GAMKI Tolak Pemulangan Hambali: “Pemerintah Harus Fokus pada Kebebasan Beragama, Bukan Teroris”

teroris hambali
Foto bersama ketika Pengurus DPP GAMKI dengan Menteri HAM Natalius Pigai di Kantor Kementerian HAM, Jakarta, Jumat (14/2/2025).

IndonesiaVoice.com – Wacana pemulangan teroris Jamaah Islamiyah, Hambali, ke Indonesia menuai penolakan keras dari Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (GAMKI). 

Organisasi pemuda Kristen ini menilai, rencana Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, untuk membawa kembali Hambali—salah satu otak di balik Bom Bali 2002—adalah langkah yang tidak sensitif dan melukai perasaan korban serta keluarga korban terorisme.

Ketua Umum GAMKI, Sahat MP Sinurat, menegaskan bahwa kepulangan Hambali tidak hanya mengancam keamanan nasional, tetapi juga mengabaikan hak jutaan warga negara yang ingin hidup damai.

“Menko Yusril mengatakan bahwa Hambali adalah WNI yang harus dilindungi haknya oleh pemerintah. Namun, apakah Menko Yusril juga memikirkan hak jutaan warga negara Indonesia yang ingin hidup damai dan dilindungi dari aksi-aksi terorisme?” tanya Sahat dalam keterangan persnya, Jumat (14/2/2025).

Sahat berharap Presiden Prabowo Subianto dapat mengevaluasi dan membatalkan rencana ini. “Kami yakin Bapak Prabowo mendengar jeritan suara rakyat. Banyak rakyat Indonesia yang menjadi korban dan masih terluka dengan berbagai aksi terorisme yang terjadi di masa lampau,” ujarnya.

Luka Lama yang Belum Sembuh

Hambali, yang saat ini ditahan di Guantanamo Bay, Kuba, diduga kuat terlibat dalam serangkaian aksi teror, termasuk Bom Bali 2002 yang menewaskan 202 orang dan melukai ratusan lainnya. 

Wacana pemulangannya ke Indonesia dinilai sebagai langkah yang tidak hanya kontraproduktif, tetapi juga berpotensi memicu ketidakstabilan keamanan.

“Membawa kembali Hambali ke Indonesia sama saja dengan membuka luka lama yang belum sembuh. Ini bukan hanya tentang keamanan, tetapi juga tentang keadilan bagi korban dan keluarga mereka,” tegas Sahat.

Izin Rumah Ibadah Lebih Mendesak

Di tengah penolakan terhadap wacana pemulangan Hambali, GAMKI juga mendesak pemerintah untuk lebih serius menangani persoalan perizinan rumah ibadah yang masih menjadi masalah di berbagai daerah. 

Sekretaris Umum DPP GAMKI, Alan Singkali, menyoroti masih maraknya praktik intoleransi dan kesulitan pengurusan izin rumah ibadah, meski telah ada Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9/8 Tahun 2006.

“Ketimbang mengurus kepulangan Hambali, pemerintah pusat seharusnya fokus mengevaluasi pemerintah daerah—baik provinsi, kabupaten, maupun kota—yang tidak memberikan perhatian serius terhadap persoalan intoleransi di wilayahnya,” jelas Alan.

Alan menambahkan, GAMKI telah menyampaikan keprihatinan ini dalam pertemuan dengan Menteri HAM Natalius Pigai beberapa waktu lalu. 

“Kami berharap pemerintah dapat melakukan langkah konkret untuk menjamin kebebasan beragama, hak atas tanah masyarakat adat, serta perlindungan bagi kelompok rentan dan marjinal,” ujarnya.

Persoalan intoleransi, terutama terkait pembangunan rumah ibadah, masih menjadi momok di berbagai daerah. Pelarangan dan pembubaran ibadah oleh kelompok intoleran kerap terjadi, sementara proses perizinan rumah ibadah seringkali dipersulit oleh birokrasi yang berbelit dan tekanan dari kelompok tertentu.

“Ini bukan sekadar persoalan administratif, tetapi juga persoalan hak asasi manusia. Setiap warga negara berhak menjalankan ibadahnya tanpa rasa takut atau diskriminasi,” tegas Alan.

GAMKI berharap pemerintahan baru Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka dapat mengambil langkah tegas dalam menangani dua isu krusial ini yaitu penolakan terhadap pemulangan Hambali dan penyelesaian masalah perizinan rumah ibadah.

“Kami percaya Bapak Prabowo memiliki komitmen untuk melindungi rakyatnya dari segala bentuk ancaman, baik itu terorisme maupun intoleransi. Mari kita fokus pada hal-hal yang benar-benar membawa perdamaian dan keadilan bagi semua,” pungkas Sahat.

Di tengah hiruk-pikuk wacana pemulangan Hambali, GAMKI mengingatkan pemerintah untuk tidak melupakan persoalan-persoalan mendasar yang masih membelit masyarakat, seperti intoleransi dan kesulitan perizinan rumah ibadah. 

Langkah tegas dan konkret dari pemerintah diharapkan dapat membawa angin segar bagi kehidupan beragama yang lebih harmonis di Indonesia.

“Kami tidak ingin melihat luka lama terulang. Yang kami inginkan adalah keadilan, perdamaian, dan kebebasan bagi semua,” tutup Alan.(*)

Be the first to comment

Tinggalkan Balasan