Gugatan FSB GARTEX SBSI dikabulkan PTUN, SK Gubernur Jabar terkait Upah Minimum Industri Padat Karya dinyatakan Batal

Jumpa Pers di Kantor KSBSI, Jakarta, (6/2), terkait dikabulkannya gugatan Forum Serikat Buruh Garment Kerajinan Tekstil Kulit dan Sentra Industri (FSB GARTEKS) SBSI yang menggugat Gubernur Jawa Barat atas diterbitkannya SK Gubernur Jawa Barat tentang Upah Minimum Industri Padat Karya. Dari Kiri: Ari Joko Yayan (Ketua Umum Garteks KSBSI), Trisnur Prianto (Sekjen Garteks KSBSI) dan Eli Rosita Silaban (Ketua Bidang Garteks KSBSI).

Jakarta, INDONESIAVOICE.com – PTUN Bandung memutuskan untuk mengabulkan gugatan Forum Serikat Buruh Garment Kerajinan Tekstil Kulit dan Sentra Industri (FSB GARTEKS) SBSI yang menggugat Gubernur Jawa Barat atas diterbitkannya SK Gubernur Jawa Barat Nomor: 561/Kep.679-Yanbangsos/2017 tentang Upah Minimum Industri Padat Karya tertentu jenis industri pakaian jadi/garmen di Kabupaten Bogor Tahun 2017, tertanggal 28 Juli 2017.

Putusan PTUN Bandung atas gugatan FSB Gareks SBSI tersebut dibacakan dalam Sidang oleh Majelis Hakim, pada tanggal 1 Februari 2018, dengan nomor putusan 133/G/2018/PTUN.BDG.

Dalam amar putusan tersebut, selain mengabulkan gugatan FSB Garteks SBSI secara keseluruhan, juga menyatakan batal atau tidak sah Keputusan Gubernur Jawa Barat Nomor: 561/Kep.679-Yanbangsos/2017 Tentang Upah Minimum Upah Padat Karya Tertentu Jenis Industri Pakaian Jadi/Garmen di Kabupaten Bogor Tahun 2017.


Pun, amar putusan itu menghukum tergugat (Gubernur Jawa Barat) untuk mencabut Keputusan Gubernur Jawa Barat yang dianggap merugikan buruh.

Sekjen Garteks KSBSI, Trisnur Prianto, membeberkan pertimbangan tergugat (Gubernur Jawa Barat), mengeluarkan SK Gubernur, yang muncul dalam sidang pengadilan, antara lain, ketakutan akan adanya PHK besar-besaran dan menjaga kelangsungan hidup perusahaan.

“Hal ini terjadi setiap tahun, setiap mau ada kenaikan upah selalu yang di-blow up akan terjadi PHK besar-besaran dan itu menjadi makanan kami setiap tahun. Wacana ini selalu dihembuskan. Itulah pertimbangan atau konsideran dikeluarkannya SK Gubernur tersebut,” kata Trisnur dalam jumpa pers kepada wartawan didampingi oleh Ketua Umum Garteks KSBSI, Ari Joko Yayan dan Ketua Bidang Garteks KSBSI, Eli Rosita, di Aula Gedung KSBSI, Jakarta, Selasa, 6 Februari 2018


Trisnur berpendapat pertimbangan PHK besar-besaran merupakan sebuah bentuk ancaman bagi buruh.

“Tidak perlu melakukan ancaman seperti itu. Ini klise. Nyatanya, ancaman PHK besar-besaran yang dihembuskan beberapa tahun sebelumnya juga tidak terbukti. Ternyata aman-aman saja. Tidak ada terjadi gejolak tuh,” tegas dia.

Terkait upah minimum padat karya, Trisnur menjelaskan Pasca diterbitkannya SK Gubernur Jabar tentang Upah Minimum Padat Karya untuk empat wilayah Jawa Barat (Kota Bekasi, Kabupaten Purwakarta, Kota Depok dan Kabuputen Bogor) tersebut, banyak perusahaan garmen menerapkan penerimaan upah kepada buruhnya sehingga berdampak pada penurunan upah buruh di sektor garmen pada keempat wilayah tersebut.


“Upah Minimum Kabupaten itu sekitar Rp. 3.100.000, sedangkan Upah Minimum Padat Karya itu berkisar Rp. 2.810.150. Itu berarti ada pengurangan upah Rp. 300 ribu perburuh,” ujar dia.

Menurut Trisnur, bagi buruh, upah yang sudah naik tidak boleh turun jika merujuk pada undang-undang.

“Apalagi Upah Minimum Padat Karya ini tidak dikenal dalam Undang-undang (UU) kita. UU kita hanya mengenal upah minimum provinsi, upah minum kabupaten/kota, upah minimum sektoral provinsi, upah minimum sektoral kabupaten/kota. Hanya itulah upah minimum yang diatur berdasarkan UU No. 13 Tahun 2003 dan PP No. 78 Tahun 2015. Dasar pertimbangan UU itu jugalah yang dijadikan dasar bagi kami untuk menggugat karena SK Gubernur Jabar itu melanggar regulasi yang ada di Indonesia,” terang dia


Dengan dikabulkan gugatan FSB Garteks SBSI ini, menurut Trisnur, maka otomatis secara hukum tidak berlaku lagi upah minimun padat karya.

“Sebab itu, perusahaan yang sempat memberikan upah buruhnya sesuai upah minimum padat karya, maka mereka harus mengembalikan kekurangannya,” kata dia.


“Kami juga menunggu dari gubernur Jawa Barat, sebagai tergugat, setelah diterbitkannya putusan PTUN yang membatalkan SK Gubernur tersebut, apakah akan melakukan upaya hukum lebih lanjut atau tidak. Kami masih menunggu 14 hari pasca putusan PTUN itu. Kalau sudah lewat 14 hari tidak naik banding, berarti putusan ini sudah inkrah. Lalu, kami akan membuatkan surat kepada gubernur Jawa Barat agar membuat surat pencabutan terkait SK Gubernur Jabar tersebut,” tandasnya.

(Ivoice/Vic)

Be the first to comment

Tinggalkan Balasan