
IndonesiaVoice.com – Di tengah gejolak transisi demokrasi pasca-Pemilu 2024, satu babak baru dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia tengah ditulis yaitu Dewan Perwakilan Rakyat secara kompak menolak melaksanakan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 135/PUU-XXII/2024.
Putusan itu, yang memerintahkan pemisahan Pemilu Nasional dan Pemilu Lokal, justru dipandang DPR sebagai pelanggaran terhadap UUD 1945.
Penolakan ini menyulut kritik keras. Komite Pemilih Indonesia (Tepi Indonesia), dalam pernyataan persnya, menyebut sikap DPR sebagai bentuk “pembangkangan konstitusi” dan “anarki kelembagaan”.
Jeirry Sumampow, Koordinator Tepi Indonesia, bahkan menyebut DPR sedang menyeret bangsa ke jurang krisis ketatanegaraan yang berbahaya.
Baca juga: Usulan Tambah Dana Parpol Dinilai Tak Tepat, TePI Soroti Risiko Korupsi dan Ketidaktransparanan
“Putusan MK bersifat final dan mengikat. Tidak ada lembaga, termasuk DPR, yang punya wewenang untuk menolak apalagi menilainya. Ini bukan hanya pembangkangan, ini bentuk arogansi konstitusional,” ujar Jeirry tegas.
Ketika Hukum Ditinggalkan, Demokrasi Terancam
Menurut Tepi Indonesia, penolakan ini menginjak-injak prinsip negara hukum. Ketika Ketua DPR menyatakan bahwa Putusan MK justru “menyalahi konstitusi”, Tepi Indonesia melihatnya sebagai bentuk penyesatan hukum yang berbahaya.
“Kalau semua lembaga menafsirkan UUD seenaknya, maka negara akan jatuh ke dalam kekacauan. Fungsi Mahkamah Konstitusi adalah sebagai penafsir tunggal konstitusi. Bukan DPR, bukan Presiden,” lanjut Jeirry.
Lebih jauh, Tepi Indonesia menilai penolakan ini bukanlah soal substansi hukum, tapi soal kepentingan politik kartel.
Baca juga: Talaud dan Barito Masih Gugat ke MK, Jeirry Sumampow Minta PSU Tidak Jadi Siklus Tak Berujung
Seluruh fraksi di DPR menolak secara seragam, yang menurut Jeirry adalah indikasi bahwa partai-partai lebih peduli pada dominasi politik nasional ketimbang supremasi hukum.
“Yang dipertahankan bukan kebenaran konstitusi, tetapi dominasi politik. Mereka takut pemisahan pemilu akan mengurangi kuasa partai nasional di daerah,” kritiknya.
Putusan MK Justru Menyuburkan Demokrasi Lokal
Putusan MK No. 135/2024 dinilai Tepi Indonesia sebagai jalan keluar dari “keruwetan” pemilu serentak 5 kotak suara yang membuka celah manipulasi dan tekanan politik pusat terhadap daerah.
Pemisahan pemilu akan memungkinkan pemilih memilih secara fokus dan berdaulat, membuka ruang bagi kepemimpinan lokal yang otentik.
Baca juga: DPR dan Pemerintah Wajib Menjalankan Keputusan Mahkamah Konstitusi
Tepi Indonesia menawarkan solusi konstitusional yang elegan, bukan penolakan mentah-mentah. Antara lain:
1.Mengajukan amandemen UUD melalui MPR;
2.Mengajukan uji materi baru;
3.Melakukan perbaikan legislasi dengan tetap menghormati Putusan MK;
Atau menempuh jalur etik terhadap hakim konstitusi, bila ada indikasi penyimpangan.
Dekrit Presiden, Jalan Terakhir Jika DPR Tetap Membandel
Tepi Indonesia bahkan melempar opsi ekstrem yakni Dekrit Presiden, jika kebuntuan ini terus berlanjut dan membahayakan sistem demokrasi.
Ini adalah seruan keras kepada Presiden agar tidak diam melihat pembangkangan konstitusional yang dilakukan lembaga legislatif.
“Negara hukum tidak boleh tunduk pada kekuasaan mayoritas politik. Presiden harus mengambil sikap jika DPR terus menolak konstitusi,” tutup Jeirry.
(Victor)
Be the first to comment