IndonesiaVoice.com | Elliana Wibowo, Ahli Waris dari (Alm) Surjo Wibowo dan Almarhumah Janti Wirjanto Wibowo/Pendiri Utama Blue Bird Group/Pemodal Utama Blue Bird/Pemegang Saham 15,35% Blue Bird Group, memberikan klarifikasi dan penjelasan terkait pendirian Blue Bird Group.
“Saya perlu hadir menjelaskan sendiri sejarah berdirinya Taxi Blue Bird dan peristiwa-peristiwa kekerasan fisik terhadap diri saya dan ibu saya,” jelas Elliana Wibowo dalam konferensi pers terkait kasus Blue Bird Group yang diadakan di Madame Cafe, Menteng, Jakarta, Kamis (18/8/2022).
Dalam konferensi pers tersebut, Elliana Wibowo didampingi Koordinator Tim Kuasa Hukum dan Advokasi Pendiri Blue Bird Group, Dr S Roy Rening, SH, MH dan pengacara lainnya.
Lebih lanjut Elliana mengamati pemberitaan yang beredar sudah menjurus pada upaya pemutar balikkan fakta/pengaburan fakta pasca dirinya menggugat praperadilan dan gugatan perdata perbuatan melawan hukum di PN Jakarta Selatan melalui Tim Kuasa Hukum yang sudah ditunjuknya.
“Pemberitaan yang yang beredar di publik saat ini adalah pemutar balikkan fakta hukum/pengaburan fakta yang sesungguhnya. Diantaranya, adanya klaim dari Management Blue Bird TBK (saudara Sigit Suharto Djokosoetono dan saudara Yusuf Salman) bahwa Blue Bird Group adalah milik satu keluarga saja (Ibu Mutiara Djokosoetono) adalah sebuah penyesatan informasi dan pembohongan publik,” tegasnya.
Apalagi, lanjut Elliana, Blue Bird saat ini sudah merupakan perusahaan terbuka. “Transparansi dan akuntabilitas menjadi syarat mutlak sebuah perusahaan terbuka untuk menghindari pemutarbalikkan fakta yang dapat merugikan kepentingan publik dan kepentingan pemegang saham,” ujarnya.
Untuk itu, pada kesempatan yang baik ini, Elliana ingin melakukan klarifikasi dan memberikan penjelasan seputar pendirian perusahaan Blue Bird Group, kasus kekerasan fisik-psikis, dan pendirian perusahaan- perusahaan dalam perusahaan (kanibalisasi) yang telah mengakibatkan kerugian besar bagi saya dan keluarga.
Surjo Wibowo Pendiri Utama Perusahaan Blue Bird Group
“Perlu saya jelaskan, Ayah saya, (Alm) Surjo Wibowo, pria kelahiran Ponorogo (Jawa Timur) 1 Januari 1921 adalah putra dari pengusaha besar nan terkenal dari Ponorogo dan Surabaya (Jawa Timur), namun demikian dalam kesehariannya beliau sangatlah bersahaja dan bersifat “menerima”,” urai Elliana.
Sejak dahulu, menurut dia, orang tuanya sudah memiliki berbagai macam usaha di Jawa Timur, seperti pom bensin, perusahaan batik, pabrik rokok, perusahaan importir makan dan minuman dari Eropa, toko emas, berlian, perhiasan, dan lain-lain.
Pada akhir tahun 1940-an, keluarga mereka pindah ke Jakarta dan meneruskan usaha-usahanya pabrik rokok, pabrik batik, pabrik kembang api, transportasi, dan importir makanan, serta pedagang perhiasan.
(Alm) Surjo Wibowo bersama istrinya (Janti Wirjanto), yang juga putri pengusaha besar dari Pekalongan, sejak tahun 1950-an telah berkecimpung juga dalam bidang usaha transportasi, yaitu perbengkelan, Suburban, taxi limousine (Mercedes Benz, Opel, Holden, FIAT, dan lain-lain) dan mendapatkan penunjukkan langsung dari Presiden RI (Ir Soekarno) untuk melayani transportasi Asian Games tahun 1962 serta memiliki dealership mobil Eropa ( FIAT juga importir Chassis Truck, dan lain-lain). Pada tahun 1967 (Alm) Surjo Wibowo juga telah memiliki suatu bank swasta (Bank Perimbangan) di Jakarta Pusat.
Pertemuan Dua Keluarga (SW dan MD)
Pada kesempatan ini, Elliana juga perlu jelaskan awal terjadinya perkenalan dua keluarga (Kel Alm Surjo Wibowo dengan Kel Almh Mutiara Djokosoetono): menurut informasi dari kedua orang tua Elliana, pada suatu hari tahun 1968 (Almh) Mutiara Djokosoetono serta seorang menantu perempuannya (Dolly Regar/ lbu dari Sigit Suharto) mendatangi kediaman (Alm) Surjo Wibowo di Jalan Raya Taman Sari, Jakarta Pusat dan memohon untuk menitipkan dua buah kendaraan mobil bekas kendaraan dinas warisan mendiang suaminya) pada perusahan (eks Alm Surjo Wibowo, karena Kel Almh Mutiara Djokosoetono kala itu telah mendengar dan mengetahui bahwa (Alm) Surjo Wibowo adalah salah seorang pengusaha transportasi besar di Jakarta yang telah memiliki Taxi Bedrifts/izin taxi resmi beserta pool dan segala fasilitas yang menunjangnya.
Sebenarnya kala itu bisa juga Kel (Alm) Surjo Wibowo menolak permohonan dari (Almh) Mutiara D dan keluarganya, tetapi karena “belas kasihan” kepada keluarga mereka yang kala itu datang diwaktu hujan ke kediaman kami, maka Kel (Alm) Surjo Wibowo pun langsung memberikan bantuannya kepada mereka.
Selanjutnya, pada tahun 1971 Gubernur DKI Jakarta (Ali Sadikin) mengeluarkan izin resmi taxi ber-argometer dengan persyaratan antara lain adalah harus menyediakan minimum 100 unit kendaraan baru dan harus memiliki lahan pool sendiri beserta semua fasilitas penunjangnya.
“Kebetulan pada saat itu yang dapat memenuhi persyaratan tersebut di atas adalah Kel (Alm) Surjo Wibowo berupa sebuah perusahaan yang kredibilitas dan finansialnya telah mapan (PT Semuco) dan lahan pool dan bengkelnya beserta SDM handal yang dimilikinya di jalan Garuda No 88-90 Kemayoran, Jakarta Pusat, yang sampai saat masih dipergunakan sebagai pool dan kantor Blue Bird taxi adalah milik keluarga almarhum Surjo Wibowo,” beber Elliana.
Sehingga, ujar dia, dengan segala kemapanan dan pengalaman mengelola usaha bidang transportasi beserta fasilitas yang dimiliki oleh PT Semuco pada saat itu akhirnya pada bulan November 1971 mendapat ijin Usaha Pertaksian DKI.
Perubahan PT Sewindu Taxi Menjadi PT Blue Bird Taxi
Lebih lanjut Elliana mengutarakan, menindak lanjuti penunjukan izin Usaha Pertaksian DKI tersebut pada PT Semuco tsb, maka kedua keluarga (SW dan MD) mendirikan sebuah perusahaan baru yang dinamakan PT Sewindu Taxi.
“Pada saat itu PT Sewindu Taxi dengan mudah mendapatkan sejumlah pinjaman dana usaha dari beberapa bank terkemuka di Jakarta karena kredibilitas dan nama baik (Alm) Bapak Surjo Wibowo (Personal Guarantor) dan PT Semuco (sebagai bank guarantor),” katanya.
Kemudian dengan perkembangan perusahaan taxi yang semakin membaik, menurut Elliana, pada tahun 1980-an, para pendiri PT Sewindu Taxi telah sepakat melalui RUPS mengubah namanya menjadi PT Blue Bird Taxi.
“Sehingga, sejarah pendirian Taxi Blue Bird, dimulai dengan PT Semuco, PT Sewindu Taxi yang merupakan cikal bakal dari Blue Bird Group,” imbuhnya.
Dalam perjalanannya PT Sewindu Taxi telah memiliki berbagai anak perusahaan antara lain: PT Big Bird (Chartered Bus), dan lain-lain. Pada sekitar tahun 1990-an PT Blue Bird Taxi tsb juga memiliki beberapa anak perusahaan antara lain: PT Ziegler Indonesia, Hotel Holiday Resort (Lombok), RITRA Warehouse, dan lain-lain.
“Sehingga sebenarnya Pendiri Utama Blue Bird Group (PT Blue Bird Taxi yang dahulu bernama PT Sewindu Taxi/PT Semuco) adalah (Alm) Bapak Surjo Wibowo dan (Almh) Ibu Mutiara Djokosoetono,” pungkas Elliana.
Peristiwa Kekerasan Fisik-Psikis Terhadap Keluarga Surjo Wibowo
Elliana melanjutkan, pada tanggal 10 Mei 2000, ayahnya, Surjo Wibowo meninggal dunia di Jakarta.
Dan pada tanggal 23 Mei 2000 pukul 14:00 WIB diadakan RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham) Blue Bird Group di Gedung Blue Bird, Lt 3 Jl Mampang Prapatan Raya No 60, Jakarta Selatan.
“Tragisnya, sejak awal RUPS hingga akhir rapat tersebut Purnomo Prawiro berteriak-teriak dan secara terus menerus membentak-bentak Ibu Janti Wirjanto dan saya Elliana Wibowo dengan sangat kasarnya yang mana akar permasalahan sebenarnya yaitu Keluarga Purnomo Prawiro ingin menguasai saham saham Blue Bird Group dari keluarga Almarhum Bpk Suro Wibowo,” tuturnya.
“Setelah selesai rapat tersebut (sekitar pukul 15:45) di depan ruang rapat tersebut dengan tiba-tiba Purnomo Prawiro beserta keluarga istrinya/Endang Basuki, anaknya/Noni Purnomo, menantunya/Dr Indra Marki beserta sejumlah besar pasukan keamanannya yang berbadan besar) mengepung, mengeroyok, menganiaya, memaki-maki dan membantai (memukuli, menendang, mendorong) Ibu saya (Janti Wirjanto) dan saya sendiri (Elliana Wibowo) dengan sadis, biadab dan sangat kejam sehingga mengakibatkan luka-luka memar dan lebam pada wajah dan sekujur tubuh pada Ibu saya (Janti Wirjanto) dan saya (Elliana Wibowo). Sungguh merupakan suatu perbuatan yang tidak berperikemanusiaan,” beber Elliana.
Dilanjutkannya, pada tanggal 25 Mei 2000, para korban melaporkan kejadian Pengeroyokan tersebut ke Polres Jakarta Selatan.
“Walaupun pelaporan tersebut sudah disertai hasil visum dari rumah sakit, alat bukti dan beberapa orang saksi yang cukup. Apalagi, penyidik Polres Jakarta Selatan telah menetapkan Purnomo Prawiro, Endang Basuki, Noni Purnomo, dan Dr Indra Marki menjadi tersangka dalam kasus tersebut dan Laporan Polisi ini harus dilanjutkan kepada pihak jaksa berdasarkan putusan Praperadilan PN Jakarta Selatan,” urai Elliana.
“Kasus tersebut ditarik ke Polda Metro Jaya, dan akhirnya ironisnya pada bulan Maret 2002 kasus tersebut malah di SP3 oleh pihak Polda Metro Jaya. Pada tanggal 10 Juni 2000 Ibu Mutiara Djokosoetono meninggal dunia di Jakarta,” tambahnya.
Pendirian Perusahaan Dalam Perusahaan (Kanibalisasi)
Elliana melanjutkan, pasca peristiwa pengeroyokan dan penganiayaan (Korban Ibu Janti dan Elliana Wibowo) tidak berani lagi memasuki Gedung Blue Bird tersebut dan pool-pool lainnya.
“Tahun 2001 Kel Purnomo Prawiro dan Chandra Suharto mulai mendirikan perusahaan taxi dan bus pariwisata yang serupa dengan Blue Bird Taxi dan Big Bird, yang dinamakan PT Blue Bird dan PT Big Bird Pusaka (Perusahaan dalam Perusahaan) dimana manajemen perusahaan-perusahaan pribadi tersebut dicampuradukkan dengan manajemen PT Blue Bird Taxi dan PT Big Bird,” kata dia.
Dalam perjalanannya, jelas Elliana, Purnomo Prawiro dan Chandra Suharto tidak mengembangkan/mengurus dengan baik PT Blue Bird Taxi dan PT Big Bird melainkan sangat gencar mengurus dan mengembangkan PT Blue Bird dan PT Big Bird Pusaka nya tersebut.
“Sehingga saat ini jumlah aset dan kekayaan perusahaan-perusahaan pribadi mereka (PT Blue Bird dan PT Big Bird Pusaka) jauh melampaui jumlah aset dan kekayaan PT Blue Bird Taxi dan PT Big Bird,” tuturnya.
Lagi menurut Elliana, pada tanggal 7 Juni 2013 dan tanggal 10 Juni 2013, Keluarga Bpk Purnomo Prawiro dan Kel Chandra Suharto menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS Tahunan dan RUPS Luar Biasa) yang memutuskan untuk diberlakukannya sistem:” Manajemen Operasional Bersama” antara perusahaan-perusahaan pribadinya (PT Blue Bird, PT Pusaka Djokosoetono, dan lain-lain dengan PT Blue Bird Taxi) yang sangat menguntungkan bagi perusahaan-perusahaan pribadi mereka, tetapi disisi lain PT Blue Bird Taxi sendiri adalah sangat dirugikan dan membuatnya menjadi sangat terpuruk kondisinya, tragis !!!
Pada tahun 2014 Kel Purnomo Prawiro dan Kel (Alm) Chandra Suharto meng-IPO/go public perusahaan-perusahaan pribadi mereka (antara lain PT Blue Bird, PT Big Bird Pusaka, dan lain-lain).
Pada tanggal 11 Mei 2015 Kel Bpk Purnomo Prawiro dan Kel (Alm) Bpk Chandra Menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham PT Blue Bird Taxi (RUPS Tahunan dan RUPS Luar Biasa), yang agenda rapatnya antara lain: penambahan modal sebesar Rp 50 milyar dari para pemegang sahamnya dengan konsekuensi bahwa bagi para pemegang saham yang tidak turut serta menambahkan dana/modal ke perusahaan tsb maka jumlah sahamnya akan didilusi/dikurangi sesuai komposisi perhitungan saham masing-masing.
“Hal tersebut upaya jahat merampok saham pendiri dengan cara-cara yang melanggar norma moral dan norma hukum. Sangat Tragis !!! Itulah fakta yang sebenarnya. Saya menilai, upaya ini merupakan perbuatan sistematis, terstruktur dan masif untuk mengambil saham-saham milik pendiri Blue Bird (Elliana Wibowo dan Lani Wibowo: pemegang Saham 20 Persen) untuk menguasai Blue Bird tanpa melalui proses jual beli saham yang sah menurut hukum,” tegasnya.
Elliana mengemukakan tindakan tersebut dinilai sangat tidak wajar dan tidak fair !!!, mengingat bahwa perusahaan sudah sangat mapan dan harum namanya (selama 45 tahun), tetapi ironisnya malah saat ini perusahaan tidak bisa mengatasi kebutuhan dana sebesar 50 milyar rupiah, mengapa??? apakah dikarenakan selama ini adanya mismanagement di dalam perusahaan sebesar itu.
Klarifikasi dan Penjelasan Kehadiran PT Blue Bird TBK atau BIRD
Setelah melihat sejarah singkat proses pertumbuhan dan perkembangan perusahaan ini, kata Elliana, sekarang dapa dilihat proses perkembangan dan tata kelola perusahaan pada PT Blue Bird TBK atau BIRD. Untuk itu, sebagai pemilik dan pemegang saham sejak awal berdirinya, kami ingin klarifikasi dan memberikan beberapa penjelasan.
Sesuai data dan informasi yang bisa dilacak, diketahui bahwa di dalam Laporan Keuangan PT Blue Bird TBK/BIRD (Des 2021), tercatat aset sebesar Rp 6,5 Triliun.
Diketahui pula dari data informasi media (CNBC), tercatat per Maret 2022 dilaporkan bahwa BIRD mencapai laba bersih Rp 7,71 Milyar atau per tahun pendapatan bersih menjadi Rp 2,2 Triliun atau naik 8,55.
Dilaporkan pula, adapun laba tersebut antara lain disumbangkan dari bisnis kendaraan taksi BIRD yang menyumbang pemasukan Rp 1,63 T dan sewa kendaraan Rp 608 M (sumber CNBC indonesia).
“Pada kesempatan ini, saya perlu tegaskan bahwa hubungan afiliasi (induk dan anak perusahaan) tercatat PT Big Bird dan PT Blue Bird adalah entitas yang memiliki hubungan afiliasi dengan PT Blue Bird TBK atau BIRD,” katanya,
Diinformasikan juga, lanjut Elliana, bahwa pemasukan PT Blue Bird TBK atau BIRD didominasi oleh pemasukan dari bisnis taksi dan sewa kendaraan. Diketahui (seperti diberitakan CNBC Indonesia) bahwa pemasukan PT Blue Bird TBK atau BIRD dominan disumbangkan oleh Sewa Kendaraan (bisnis PT Big Bird) dan Bisnis Taxi (Blue Bird).
Karena itu, dengan memperhatikan pengelolaan management Blue Bird Group dan Blue Bird TBK, Elliana ingin memberikan catatan kritis sebagai berikut:
1). Transparansi adalah prinsip dasar sebuah Perusahaan Terbuka (TBK), sebagai panduan bagi para investor termasuk para pemegang saham di PT Big Bird dan PT Blue Bird Taxi sebagai perusahaan afiliasi dari PT Blue Bird (TBK) atau BIRD.
2). Sebagaimana regulasi dan ketentuan perundang-undangan yang mengharuskan adanya transparansi tata kelola keuangan kepada masyarakat dalam sebuah Perusahaan Terbuka (TBK) tapi mengapa pemegang saham tidak memiliki akses informasi apapun?
3). Dalam Laporan keuangan PT Blue Bird TBK atau BIRD, (sebagaimana diberitakan media) terdapat catatan laporan keuangan konsolidasi dimana PT Blue Bird TBK atau BIRD dan PT Big Bird serta PT Blue Bird Taxi terkonsolidasi, namun jadi pertanyaan kritis adalah apabila terdapat pendapatan dari PT Big Bird dan PT Blue Bird Taxi, apakah langsung tercatat sebagai pendapatan PT Blue Bird IBK atau BIRD?
Pertanyaan ini sengaja diajukan karena para pemegang saham sama sekali tidak pernah diundang RUPS untuk pengkonsolidasian dimaksud serta tidak pernah memperoleh akses ke laporan keuangan tahunan perseroan.
4). Pertanyaan selanjutnya adalah apakah Bus-Bus di PT Big Bird dan Taxi di PT Blue Bird Taxi merupakan aset dari PT Blue Bird TBK/ BIRD? Atau justru aset dari anak perusahaan yang dikonsolidasikan? Menjadi catatan bahwa Izin Operasional Bus dan Taksi adalah tercatat di PT Big Bird dan PT Blue Bird Taksi.
5). PT Blue Bird TBK atau BIRD, sebagaimana diberitakan mengalami keuntungan tapi afiliasinya (Big Bird dan Blue Bird taxi) yang menyumbang begitu banyak pada keuntungan perusahaan PT Blue Bird TBK atau BIRD dimaksud justru merugi dan tidak memperoleh dividen?
6). Pemegang saham justru tidak memperoleh akses sama sekali terhadap informasi dimaksud
7). Patut diduga telah terjadi eliminasi kepemilikan di PT Big Bird dan PT Blue Bird Taksi, sehingga kedua perseroan ini menjadi lebih kecil/merugi, sementara PT Blue Bird TBK atau BIRD cepat membesar secara bisnis, yang akibatnya merugikan para pemegang saham di dalamnya.”
Tuntutan/Permohonan :
1. Saya memohon dengan hormat kepada Bapak Presiden Joko Widodo agar membersihkan mafia peradilan yang masih bergentayangan di dalam dunia peradilan kita saat Ini. Saya sebagai pemegang saham pendiri sampai hari ini belum menerima pembagian dividen selama kurang lebih 10 tahun lebih sampai dengan permohonan gugatan saya sampaikan.
2. Saya juga memohon dengan hormat kepada Bapak Kapolri, Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo untuk atas nama hukum dan keadilan agar segera memerintahkan Kapolda Metro Jaya membuka kembali kasus saya yang sudah dihentikan oleh Mantan Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri dahulu Direktur Kriminal Umum Polda Metro Jaya pada tahun 2002 (Laporan Polisi Nomor Pol 1172/935/K/V/2000/RES JAKSEL, tertanggal 25 Mei 2000) terhadap para tersangka Purnomo Prawiro, Endang Basuki, Noni Purnomo dan Indra Marki.
3. Saya memohon dengan hormat kepada Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI untuk mengawasi secara ketat kepada para hakim, jaksa dan polisi yang terlibat dalam proses perkara yang sedang kami ajukan (perkara praperadilan dan gugatan PMH) di PN Jakarta Selatan untuk menghindari terjadinya mafia peradilan dalam perkara gugatan Praperadilan Nomor 63/Prapid/2022/PN.JKT. SEL terhadap Kapolda Metro Jaya dan gugatan PMH Nomor 667/Pdt.G/2022/PN.JKT.SEL terhadap Purnomo Prawiro, DKK
4. Saya memohon dengan hormat kepada Yang Mulia, Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia untuk mengawasi secara langsung terhadap persidangan kasus Praperadilan dan gugatan PMH yang saya ajukan untuk mendapatkan keadilan melalui Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. dalam perkara gugatan Praperadilan Nomor 63/Prapid/2022/PN.JKT. SEL terhadap Kapolda Metro Jaya dan gugatan PMH Nomor 667/Pdt.G/2022/PN.JKT.SEL terhadap Purnomo Prawiro, DKK
“Demikianlah keterangan pers ini saya sampaikan, saya melakukan ini, semata-mata untuk melakukan klarifikasi, memberikan penjelasan, dan meluruskan kembali pendirian perusahaan Blue Bird Group agar masyarakat dapat mengetahui lebih jelas duduk persoalan. Sehingga tidak lagi oknum-oknum yang memberikan keterangan pers yang dapat memberikan penyesatan informasi/pembohongan publik terhadap masyarakat,” tandas Elliana.(*)
(Victor)
Be the first to comment