
IndonesiaVoice.com — Langkah-langkah itu berdatangan dari berbagai penjuru Jabodetabek, menyusuri lorong-lorong Gedung Mulia Raja dengan ulos yang berkilauan di bahu.
Suara gondang yang bergema seakan memanggil ingatan kolektif: Kita satu seperti air, bersama dari gunung, bersama turun.
Kalimat itu, yang terangkum dalam poda “Sagu Sagu Marlangan”, menjadi mantra yang terus diulang dalam Pesta Bona Taon Parsadaan Pomparan Raja Silahisabungan Indonesia (PPRSI) hari itu.
Di atas panggung, tergantung banner bertema “Supaya Mereka Menjadi Satu”—kutipan dari Yohanes 17:21b yang seakan menjadi jawaban atas pertanyaan tersirat: Bisakah keturunan seorang raja yang tersebar di ribuan kilometer, di tengah arus modernisasi, tetap bersatu?
Baca Juga: Rule by Law vs Rule of Justice, Advokat dan Gugatan atas RUU KUHAP
Dialog di Antara Perbedaan
Ketua Panitia, Peber EW Silalahi, SH, membuka acara dengan sambutan hangat. “Kita berkumpul bukan hanya untuk bernostalgia, tapi untuk merajut kembali ikrar leluhur,” ujarnya.

Senada, Drs. Martua Situngkir, Ketua DPD PPRSI Se-Jabodetabek, menekankan pentingnya generasi muda tak melupakan akar.
“Air yang terpisah di hilir, harus ingat bahwa ia berasal dari sumber yang sama di hulu,” katanya, kembali mengutip poda itu.

Mayjen TNI (Purn) Haposan Silalahi, saksi sejarah berdirinya Tugu Makam Raja Silahisabungan (Tumaras) di Desa Silalahi III, Silalahi Nabolak, Dairi, Sumut, berdiri dengan wajah berbinar.
“Lihatlah simbol tugu ini,” kata Haposan, menunjuk gambar di belakang panggung. “Ia adalah prasasti yang mengingatkan: jangan biarkan persatuan ini retak.” Suaranya parau, tapi tekadnya mengeras seperti batu tugu itu sendiri.

Pecah tapi Tak Terpisah
Perbincangan tentang persatuan tak selalu berjalan mulus. Pdt. DR. Ir. Ramles Sihaloho, mewakili undangan Namarhaha Maranggi, justru membawa perspektif berbeda.
“Kita tak perlu risau dengan perpecahan,” kata Ramles. “Gereja pun terpecah-pecah, tapi justru berkembang dalam pelayanan.”

Ucapannya seakan menjawab kegelisahan yang kerap muncul dalam keluarga besar—apakah perbedaan harus dilihat sebagai ancaman?
St Edison Manurung SH MM, Ketua Umum DPP Komite Masyarakat Danau Toba, menambahkan: “Perbedaan adalah dinamika. Yang penting, kita tetap satu tujuan.”

Sementara itu, Mayjen TNI (Purn) Felix Hutabarat, mewakili boru (keluarga pihak perempuan), menyatakan kesetiaan: “Kami di belakang siap mendukung hula-hula (pihak marga) kami.”
Kalimat sederhana itu mengingatkan pada tatanan adat Batak yang tetap hidup: berbeda peran, tapi saling melengkapi.

Sementara itu, Robert Silalahi dari Dewan Penasihat menyampaikan syukur atas terselenggaranya acara ini.
Ia mengingatkan kembali program beasiswa PPRSI yang telah berlangsung agar tetap berlanjut untuk membantu anak-anak muda.
“Kita harus terus memajukan SDM dan menjaga keberlanjutan PPRSI,” ungkapnya.

Doa, Gondang, dan Tortor yang Menyatukan
Sebelum pesta dimulai, Pdt. JAU Doloksaribu mengingatkan semua tentang doa Yesus di malam Palma.
“Dia mendoakan supaya mereka menjadi satu,” katanya. “Persatuan itu sulit, tapi harus diupayakan.”
Lalu, gondang pun bergema. Tortor Suhut (Manjalo Tua ni Gondang) membuka rangkaian tarian.
Kaki-kaki yang menapak lantai mengikuti irama, tangan yang meliuk, mata yang saling menyapa—semua menjadi metafora hidup tentang bagaimana perbedaan bisa bergerak dalam harmoni.
Ada Tortor Namarhaha maranggi hingga Tortor Anak-anak yang polos namun penuh makna.
Di tengah kemeriahan, dua sepeda motor listrik diumumkan sebagai door prize. Tawa dan sorak menggema, tapi hadiah terbesar hari ini bukanlah kendaraan itu.
Baca juga: Laut Mengejar, Daratan Menyusut, 2000 Pulau Akan Hilang: Nasib Indonesia di Laporan PBB
Melainkan ikrar yang terucap dalam diam: bahwa darah Raja Silahisabungan akan tetap mengalir dalam satu nama, satu tujuan.
Air yang Kembali ke Sumber
Ketika acara usai, para pinompar berpencar lagi—kembali ke rutinitas, ke perbedaan pendapat, ke kehidupan yang tak selalu seia-sekata.
Tapi hari itu, di Gedung Mulia Raja, mereka telah membuktikan satu hal: seperti air dari gunung yang turun bersama, mereka mungkin telah menyebar ke berbagai tempat. Tapi suatu saat nanti, mereka akan kembali bertemu di hilir yang sama.
Menjadi Satu, kata-kata yang sederhana, tapi berat dijalankan. Dan Pesta Bona Taon 2025 adalah bukti bahwa mereka masih berusaha.
Be the first to comment