
IndonesiaVoice.com — Di tengah kabut skeptisisme terhadap penegakan hukum di Indonesia, suara-suara lantang menggema dalam ruang diskusi yang digelar Budidjaja Institute bersama LSM Law Office di Jakarta, Selasa (15/4/2025).
Tema yang diusung—“Mengoptimalkan Fungsi Advokat sebagai Guardian of Human Rights dalam RUU KUHAP”—bukan sekadar retorika. Ini adalah seruan untuk mengembalikan marwah profesi hukum yang kerap terperosok dalam kubangan korupsi dan ketidakadilan.
Tiga tokoh hukum hadir sebagai narasumber: Prof. Dr. Todung Mulya Lubis, sang legenda pembela HAM; Dr. Albert Aries, pakar hukum pidana yang getol menyoroti penyimpangan kekuasaan; dan Fredrik J. Pinakunary sebagai moderator yang cekatan merajut benang merah diskusi.
Di hadapan peserta, mereka mengupas tuntas peran advokat dalam RUU KUHAP—sebuah aturan yang disebut Dr. Albert sebagai “konstitusi mini” sistem peradilan pidana.
Baca juga: Ketika AI Jadi Pengacara, Hakim New York Marah Diduga ‘Disesatkan’ Avatar Digital
Keadilan vs Hukum
Prof. Todung membuka diskusi dengan pernyataan provokatif: “Jika ada hirarki antara hukum dan keadilan, saya akan selalu memilih keadilan.” Kalimat itu bukan sekadar semboyan, melainkan tamparan bagi sistem hukum yang sering kali menjadi alat kekuasaan.
Ia mengingatkan bahaya “rule by law”—hukum yang dipelintir untuk melayani kepentingan penguasa—berbanding “rule of law” yang menjamin keadilan substantif.
“Ekosistem penegakan hukum kita masih koruptif,” ujarnya. “Ketika substansi hukum dan pelaksananya sama-sama bermasalah, kita sedang menghadapi krisis.”
Pernyataan Prof. Todung seakan mendapat penguatan dari paparan Dr. Albert Aries yang menyoroti praktik suap di peradilan.
Baca juga: KKJ Desak Kapolri Cabut Aturan SKK Jurnalis Asing, Ini Alasannya
Dengan nada prihatin, ia mengutip kasus oknum hakim yang diduga menerima suap—padahal mereka adalah pihak yang kerap memperjuangkan kenaikan gaji hakim.
“Jika celah suap masih ada, menyuap akan dianggap lebih murah daripada membayar denda triliunan,” sindirnya.
Diskusi kemudian bergulir ke ranah integritas profesi advokat. Fredrik Pinakunary, dengan gaya bicaranya yang tegas, menyampaikan pesan sederhana namun mendalam: “Integrity does have a market. Be a very good lawyer, so you’ll have very good clients.”
Pernyataan itu diamini oleh Kenny Wisha Sonda, yang menegaskan bahwa harga diri harus lebih berharga daripada kekayaan. “Lebih baik hidup biasa dengan harga diri, daripada kaya raya karena menjual diri.”
Baca juga: Vonis Ringan Guru Besar Hukum Unhas Marthen Napang, Apakah Pemalsuan Putusan MA Dianggap Sepele?
Namun, tantangan nyata di lapangan jauh lebih kompleks. Tony, seorang advokat yang hadir sebagai penyaji, membeberkan kasus ketua pengadilan negeri (KPN) yang mengganti hakim secara sepihak tanpa penjelasan.
Ia mencurigai adanya mafia peradilan yang bekerja secara terstruktur yaitu ada penyandang dana, perencana, eksekutor, dan pengawas.
“Ini alarm keras untuk memperkuat pengawasan,” tegasnya.
Imunitas vs Impunitas
Dr. Albert Aries lantas menegaskan perbedaan antara imunitas (perlindungan hukum bagi advokat yang bekerja sesuai kode etik) dan impunitas (kekebalan dari hukuman meski bersalah).
Baca juga: Pendapat Hukum Advokat Berujung Pidana, Bela Klien Dituduh Pencemaran Nama Baik
“Jangan sampai advokat yang berjuang dengan iktikad baik malah dipidana,” tegasnya.
Pesan ini penting di tengah maraknya kriminalisasi terhadap pengacara yang membela kasus-kasus sensitif.
Advokat, dalam konteks ini, bukan sekadar pembela klien—melainkan “voice of the voiceless”, penyambung lidah mereka yang tak mampu melawan ketidakadilan.
Diskusi ini bukan sekadar obrolan akademis. Ia adalah cermin buram wajah peradilan Indonesia—sekaligus panggilan untuk bertindak.
Baca juga: Ketika Koruptor Dimuliakan, Orang Jujur Tersingkir, Gerakan Batak Anti Korupsi Jadi Jawaban!
Jika KUHAP baru ingin menjadi instrumen penegak keadilan, maka advokat harus diberi ruang lebih luas sebagai guardian of human rights, bukan sekadar pelengkap prosedur.
Di ujung acara, satu pertanyaan menggantung yakni Bisikkan hukum atau teriakan keadilan—mana yang akan kita pilih?
Jawabannya, mungkin, ada di tangan para advokat yang masih berani berdiri di garis depan, melawan arus ketidakadilan.
Be the first to comment