
IndonesiaVoice.com|| Pemerintah terus berupaya memantau perkembangan varian virus COVID-19, agar dapat melakukan langkah-langkah pencegahan penyebaran. Termasuk di dalamnya Varian Delta yang menjadi perhatian banyak negara saat ini dikarenakan tingkat penularannya yang tinggi.
Mendampingi pemerintah yang terus menguatkan pelaksanaan 3T, masyarakat diharapkan disiplin memelihara 3M, juga mengurangi mobilitas dan kegiatan-kegiatan lain yang berisiko memperluas penyebaran virus COVID-19.
Pada akhirnya, dihadapkan pada fakta bahwa adaptasi untuk hidup berdampingan dengan COVID-19 harus dilakukan. Apalagi Varian Delta dikenal memiliki masa inkubasi lebih pendek dan karakter yang cepat menempel pada sel tubuh manusia.
Baca juga: Hidup Normal Berdampingan Dengan COVID-19
Demikian dikatakan Kasubbid Tracing Satgas Covid-19 dr Koesmedi Priharto SpOT MKes Dialog Produktif KPCPEN (Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional) bertajuk “Mengurangi Risiko Kematian Akibat Varian Baru” secara daring Rabu (4/8/2021).
“Varian Delta memang mudah menular dan mendominasi lebih dari 76% yang ditemukan di Indonesia. Namun demikian, seperti virus pada umumnya, virus COVID-19 akan dapat dikalahkan oleh daya tahan tubuh manusia yang kuat,” kata dia.
Virus COVID-19, lanjut Koesmedi, memiliki karakter penularan head-to-head yakni manusia dengan manusia, tanpa melibatkan perantara makhluk hidup lain. Karena itu, dengan perbaikan perilaku manusia, angka penularannya dapat ditekan.
“Dengan perilaku baik dan sehat dari masyarakat didukung vaksinasi dan pengaktifan 3T dari pemerintah, semoga penularan virus ini dapat dikendalikan,” tegas dia.
Sementara Ketua Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Dr Ede Surya Darmawan, SKM, MDM menyebut, bahwa penelitian menunjukkan varian Delta dapat menular hanya dengan satu menit interaksi tanpa masker, sehingga harus diwaspadai.
“Percepatan vaksinasi sebagai upaya mencegah penularan dan mengurangi risiko sakit berat juga kematian, terus dilaksanakan. Ini adalah tantangan bagi Indonesia sebagai negara dengan populasi besar dan karakteristik geografis luas serta beragam,” imbuhnya.
Baca juga: KSP: Penanganan Pandemi Covid-19 Merujuk pada Darurat Kesehatan Covid-19
Sedangkan Plt Direktur RSUD Aji Muhammad Parikesit Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur Dr Martina Yulianti SpPD, FINASIM – M.Kes (MARS) menjelaskan, cakupan pemberian vaksin di daerah masih rendah, terutama karena kendala pasokan vaksin.
Menurut Martina, derasnya arus informasi yang menyesatkan di kalangan masyarakat, juga masih menjadi tantangan tersendiri bagi para petugas di lapangan.
Menghadapi banyaknya pasien dalam waktu bersamaan, para tenaga kesehatan bekerja sama dengan pemerintah daerah berusaha semaksimal mungkin memberikan penangan terbaik bagi masyarakat.
Baca juga: Ini Langkah Gerak Cepat Tanggap Darurat Kesehatan Diusulkan PIKI Terkait Lonjakan Kasus Covid-19
“Rumah sakit atau pengobatan adalah benteng terakhir, menjadi hilirnya. Yang tak kalah penting adalah pencegahan di bagian hulu. Sesuai amanat pemerintah, kami juga telah melaksanakan kegiatan untuk memutus mata rantai penularan,” paparnya.
Sebagai upaya pencegahan dan pengendalian penyebaran, menurut Martina, pemerintah menguatkan testing dan tracing melalui Satgas COVID-19, TNI Polri, juga aparat pemerintah di masing-masing daerah yang berinteraksi langsung dengan masyarakat.
“Kesadaran dan sikap proaktif masyarakat di daerah lebih diharapkan untuk membantu pelaksanaan testing serta tracing, karena rasio di daerah belum setinggi di Jakarta yang sudah memenuhi target
tes harian,” ujarnya.
Baca juga: Warga Keberatan Cat Pagar Merah Putih Ditengah Ekonomi Susah Karena Pandemi Covid
Masyarakat didorong untuk sukarela melakukan testing dan bila hasilnya positif segera melaporkan kontak eratnya agar dapat ditelusuri. Selama menunggu keluarnya hasil tes, pasien maupun kontak erat sebaiknya langsung melakukan isolasi dan karantina sebagai tindak pencegahan penularan.
Merujuk pada aturan WHO, isolasi dan karantina adalah selama 14 hari. Penguatan kualitas isolasi mandiri di masyarakat juga masih diperlukan.
Ede Surya menegaskan, “Hanya tenaga kesehatan yang dapat memutuskan apakah pasien dapat melakukan isolasi mandiri atau perlu dirujuk ke isoter dan rumah sakit.”
Baca juga: Penjelasan Tim Pakar Satgas Tentang Mutasi Virus Covid-19
Isolasi mandiri juga, tambah dia, sebaiknya dilakukan dengan berbagai persyaratan, seperti harus dipantau oleh petugas, siap dengan peralatan yang diperlukan (oksimeter, tensimeter, dll), dan ketersediaan obat.
Dengan demikian, pasien dapat terisolasi dengan aman. “Pemerintah telah menyiapkan dukungan logistik dan obat bagi pasien yang melakukan isolasi mandiri, yang disalurkan oleh aparat setempat,” ujar Ede.
“Upaya pelaksanaan PPKM berhasil menurunkan positivity rate varian Delta di Indonesia, namun angkanya masih berkisar pada 20%. Targetnya, sesuai standar WHO adalah 5%. Karena itu, masih memerlukan perjuangan semua pihak untuk bekerja sama mengurangi laju penyebaran virus COVID-19 sekaligus menurunkan angka kematian,” tuturnya.
Be the first to comment