IndonesiaVoice.Com – Persoalan Hak Asasi Manusia (HAM) berbalut identitas SARA disertai kerakusan dalam bidang politik dan ekonomi, telah menambah tingginya suhu diskriminasi dan persoalan kemanusiaan di Ibu pertiwi.
Hak-hak dasar yang belum terpenuhi dalam mengakses kebutuhan pokok, untuk dapat berekspresi, beragama dan berkepercayaan, serta untuk mendapatkan pendidikan dan pelayanan kesehatan yang layak, menjadi tugas penting bagi semua untuk memastikannya dalam pemerintahan periode baru 2019-2024.
“Penegakkan hukum dan HAM secara adil dan konsekuen harus menjadi perhatian kita bersama, termasuk pemerintah dan umat beragama,” tegas Wakil Sekretaris Umum Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (Wasekum PGI), Pdt Krise A Gosal, dalam sambutannya, sekaligus membuka ‘Seminar dan Lokakarya Agama-Agama (SAA) Ke-35 PGI’ yang digelar di Salatiga, Jawa Tengah, Rabu, 3 Juli 2019.
Pembukaan SAA Ke-35 PGI ditandai dengan pemukulan gong oleh Wasekum PGI Pdt Krise Gosal didampingi Ketua Umum Yayasan Bina Darma Salatiga Theofransus Litaay, SH,LLM, PhD, Dekan Fakultas Teologi Universitas Krsiten Satya Wacana (UKSW) Dr David Samiyono (mewakili Pimpinan UKSW) dan Inspektur Jenderal (Irjen) Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), Jhoni Ginting SH, MH (mewakili Menteri Hukum dan HAM).
Acara SAA Ke-35 yang berlangsung dari tanggal 3-5 Juli 2019 ini merupakan hasil kerjasama antara PGI dengan Yayasan Bina Darma Salatiga dan UKSW.
Lebih lanjut Pdt Krise mengatakan pemikiran dan sikap kritis, konstruktif dan berkelanjutan dari para akademisi dan aktivis sosial ini turut menjadi ujung tombak penegakan keadilan bagi warga negara yang selama ini mengalami pengucilan, pembiaran, perampasan dan persekusi.
“Sesuai konstitusi kita, negara sudah semestinya menjamin kesejahteraan hidup dan pemenuhan hak-hak dasar warganya. Oleh karena itu pula, kita bersama-sama harus turut menjadi mitra kritis pemerintah yang mengawal kebijakan dan program-program yang akan dibuat untuk lima tahun ke depan,” imbuh dia.
Menurut Krise, penyelenggaraan SAA ke-35 PGI memang secara sengaja mengusung isu pasca pemilu 2019 agar semangat dan suara keberpihakan terhadap warga negara yang selama ini teracuhkan, terdiskriminasi dan terpinggirkan kelak mendorong pemerintah untuk terus mewujudkan kebhinekaan di negara-bangsa ini, sekaligus menciptakan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
“Semoga melalui SAA ke-35 PGI ini tercipta ruang bagi kita untuk mendiskusikan isu-isu kritikal terkait tema besar ‘Agama dan Warga Negara yang Terpinggirkan Pada Kepemimpinan Baru Indonesia’ dan menghasilkan sejumlah rekomendasi serta rencana tindak lanjut yang berguna bagi pemerintah dan institusi kita masing-masing,” ujar dia.
Sementara Ketua Umum Pengurus Yayasan Bina Darma (YBD) Salatiga, Theofransus Litaay, SH,LLM, PhD menyatakan salah satu persoalan yang dihadapi oleh masyarakat pada saat ini adalah persoalan intoleransi dan konflik ideologi di Indonesia.
“Persoalan semacam ini memiliki dimensi jangka panjang sehingga perlu diantisipasi sejak awal, dibahas dan dirumuskan rekomendasi-rekomendasi kebijakan yang perlu dilakukan agar kehidupan kebangsaan kita di masa kini maupun masa yang akan datang semakin diperkuat dalam semangat Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika,” ujar Theofransus Litaay yang juga bekerja sebagai Tenaga Ahli Utama Kedeputian V Kantor Staf Presiden ini.
“Hal ini pula yang kami lihat diperjuangkan oleh PGI dan perlu mendapatkan dukungan untuk diwujudkan termasuk dukungan dari YBD. Itulah sebabnya YBD mendukung kerjasama ini bersama-sama dengan UKSW dan Mission21 dalam rangka mewujudkan pelaksanaan Seminar dan Lokakarya Agama-Agama PGI ke-35,” tambah Theo, demikian dia akrab disapa.
Menurut Theo, yang juga Wakil Ketua Umum DPP Persatuan Inteligensia Kristen Indonesia (DPP PIKI) ini, acara SAA ke-35 PGI ini melibatkan unsur Yayasan Bina Darma Salatiga, Anggota dan senior GMKI Salatiga, serta Pusat Studi Agama, Pluralisme dan Demokrasi UKSW.
Panitia, menurut dia, selanjutnya merumuskan format kegiatan SAA ke-35 dalam bentuk seminar dan lokakarya yang disertai dengan mekanisme pemaparan oleh para pakar di dalam acara seminar dan dilanjutkan dengan presentasi 30 makalah hasil call for paper yang diseleksi dari 72 abstrak.
“Diharapkan dengan strategi semacam ini maka dapat dihasilkan berbagai pokok pemikiran yang mendalam serta komprehensif. Selain itu abstrak makalah yang tidak terpilih untuk dipresentasikan dalam seminar ini akan diterbitkan dalam jurnal ilmiah Pax Humana,” kata Theo.
“Buku rumusan hasil prosiding SAA ke-35 akan diserahkan ke PGI dan diharapkan bisa bermanfaat bagi perumusan materi-materi Sidang Raya PGI tahun 2019,” tandasnya.
Acara SAA ke-35 PGI selama tiga hari tersebut dihadiri para narasumber yang kompeten dibidangnya. Diantaranya, Prof. Dr. Sumanto Al-Qurtuby, Dr. Amilatul Qibtiyah, Dra. Arshinta M.Kes, Dr. Hatib Abdul Kadir, Prof. Dr. I. Nengah Duija, dan Pdt Dr. Izak Y.M Lattu.
Pembukaan SAA kala itu dihadiri ratusan peserta yang berasal dari perwakilan kalangan gereja, lembaga-lembaga Kristiani, lembaga-lembaga lintas agama dan para tokoh agama serta para mahasiswa.
Diantaranya, hadir Ketum PGIW DKI Jakarta Pdt Manuel Raintung, Sekum PGIW DKI Pdt Ferry Simanjuntak, Ketua Majelis Tinggi Sinode Gereja Kristen Setia Indonesia (GKSI), Frans Ansanay, Ketua Umum Sinode GKSI Pdt Marjiyo STh, Plt. Sekum Sinode GKSI Yus Seli, Ketua MUKI Djasarmen Purba, Sekjen MUKI Marwadi Zega, dan Ketum Perkumpulan Wartawan Media Kristiani Indonesia (PERWAMKI) Stevano Margianto dan Sekum PERWAMKI Agus Riyanto Panjaitan.
(InVoice)
Be the first to comment