IndonesiaVoice.com | Sebanyak 600 Warga Negara Indonesia (WNI) berangkat ke Suriah bergabung dengan organisasi teroris ISIS. Mereka berperang dengan tujuan mendirikan negara versi mereka.
Setelah ISIS kalah, 600-an WNI anggota teroris itu kini terkatung-katung. Pemerintah tegas menolak memulangkan mereka karena 600-an WNI itu bergabung dengan anggota teroris internasional.
“Karena itu, saya mengapresiasi langkah pemerintah untuk tidak memulangkan 600-an WNI pengikut eks ISIS. Sebab, lebih baik melindungi 267 juta nyawa rakyat Indonesia daripada memulangkan 600-an pengikut teroris,” tegas Guru Besar Hukum Internasional UI, Prof Hikmahanto Juwana kepada wartawan, Rabu 12 Februari 2020.
“Keputusan ini patut diberi apresiasi yang tinggi. Pemerintah telah mengambil keputusan untuk melindungi rakyat yang lebih banyak daripada 600-an orang,” lanjut dia.
Hikmahanto menyatakan pemerintah telah berhasil meredam kekhawatiran banyak orang di Indonesia terkait munculnya wacana memulangkan bekas ISIS asal Indonesia.
Pasalnya, tidak ada urgensi bagi pemerintah untuk memulangkan bekas ISIS asal Indonesia.
“Pun, mereka kini bukanlah warga negara Indonesia. Terlebih lagi mereka sudah melakukan kejahatan di luar batas kemanusiaan,” cetus dia.
Faktanya, menurut Hikmahanto, di dunia internasional tidak ada desakan dari PBB.
“Organisasi dunia itu tidak meminta negara memulangkan warganya yang ikut berperang jadi teroris dengan bergabung menjadi ISIS,” beber dia.
“Ini berbeda bila pemerintah mendapat desakan dari PBB, Suriah atau Irak untuk menangani eks warga mereka yang tergabung dalam ISIS,” pungkas Hikmahanto.
Sebelumnya, Menko Polhukam Mahfud Md menyatakan pemerintah tidak akan memulangkan WNI yang terlibat jaringan teroris. Pemerintah tidak ingin mereka menjadi ‘virus’ bagi warga Indonesia.
“Keputusan rapat tadi pemerintah dan negara harus memberi rasa aman dari teroris dan virus-virus baru, terhadap 267 juta rakyat Indonesia karena kalau FTF (foreign terrorist fighter) pulang itu bisa menjadi virus baru yang membuat rakyat yang 267 juta merasa tidak aman,” tandas Mahfud.
(detik)
Be the first to comment