IndonesiaVoice.com | Bertepatan Hari HAM Sedunia, Ketua Umum Yayasan Pencinta Danau Toba (YPDT), Maruap Siahaan menyerukan agar menghentikan pelanggaran HAM dan pembodohan di Kawasan Danau Toba (KDT).
Hal itu dikatakan oleh Maruap, dalam keterangannya, ketika menyampaikan pidatonya sebagai ketua umum, dalam pelantikan Pengurus YPDT 2021-2026 di Gedung Pertemuan Klub Persada Eksekutif, Halim Perdana Kusuma, Jakarta, Sabtu (10/12/2022).
Maruap menyebut beberapa konflik antara masyarakat dengan BPODT (Badan Pelaksana Otorita Danau Toba) yang ditugaskan pemerintah untuk mengelola KDT menjadi kawasan pariwisata kelas wahid.
“Pada Agustus 2020, misalnya, sejumlah warga Desa Pardamean, Sibisa, menolak untuk membongkar bangunannya di lahan yang sekarang telah menjadi bagian dari Zona Otorita Toba. Mereka menganggap tempat itu milik mereka sejak dulu,” jelasnya.
Baca juga: Perampasan Tanah dan Kriminalisasi Warga di Kawasan Danau Toba
Konflik agraria serupa, lanjut Maruap, juga terjadi di Motung yang berbatasan Sibisa. Namun, konfrontasi yang jauh lebih keras berlangsung di Desa Sigapiton yang terletak jauh di bawah Sibisa. Warga kampung yang terletak di bibir Danau Toba ini menghadang dan menghalau alat berat yang masuk ke sana pada 12 September 2019.
“Dalam aksi unjuk rasa yang melibatkan sekitar 100 orang (kebanyakan perempuan) terjadi bentrokan. Sejumlah ibu-ibu dan nenek-nenek yang telanjang maju menghadapi aparat keamanan,” beber dia.
Akibat bentrok tersebut, menurut Maruap, kritik terhadap BPODT pun berpuncak. Banyak kalangan yang menuduh BPODT cenderung jalan sendiri, tak sudi melibatkan warga sekitar dalam perencanaan dan pewujudan konsep-konsepnya.
“BPODT jelas bermasalah. Mereka cuma berfokus di Sibisa, bukan di seluruh kawasan Danau Toba. Lagi pula, tanah yang menjadi konsesinya sekarang, sekitar 500 hektar, masih belum clear and clean,” tegas dia.
Baca juga: BPODT Apresiasi Batak Center Gelar Pra Kongres I Kebudayaan Batak Toba
Maruap mengakui meski YPDT sudah telah 27 tahun berjuang untuk menyelamatkan Danau Toba, keadaan di danau kaldera terbesar sejagat ini belum membaik. “Justru situasi bertambah parah. Hal ini terjadi lantaran para perusak alam masih saja leluasa di sana,” imbuhnya.
Maruap memaparkan beberapa perusahaan yang dianggap menjadi perusak alam KDT. Diantaranya, PT Indorayon yang telah berganti jubah menjadi PT Toba Pulp Lestari; PT Aquafarm Nusantara (milik orang Swiss) yang kini telah mengenakan nama induknya, Regal Springs, tapi ditambah dengan kata ‘Indonesia’ di bagian akhirnya (menjadi Royal Springs Indonesia); PT Suri Tani Pemuka (STP, merupakan anak usaha Japfa Comfeed Indonesia yang menernakkan ikan di Danau Toba; PT Allegrindo Nusantara (perusahaan ternak babi Desa urung Pane, Kecamatan Purba, Simalungun); dan yang lain masih saja berkegiatan seperti sediakala.
“Seakan untouchable (tak tersentuh), mereka. Serupa halnya dengan para pelaku illegal logging yang beroperasi di banyak tempat di Sumatera Utara,” ujarnya.
Keadaan lebih parah lagi, kata Maruap, karena perusahaan tambang Dairi Prima Mineral beroperasi di Sopokomil, yang tak jauh dari Sidikalang. Food estate telah dibangun pula di kabupaten ini dan di Humbang Hasundutan. Semuanya pastilah berdampak ke kelestarian alam kawasan Danau Toba.
“Demikian juga kegiatan PT Inalum. Korporasi ini yang sangat mengandalkan air Danau toba yang sedang mengalir menuju samudera. Perusahaan plat merah ini masih beroperasi seperti biasa kendati permukaan air Danau Toba telah menyusut sampai 3 meter. Harus diingat bahwa air ini adalah bagian dari hak azasi, hak ekonomi, dan kehidupan penduduk setempat,” urai dia.
Maruap mengutarakan, sebuah ironi besar manakala presiden, para menteri (termasuk Menko), dan pejabat tinggi negara lainnya kerap bolak-balik berkunjung ke sana. Pembangunan infrastruktur mulai dari jalan tol, jalan raya, jembatan, bandara, pelabuhan, dan yang lain pun dilangsungkan atas nama kemajuan turisme. Pun, yang lebih hebat lagi, Danau Toba telah dinyatakan sebagai salah satu destinasi pariwisata super prioritas (DPSP).
“Kunjungan pembesar negara yang intens serta pembangunan infrastruktur, ditambah dengan pembentukan opini yang berlangsung sistematis dan efektif (lewat rekayasa informasi) telah menggiring khalayak luas ke sebuah titik kesimpulan yaitu, pemerintah sekarang memang sungguh-sungguh hendak mem-Bali-kan Danau Toba di lapangan pariwisata,” tuturnya.
Menurut Maruap, muncul pula pendapat KDT telah diuntungkan oleh perusahaan-perusahaan perusak alam, selain oleh infrastruktur yang baru dihadirkan oleh negara.
Baca juga: Refleksi BATAK CENTER Mengenai Hari Sumpah Pemuda 2022
“Yang pertama ini tentu saja mitos belaka. Kami pernah menghitung bahwa kontribusi PT Aquafarm ke Republik Indonesia cuma sekitar 3% saja dari biaya kerusakan alam yang ditimbulkannya,” jelasnya.
Lanjut Maruap, Indorayon alias Toba Pulp Lestari pun setali tiga uang. Mereka pernah menyatakan rugi. Akibatnya, tak perlu membayar pajak ke negara.
“Sebuah akal- akalan yang luar biasa, bukan? Pembodohan dan pelanggaran HAM di sekitaran kawasan Danau Toba sudah berlangsung puluhan tahun. Atas nama akal sehat dan kemanusiaan, semua itu harus segera kita akhiri. Saya kira, itulah agenda kerja terpenting bagi pengurus YPDT periode 2021-2026 yang dilantik hari ini,” tandasnya.
(Vic)
Be the first to comment