konsumen. Alasan pemilihan nama ini didasarkan pada pertimbangan impartiality dan independensi lembaga peradilan yang tidak memihak sehingga penamaan lembaganya diambil dari jenis sengketa yang akan diperiksa dan diputuskannya yaitu sengketa konsumen sehingga tidak merupakan pemihakan kepada salah satu pihak yang berperkara. 

Sama halnya dengan Pengadilan Hubungan Industrial yang didirikan dengan UU No. 2 Tahun 2004 yang penamaannya diambil dari jenis sengketa yang diperiksa dan diputus yaitu sengketa Hubungan Industrial, demikian juga dengan Pengadilan Pajak yang didirikan dengan UU No. 14 Tahun 2002 yang sebelumnya dikenal dengan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak yang didirikan dengan UU No. 17 Tahun 1997 yang penamaannya diambil dari jenis sengketa yang diperiksa dan diputus yaitu  sengketa pajak.  

Dari aspek substansi pengaturan (legal substance), reposisi kelembagaan Pengadilan Sengketa Konsumen harus dilakukan melalui pembentukan undang undang khusus bidang Pengadilan Sengketa Konsumen sebagai suatu pengadilan khusus di bawah peradilan umum sebagaimana diamanatkan undang undang kekuasaan kehakiman di Indonesia sehingga pembentukannya adalah ‘dengan’ undang-undang bukan ‘dalam’ undang-undang. 

Oleh karena itu, secara ideal, pengaturan normatif tentang ketentuan penyelesaian sengketa yang ada dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen harus diamandemen atau direvisi dan sebagai dasar dari pembentukan Pengadilan Sengketa Konsumen.  


Baca juga: Dekan FH UKI Hulman Panjaitan: Penegakan Hukum terhadap Pelanggar HKI Masih Lemah dan Belum Jadi Prioritas  

Aspek yang ketiga adalah budaya hukum. Tidak saja unsur substansi hukum dan struktur hukum yang harus menjadi perhatian dan objek atau sasaran dalam reposisi lembaga penyelesaian sengketa konsumen sebagai pengadilan khusus di bawah peradilan umum melalui pembentukan Pengadilan Sengketa Konsumen, tetapi juga adalah budaya hukum (legal culture) sebagai unsur ketiga dari sistem hukum yang dikemukakan Lawrence M. Friedman, termasuk budaya konsumen dan pelaku usaha.   

Dalam rangka melakukan reposisi dan penguatan kelembagaan BPSK untuk memberikan perlindungan hukum kepada konsumen, maka harus dilakukan penguatan sistem penyelesaian sengketa konsumen melalui pembentukan Pengadilan Sengketa Konsumen yaitu lebih khusus dalam aspek penataan administrasi peradilan dalam pengertian luas, baik dalam arti court administration maupun dalam arti administration of justice atau cash flow management. 

Di bidang court administration, penguatan dilakukan mulai dari penataan di bidang pendaftaran perkara hingga distribusi atau penetapan majelis perkara, proses persidangan hingga penjatuhan putusan, termasuk jangka waktu penyelesaian perkara untuk mewujudkan asas peradilan cepat, sederhana dan biaya murah. Selain itu harus dilakukan Penyiapan Hakim Khusus Pengadilan Sengketa Konsumen. 

Untuk memenuhi asas keseimbangan kepentingan konsumen dengan pelaku usaha, maka struktur keanggotaan majelis hakim Pengadilan Sengketa Konsumen harus terdiri dari hakim karir sebagai ketua majelis dan dari unsur pelaku usaha dan unsur konsumen masing-masing sebagai anggota dan merupakan hakim ad hoc.  

Termasuk melakukan mitigasi BPSK baik dalam bentuk mitigasi struktural maupun mitigasi non struktural. Dengan mitigasi struktural, harus diupayakan keterjangkauan konsumen terhadap akses penyelesaian sengketa melalui BPSK, yaitu keberadaannya pada setiap Daerah Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia.  Harus dilakukan pembenahan, termasuk dari segi pelayanan, pendanaan dan sumber daya manusia.   


Baca juga: Bachtiar Sitanggang Luncurkan Buku ‘Negara Hukum di mata Seorang Wartawan-Advokat’

Dalam bentuk mitigasi non struktural, dapat dilakukan melalui penetapan sejumlah aturan atau kebijakan pada tataran yang lebih operasional dibawah Undang Undang, termasuk sosialisasi dari fungsi BPSK sebagai lembaga penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan.  

Dalam rangka menghindari kevakuman atau kekosongan lembaga penyelesaian sengketa konsumen sebagai akibat pengalihan kelembagaan BPSK ke dalam sistem peradilan melalui pembentukan Pengadilan Sengketa Konsumen, maka melalui Undang-Undang pembentukan Pengadilan Sengketa Konsumen harus diatur ketentuan peralihan sebagai masa transisi. 

Selain itu, harus dilakukan sosialisasi sistem penyelesaian sengketa yang baru tersebut yaitu sosialisasi pembentukan Pengadilan Sengketa Konsumen mulai dari perencanaan melalui Rancangan Undang Undang Pengadilan Sengketa Konsumen yang merupakan pengadilan khusus dan berada di bawah peradilan umum. 

Dalam rangka dan merupakan bagian dari proses sosialisasi tentang sistem penyelesaian sengketa konsumen yang baru melalui pembentukan Pengadilan Sengketa Konsumen melalui Undang-Undang, maka proses pembentukan Undang-Undang Pengadilan Sengketa Konsumen harus mengikuti prosedur dan tata cara pembentukan undang undang sebagaimana diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang sudah diperbaharui dengan UU No. 15 Tahun 2019.  

 


Adapun yang merupakan kesimpulan adalah : 

  1. Pengaturan kedudukan dan keberadaan BPSK di Indonesia, secara struktur kelembagaan tidak merupakan badan yang khusus dibentuk sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia layaknya sebuah institusi peradilan (yudikatif). 
  2. Kedudukan dan keberadaan BPSK yang tidak merupakan pelaksana kekuasaan kehakiman dan berada di luar sistem peradilan, dalam tataran implementasi tidak mencerminkan keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sebagai wujud pemberian perlindungan hukum kepada konsumen dan menjamin keseimbangan kepentingan konsumen dan pelaku usaha. 
  3. Berdasarkan kelemahan atau kekurangan yang ada pada BPSK diperlukan pemikiran untuk melakukan reposisi dan penguatan peran dan fungsi BPSK dengan menjadikannya sebagai suatu Pengadilan Khusus di bawah peradilan umum melalui pembentukan Pengadilan Sengketa Konsumen. 

 


Sedangkan saran adalah : 

  1. Pengadilan Sengketa Konsumen diharapkan mampu memfasilitasi dan merespon kepentingan para pihak dalam rangka menyelesaikan sengketa sehingga dapat mewujudkan keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan serta menjamin keseimbangan kepentingan konsumen dan pelaku usaha 
  2. Dalam rangka melakukan reposisi dan penguatan kelembagaan BPSK sebagai Pengadilan Sengketa Konsumen perlu diperhatikan, aksesabilitas, fairness, efektif dan  certainty. Dalam rangka menciptakan Pengadilan Sengketa Konsumen, yang utama harus dilakukan adalah pembentukan UU Khusus Pengadilan Sengketa Konsumen. 
  3. Untuk menghindari potensi dan risiko persengketaan antara konsumen dan pelaku usaha, maka para pihak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya dengan itikad baik dan menaati larangan yang ditetapkan Undang-Undang.

(Vic)

Be the first to comment

Tinggalkan Balasan