
IndonesiaVoice.com | Berbagai kelompok masyarakat sipil yang tergabung dalam GERAK Perempuan menyerukan untuk menolak lupa tragedi perkosaan massal berbasis rasial pada Mei 1998.
Tragedi tersebut adalah salah satu tragedi kemanusiaan dan pelanggaran HAM yang terjadi sepanjang masa kerusuhan jelang kejatuhan rezim orde baru, Suharto.
Tim Relawan untuk Kemanusiaan dalam laporan temuan tentang kerusuhan jelang kejatuhan Soeharto mencatat terdapat 152 perempuan mayoritas etnis tionghoa menjadi korban perkosaan dan pelecehan seksual di Jakarta dan sekitarnya.
Sebanyak 20 orang dari jumlah tersebut, meninggal. Para korban mengalami perkosaan, perkosaan dan penganiayaan, perkosaan dan pembakaran, serta pelecehan seksual.
“Sekelompok orang tak dikenal memasuki ruko korban dan menjarah barang-barang, Sebagian lainnya menelanjangi R dan memaksanya menyaksikan kedua adiknya diperkosa. Setelah diperkosa, kedua gadis itu dilempar ke lantai bawah yang sudah mulai terbakar. Kedua gadis itu mati, sedang R berhasil selamat karena ada yang menolong” (cerita keluarga korban R, L, M, peristiwa 14 Mei 1998).
Pada tahun ini, 22 tahun sudah peristiwa itu berlalu. Soeharto, presiden kedua Indonesia yang sudah berkuasa lebih dari tiga dekade terpaksa mengundurkan diri.
Pengunduran dirinya kala itu disambut sorak-sorai rakyat. Para elite politik beramai-ramai mengaku dirinya sebagai reformis, tetapi para aktivis dibunuh dan dihilangkan bahkan ada yang hingga kini tak kembali.
Trauma mendalam dirasakan seratus lebih perempuan Tionghoa korban perkosaan . Sementara, puluhan lainnya meninggal dunia serta ribuan rakyat yang rumahnya terbakar, terjarah di pusat pertokoan akibat kerusuhan.
Baca Juga: Kejanggalan Pengadaan Barang Jasa di tengah Pandemi COVID-19
Tragedi penembakan mahasiswa di Semanggi, sebagian hilang sebagian lagi dibunuh. Pelanggaran HAM terjadi di sana-sini yang hingga kini tak juga kunjung dituntaskan. Generasi muda tak lagi dibuat ingat atas peristiwa tersebut.
Para elite politik yang mendaku diri sebagai reformis tersebut tak luput sering menyuarakan agenda reformasi. Mereka menjanjikan tuntasnya pelanggaran HAM Mei 1998, kasus 27 Juli dan beragam peristiwa lain yang melingkupi kejatuhan Soeharto.
Setelah dua dekade lebih, alih-alih penuntasan pelanggaran HAM Mei 1998, rezim yang silih berganti perlahan tetapi pasti mengembalikan kekuatan politik orde baru dengan konsolidasi oligarki yang beramai-ramai berbagi kue kekuasaan.
Baca Juga: IAAC: ANDI TAUFAN, Demi Integritas dan Spirit Milenial, MUNDURLAH!
Narasi agenda reformasi mulai dari penghapusan dwi fungsi ABRI, penyelidikan hilangnya dan terbunuhnya para aktivis, perkosaan Mei 1998, menghilang berganti dengan narasi narasi menjadi kerja, kerja, kerja untuk pembangunan infrastuktur yang mengusur lahan pertanian, hutan lindung, hutan masyarakat adat, pesesir pantai nelayan.
Kesemuanya dilakukan atas nama investasi dan pertumbuhan ekonomi. Tak pelak hutan-hutan gambut, hutan lindung yang dijaga masyarakat adat disulap menjadi perkebunan sawit, pertambangan dan projek pembukaan lahan sawah.
Sementara lahan pertanian disulap menjadi bangunan Bandar udara, jalan tol, pabrik semen dan seterusnya. Pesisir pantai habis direklamasi dan digusur atas nama ekonomi pariwisata.
Baca Juga: Rumah Aspirasi Milenial: Tidak Ada Yang Salah Dari Pembebasan Narapidana Karena Persoalan Covid-19
Begitulah narasi kekuatan oligarki yang bersembunyi di balik hingar-bingar reformasi, menelikung agenda reformasi dan mengembalikan politik Orde Baru yang pro investor, militeristik dan anti-perempuan.
Hadirnya sisa kekuatan politik Orde Baru dalam komposisi kekuasaan, mereka yang disinyalir terlibat pelanggaran HAM Mei’ 98 leluasa berpolitik dan membangun partai politik, menjadi bagian pemerintahan, memperoleh hak untuk mencalonkan diri sebagai presiden tanpa dulu diusut tuntas kasusnya, semuanya adalah bentuk penyangkalan negara pada pelanggaran HAM dan agenda reformasi yang menyertainya.
Pemerintah yang kini berkuasa, beserta elite–elite politik yang ada, jelas bukanlah hasil dari agenda reformasi yang digalang oleh kekuatan rakyat kala itu. Mereka adalah penerus Orde Baru, yang tanpa tahu malu menampilkan diri melalui beragam kebijakan yang pro investor, anti perempuan dan melakukan pembiaran tragedi pelanggaran HAM masa lalu.
Baca Juga: Sah, Hakim Tolak Seluruh Permohonan Praperadilan Marthen Napang Terkait SP3 Pencemaran Nama Baik
Dengan demikian, ruang demokrasi hasil perjuangan reformasi 1998 kembali terancam. Kriminalisasi aktivis, pembrangusan organisasi dan serikat pekerja, ancaman kebebasan berpendapat dan berkumpul kembali dipertontonkan.
Atas semua keserakahan itu, pelanggaran HAM 98, tragedi perkosaan massal berbasis rasial dan semua peristiwa penghilangan aktivis, pembunuhan mahasiswa hilang ditelan agenda investasi.
Berdasarkan situasi GERAK Perempuan bersikap:
1. Menolak lupa dan akan terus merawat ingatan atas tragedi perkosaan massal berbasis rasial Mei 98, tragedi Semanggi 1&2, dan rentetan kerusuhan yang diciptakan sebagai teror pembungkaman gerakan masyarakat sipil.
2. Mengutuk pernyataan Jaksa Agung yang menyebut peristiwa Semanggi I dan II bukan pelanggaran HAM berat dan mendukung proses gugatan keluarga korban di PTUN.
3. Tuntaskan agenda reformasi yang sesungguh-sungguhnya dengan menghentikan kiblat ekonomi politik pro investasi yang membunuh rakyat
Be the first to comment