
Jakarta, IndonesiaVoice.com – Kawasan Danau Toba, permata vulkanik yang menyimpan tak hanya keindahan, tetapi juga sebuah janji sejarah yang belum tertepati.
Di sini, di jantung Sumatera Utara, aspirasi untuk mendirikan Provinsi Tapanuli (Protap) telah diwariskan lintas generasi, sebuah kisah penantian panjang di tengah hiruk-pikuk politik Jakarta.
Keresidenan yang Terlupakan
Kisah ini bermula jauh sebelum Indonesia merdeka. Tapanuli, pada masa Hindia Belanda, adalah sebuah Keresidenan, sebuah entitas administratif mandiri.
Namun, garis takdir berubah pada 1950, ketika dilebur ke dalam Provinsi Sumatera Utara. Sejak saat itu, Tapanuli, dengan segala keragaman budayanya, merasa seperti anak tiri yang jauh dari pusat kekuasaan di Medan.
“Legal standing Tapanuli sudah ada sejak zaman Hindia Belanda. Ini bukan sekadar wacana, tetapi hak yang harus dipenuhi,” ujar Ridwan Manurung, Wakil Ketua DPP Panitia Percepatan Provinsi Tapanuli (PPPT), dengan nada suara yang memuat kepastian dan kelelahan penantian.
Ridwan mempertanyakan mengapa pengajuan Protap, yang secara historis sudah ada sejak masa Hindia Belanda, justru tertinggal jauh dibelakang dari Provinsi Bangka Belitung, Gorontalo, dan Papua yang sudah dimekarkan.
“Protap jadi korban dari kebijakan ‘satu pintu’ pemekaran yang sangat ketat, sementara provinsi lain mendapatkan ‘jalur khusus’ berdasarkan urgensi politik atau keamanan nasional,” tegas dia.
Bagi Ridwan dan ribuan aktivis Protap lainnya, perjuangan ini adalah upaya mengembalikan marwah daerah yang secara historis memang layak berdiri sendiri.
Mereka meyakini, pemekaran adalah satu-satunya jalan untuk memutus rantai ketidakmerataan pembangunan yang membuat potensi Tapanuli terpendam.
Menurut Ridwan, kemandirian Tapanuli bukan isapan jempol. Wilayah calon provinsi ini, yang meliputi Kota Sibolga, Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, Humbang Hasundutan, Toba, dan Samosir, menawarkan portofolio ekonomi yang kuat, jauh melampaui kemampuan fiskal rata-rata calon DOB (Daerah Otonomi Baru) lainnya.
Ia membeberkan kekayaan yang terbentang bagi Calon Provinsi Tapanuli:
- Wisata Kelas Dunia: Danau Toba, UNESCO Global Geopark , menjadi magnet utama. Destinasi budaya di Samosir, air terjun memukau, hingga keindahan bahari di Pantai Kalangan dan Poncan, Sibolga.
- Energi dan Hasil Bumi: Mulai dari uap panas bumi PLTP Sibayak yang ramah lingkungan, potensi minyak dan gas di lepas pantai, hingga komoditas unggulan seperti Kopi Arabika (Lintongnihuta) yang mendunia, dan industri kerajinan Tenun Ulos yang bernilai tinggi.
- Aksesibilitas: Didukung oleh infrastruktur modern seperti Bandara Internasional Silangit, Tapanuli sudah siap menjadi hub ekonomi dan pariwisata.
Baca juga: Forkonas PP DOB Desak Pemerintah Buka Moratorium, PPPT Resmi Masuk Struktur Nasional
“Potensi yang kami miliki adalah jaminan kemandirian fiskal. Tapanuli tidak akan menjadi beban negara, melainkan mesin pertumbuhan baru,” tegas Ridwan, menyandingkan data potensi dengan syarat teknis yang diminta oleh pemerintah pusat.
Moratorium, Tembok Penghalang
Namun, di antara janji potensi dan ketegasan sejarah, terdapat tembok tinggi bernama moratorium pembentukan DOB, kebijakan yang diterapkan sejak 2014.
Kebijakan ini, yang bertujuan menekan beban APBN dan mengevaluasi DOB lama, telah membekukan perjuangan Protap.
Moratorium memang sempat menghentikan rencana, namun ia gagal memadamkan semangat. Dengan dinamika politik terkini dan masuknya isu pemerataan sebagai komitmen pemerintahan baru, PPPT melihat momen emas.
Baca juga: Hadiri Munas Forkonas PP DOB 2025, PPPT: Cabut Moratorium, Wujudkan Provinsi Tapanuli
“Saatnya bagi pemerintah yang baru untuk menetapkan skala prioritas. Pencabutan moratorium dan penetapan Provinsi Tapanuli sebagai skala prioritas adalah langkah nyata untuk mewujudkan pembangunan yang lebih adil dan merata di Sumut,” pungkas dia.

Be the first to comment