Refleksi Hari Kartini 2025, Batak Center Usulkan Putri Raja Sisingamangaraja XII Jadi Pahlawan Nasional

batak center
Foto bersama usai diskusi terpumpun bertajuk "Perempuan Batak dalam Pusaran Peradaban di Era Disrupsi" yang digelar dalam rangka memperingati Hari Kartini, di kantor Batak Center, Jakarta, Senin (21/4/2025).

IndonesiaVoice.com – Di antara riuh rendah perjuangan melawan kolonialisme, ada nama yang kerap tenggelam dalam narasi besar sejarah yakni Boru Lopian, Putri Raja Sisingamangaraja XII. Gadis belia yang gugur di medan laga itu kini diusung untuk menyandang gelar Pahlawan Nasional. 

Bertajuk “Perempuan Batak dalam Pusaran Peradaban di Era Disrupsi”, diskusi terpumpun di Kantor Batak Center, Senin (21/4/2025), bukan sekadar rutinitas seremonial. 

Ia menjelma menjadi panggilan sejarah. Seperti gema langkah Kartini yang tak pernah betul-betul hilang, perempuan-perempuan Batak hari itu menapaki jejaknya dengan membawa nama yang nyaris terlupakan: Putri Lopian Boru Sinambela, gadis muda yang gugur di sisi ayahandanya, Raja Sisingamangaraja XII, dalam perang melawan kolonial Belanda.

Baca juga: Gema ‘Supaya Mereka Menjadi Satu’ Dalam Pesta Bona Taon PPRSI Sejabodetabek 2025 




 

“RA Kartini telah berlalu secara fisik, tapi spiritnya abadi,” ujar Tiomora boru Sitanggang, ST, MT, Ketua Panitia, dengan nada penuh keyakinan. 

Ketua Departemen Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Batak Center ini tak bicara soal perempuan sebagai simbol, tapi sebagai penggerak zaman. Putri Lopian adalah Kartini dari Tapanuli.

Sang Putri di Medan Perang

Di mata dr. Adele Hutapea, Putri Lopian bukan hanya darah bangsawan. Ia adalah simbol keberanian yang lahir dari cinta akan tanah air, cinta kepada ayah, dan semangat untuk tidak tunduk meski dunia di sekelilingnya ambruk. 

Ia tak genap berusia 19 tahun ketika memilih jalan yang bagi banyak orang terlalu berat yaitu menanggalkan kenyamanan istana dan menjelma menjadi Si Ulu Porang, pemimpin pasukan perempuan Batak.

Baca juga: Raja Sisingamangaraja XII, Cahaya Perlawanan yang Tak Pernah Padam




 

“Dia gagah berani. Ia tidak takut mati,” kata Adele (Ketua Departemen Tokoh Batak Inspiratif Batak Center) suaranya bergetar pelan. “Dan yang lebih penting, ia tahu untuk apa ia hidup.”

Lopian bukan perempuan biasa. Ia mandiri, cerdas, kuat secara fisik dan spiritual. Konon, ia bisa bertahan di rimba belantara Tapanuli, menari tor-tor, menyanyi, dan sekaligus memahami ilmu kebatinan. Ia hidup bukan dalam bayang-bayang ayahnya, tetapi justru menjadi cahaya di sisi beliau.

Perempuan Batak di Era Disrupsi

Dari medan pertempuran sejarah, diskusi berpindah ke arena kontemporer. Tokoh Diaspora Batak Global, Letnan Kolonel Rosita Aruan Baptiste, perempuan Batak pertama yang menjadi perwira tinggi di Angkatan Darat AS, memberi kesaksian tentang tantangan perempuan Batak di era disrupsi digital dan ekonomi.

“Perempuan Batak harus berani mengubah hal-hal tradisional menjadi modern,” ujarnya. 

Tapi ia menekankan, transformasi tak boleh memutus akar. “Kita harus punya filter. Apakah ini sesuai dengan nilai dan budaya kita?”

Baca juga: Menggali Nilai Keteladanan Sisingamangaraja XII, Cahaya yang Menyinari Generasi Milenial




 

Sementara itu, Anggota Dewan Pembina Batak Center, Dr. Ir. Pasti Tampubolon, M.Sc membentangkan lima peranan strategis perempuan Batak dalam menghadapi krisis mulai dari pendidikan keluarga, pengelolaan sumber daya, pemanfaatan teknologi digital, hingga penguatan UMKM dan ekologi pekarangan. 

Di tangannya, peran perempuan Batak bukan sekadar teori, tetapi strategi nyata menjawab tantangan zaman.

Menuju Pahlawan Nasional

Sore kian merayap. Namun diskusi tak kunjung kehilangan semangat. Ketua Umum Batak Center, Ir. SM Tampubolon, berbicara pelan namun menggetarkan: “Boru Lopian adalah bagian yang tidak terpisahkan dari Sisingamangaraja. Jika ayahnya diakui sebagai pahlawan nasional, maka sudah sepantasnya Lopian juga diperjuangkan.”

Langkah itu pun dimulai. Sekjen Batak Center, Drs. Jerry R. Sirait, mengungkap bahwa pihaknya mendorong agar Pemprov Sumatera Utara mengadakan seminar dan menghimpun dukungan lintas tokoh dan institusi. 

“Kami tidak bergerak sendiri. Tapi akan mendampingi setiap proses sesuai perundang-undangan,” ujarnya.

Baca juga: Raja Sisingamangaraja XII, Matahari yang Tak Pernah Tenggelam di Tanah Batak




 

Sejarah, memang, tak selalu bersuara nyaring. Tapi pada sore itu, diskusi yang dipandu oleh Dr. Linda Sipahutar, M.Pd, CSBA (Ketua Departemen Ideologi Pancasila dan Kebijakan Publik Batak Center) di ruang yang mungkin tak seluas auditorium gedung negara, suara Lopian menggema kembali. 

Ia yang dahulu diam dalam ingatan kini dipanggil kembali ke ruang publik yakni bukan sebagai kenangan, tapi sebagai calon Pahlawan Nasional.

Dan barangkali, dari langit Tapanuli yang jauh, Kartini tersenyum. Karena ia tahu, ternyata ada seorang gadis Batak pemberani, yang berjuang memilih mati demi bangsa, bukan hanya hidup untuk istana.

Be the first to comment

Tinggalkan Balasan