
Jakarta, IndonesiaVoice.com – Di tengah hiruk pikuk agenda legislasi DPR RI, sebuah Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi IV dengan perwakilan petani Jaringan Petani Persada Nusantara (JPPN) dan Serikat Petani Indonesia (SPI) di Gedung Nusantara, Jakarta, Senin, (17/11/2025), menjelma menjadi sebuah panggung pengungkapan fakta lapangan yang tajam.
Bukan sekadar rutinitas, pertemuan membahas revisi mendesak atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan ini membuka kotak pandora permasalahan pangan nasional, mulai dari cengkeraman impor yang mencekik, kesejahteraan petani yang terpuruk, hingga ironi food waste (sisa makanan) dan Food Loose (makanan terbuang) yang mencoreng martabat bangsa agraris.
Ketua Komisi IV DPR RI, Siti Hediati Soeharto (Titiek Soeharto), yang memimpin RDPU saat itu menegaskan urgensi perbaikan tata kelola pangan yang adaptif dan inovatif.
Namun, inti dari revisi ini sesungguhnya terkuak melalui presentasi lugas dari perwakilan petani yang datang langsung dari “sawah”.
Baca juga: DR Nelson Simanjuntak: Provinsi Tapanuli, Antara Harapan Otonomi dan Mimpi di Siang Bolong

Ketergantungan Impor, Epidemi yang Membunuh Petani Lokal
Rombongan Jaringan Petani Persada Nusantara (JPPN) dipimpin Hasrat El Harun Tanjung selaku Ketua Umum didampingi Juru bicara Santiamer Silalahi, Sekretaris Ali Akbar, Bendahara Sudarti dan para koordinator lapangan hadir untuk memenuhi undangan RDPU Komisi IV DPR RI.
Ketua Umum JPPN mempersilahkan Jubir JPPN Santiamer Silalahi untuk tampil ke depan untuk menyampaikan Pokok-Pokok Pikiran JPPN sebagai masukan untuk revisi UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan.
Mereka tidak hanya membawa lembaran konsep revisi, tetapi juga “bahasa petani” yang blak-blakan.
Santiamer memulai dengan sebuah pernyataan yang menusuk: “Kuasai pangan, maka Anda akan bisa mengendalikan rakyat.”
Menurut JPPN, tantangan utama pangan nasional saat ini adalah tingginya ketergantungan impor pada komoditas strategis seperti beras, kedelai, gula, dan daging.
Lebih jauh, Santiamer mengusulkan diksi yang lebih radikal dalam revisi UU: “Kami harus berani dong stop impor, maaf! Berani nggak kita berharap begitu? Kedaulatan pangan, Libatkanlah petani dalam perencanaan pangan, bukan masyarakat!”
Usulan ini mencerminkan kejengkelan petani terhadap kebijakan impor yang kerap datang saat panen raya, yang kemudian menekan harga jual gabah hingga membuat petani merugi, bahkan membuat mereka enggan berproduksi.
Baca juga: Ridwan Manurung: Protap Jadi Korban, Provinsi Lain Dapatkan ‘Jalur Khusus’
Perlindungan Lahan dan Kesejahteraan Petani
Salah satu sorotan paling dramatis adalah saat Santiamer menyinggung tingginya angka food waste and food loose di Indonesia. Dengan nada terharu, ia bercerita tentang didikan orang tuanya.
“Mohon maaf, saya ini nangis kenapa? Saya waktu di kampung, ketika makan bersama keluarga, kalau masih ada sebutir pun nasi masih tersisa di piring tersisa, digaplok kepala saya. ‘Kamu harus hargai jerih payah petani!'”
Ironi ini diperparah oleh kenyataan tingginya food waste and food loose pangan yang dikatakannya mencapai 5% dari produk nasional.
Untuk memerangi pemborosan dan ketidakadilan ini, JPPN mendesak penambahan pasal baru tentang pengendalian food waste and food loose dan diikuti sanksi pelanggaran.
Baca juga: Tamat Sudah Kiprah “Profesor” Tipu-Tipu, Marthen Napang Dijebloskan ke Rutan Salemba
Masalah lain yang tak kalah krusialnya adalah konversi lahan yang menggila. Petani meminta revisi UU Pangan harus secara tegas melarang alih fungsi lahan pertanian dan menambahkan sanksi pidana yang berat.
Mereka juga mendesak adanya program distribusi lahan (hak pakai/kelola) kepada 16 juta petani gurem dan buruh tani, memastikan bahwa “pangan tanpa lahan itu omong kosong.”
Sorotan Kritis untuk Bulog, Antara Bisnis dan HAM
Dalam aspek tata kelola, kritik tajam dilontarkan kepada Badan Urusan Logistik (Bulog). Petani menilai Bulog seringkali tidak menjalankan fungsinya sebagai penyangga harga.
“Bulog ini jangan berbisnis… Gimana kebutuhan hak asasi manusia dibisniskan? Tidak benar, nih. Ini kritik kami petani, nih,” tegas Santiamer.
Baca juga: Usulkan Gugat Massal (Class Action), Dr. JS Simatupang Ungkap Jalan Hukum Membongkar ‘Aib’ TPL
JPPN mengusulkan penambahan pasal yang mewajibkan Bulog untuk menyerap seluruh hasil panen petani pada Harga Pembelian Pemerintah (HPP) yang ditetapkan.
Mereka mencontohkan kasus di mana Bulog menolak serapan dengan alasan “tidak punya gudang,” penolakan ini memberi ruang calo untuk bermain menekan harga jual petani. Petani tidak mempunyai pilihan.
Langkah-Langkah Kunci yang Diusulkan Petani (Rumusan Inti Perubahan)
Dalam dokumen revisi yang diserahkan, JPPN mengusulkan penguatan yang komprehensif, meliputi:
– Harga Pembelian Pemerintah (HPP): Wajib diterapkan, serap hasil petani, dan stabilisasi pasar.
– Perlindungan Lahan: Tambahan sanksi pidana untuk alih fungsi lahan.
– Pemberian hak Kelola atau hak pakai minimal 2 Ha lahan terlantar pemerintah kepada setiap jiwa petani gurem atau buruh tani.
– Pengendalian Impor: Dihentikan jika merugikan petani dan diperketat saat panen raya.
– Keamanan Pangan Impor: Wajib uji laboratorium berlapis untuk melindungi bangsa dari potensi bahaya.
– Gizi Nasional: Penambahan pasal tujuan untuk menurunkan _stunting_ dan gizi buruk (mendukung program MBG).
– Kelembagaan Pangan: Bapanas didesak menjadi pengendali tunggal memperkuat koordinasi pusat-daerah.
Baca juga: Mengapa DPR Takut? Terbongkar Tiga Faksi Parlemen yang ‘Sandera’ RUU Perampasan Aset.
Revisi Undang-Undang No. 18 Tahun 2012 ini, bagi JPPN, adalah kebutuhan mendesak.
“Ini bukan hanya mengenai ketersediaan pangan, tetapi tentang hak asasi manusia, martabat dan harga diri petani, dan yang paling penting, ketahanan negara,” tutup Santiamer, menegaskan bahwa kesejahteraan petani adalah fondasi dari masa depan Indonesia.
Menanggapi pertanyaan anggota DPR peserta RDPU Komisi IV DPR RI tentang keterikatan Indonesia mematuhi aturan WTO sehingga tidak mungkin menyetop impor pangan dan kendala merevisi UU No. 18 Tahun 2012, karena sebagian sudah diatur dalam UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, Santiamer menjelaskan, WTO itu adalah organisasi Internasional yang tidak memiliki kedaulatan dan/atau legal capacities seperti negara. Berbicara kedaulatan pangan berarti bahwa negara berdaulat (dapat menolak intervensi negara lain) dalam hal menetapkan dan menerapkan kebijakan-kebijakan tentang pangan nasional.
Tentang timbulnya kendala revisi Undang-Undang Pangan No. 18 Tahun 2012 karena sebagian sudah diatur dalam UU Cipta Kerja, bahwa UU No. 11 Tahun 2020 bersifat umum, sedangkan UU No. 18 tahun 2012 bersifat khusus. Jadi tidak perlu ragu melakukan revisi, sebab berlaku asas Lex Specialis derogate legi generalis.(Vic)

Be the first to comment