
Jakarta, IndonesiaVoice.com — Penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada 10 tokoh bangsa oleh Presiden Prabowo Subianto baru-baru ini tak hanya menjadi momen penghormatan, namun juga memicu refleksi mendalam tentang makna pengorbanan dan persatuan.
Di tengah riuhnya pro-kontra, Dr. John Palinggi, MM, MBA, seorang Pengamat Politik senior, menyerukan sebuah kesadaran kolektif: “Kita lelah bertikai. Kita harus menghargai sejarah.”
Melalui wawancara eksklusif, John Palinggi membedah keputusan Presiden dengan pandangan yang tegas dan mengharukan, membawa kembali pada esensi Hari Pahlawan 10 November.
Menggali Makna Sejati Pahlawan
John Palinggi, Ketua Harian BISMA (Badan Interaksi Sosial Masyarkat), memulai dengan pertanyaan reflektif: “Adakah kita memikirkan bagaimana pengorbanan bagi semua pahlawan nasional yang gugur di medan tempur dan juga yang mengabdikan negara?”
Ia menekankan bahwa gelar Pahlawan Nasional adalah gelar kehormatan tertinggi yang diberikan kepada mereka yang gugur, berjasa luar biasa dalam membela kemerdekaan, atau menghasilkan karya yang luar biasa untuk kemajuan bangsa dan negara.
Dengan nada menyentil, ia mengkritik fokus yang keliru dalam perdebatan publik. Bukan mereka yang dianugerahi yang seharusnya dicaci-maki, melainkan sistem yang membiarkan “Taman makam pahlawan itu diisi dengan orang yang tidak bertempur, yang tidak berkarya, yang duduk di meja saja.”
Menurutnya, ini adalah sebuah distorsi sejarah yang perlu diluruskan, agar pemaknaan gelar pahlawan kembali pada esensinya: pengorbanan dan prestasi karya yang tak ternilai.
Kesadaran Mendalam Sang Presiden
Keputusan Presiden Prabowo untuk menetapkan 10 Pahlawan Nasional melalui Keputusan Presiden Nomor 116/TK/Tahun 2025 Tanggal 6 November 2025, dilihat oleh John Palinggi sebagai bagian dari “kesadaran yang dalam” dari seorang kepala pemerintahan. Kesadaran untuk mengingat karya-karya dan pengorbanan luar biasa dari para pendahulu yang patut dihormati.
Ia menyoroti dua nama yang menerima penganugerahan pahlawan nasional yaitu KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Jenderal Purnawirawan H. M. Soeharto.
John Palinggi, Ketua Umum DPP Asosiasi Rekanan Pengadaan Barang dan Distributor (ARDIN), yang pernah lama bersama Gus Dur, mengenang bagaimana mantan Presiden itu “mampu membangkitkan semangat persatuan di antara semua umat beragama.”
Sementara terkait Soeharto, ia mengajak bangsa untuk melihat dari perspektif yang lebih besar.
“Jangan dilihat dari kekurangan. Lihatlah bahwa kita masih ada sekarang ini karena ada pemerintahan yang lalu,” tegasnya.
Menurutnya, fokus terus-menerus pada kekurangan hanya akan menghambat pembangunan bangsa yang besar ini.
“Saat kita berbicara kekurangan terus, kelemahan di bangsa ini, kita tidak mampu akan membangun bangsa yang besar ini. Dengan pikiran yang kecil, dengan mengutamakan hal yang kecil, tetapi mengabaikan hal besar yaitu persatuan nasional, kerukunan nasional…“
Ia menyambut langkah Presiden Prabowo yang menghargai keberagaman kontribusi, dengan menetapkan tokoh-tokoh yang mewakili berbagai daerah, yang telah melalui proses seleksi yang sangat mendalam dan selektif.
Teladan: Persatuan, Kejujuran, dan Disiplin
Lantas, teladan apa yang harus diambil generasi penerus dari para pahlawan ini? John Palinggi dengan lugas menyebut tiga pilar utama yaitu Persatuan Nasional, Kerukunan, dan Kemampuan mendarmabaktikan hidup untuk bangsa dan negara.
Ia mencontohkan sosok lain yang juga menuai pro-kontra, Sarwo Edhie Wibowo. Dikenal dengan karakter tegas, disiplin, dan lurus, Sarwo Edhie adalah perintis Kopassus.
Namun, yang terpenting, John Palinggi, Ketua Umum Asosiasi Mediator Indonesia (AMINDO), mengajak generasi muda untuk menjauhi sifat “menggarong” dan mencontoh kesederhanaan para pahlawan.
“Kesederhanaan itulah yang mungkin bisa ditumbuhkan di bangsa kita. Bukan hidup berfoya-foya,” jelasnya.
Mengakhiri wawancaranya, John Palinggi menyampaikan rasa terima kasih dan salutnya kepada Presiden Prabowo.
Ia juga mengapresiasi bingkisan kasih sayang sebesar Rp 57 juta per tahun bagi keluarga pahlawan nasional, sebuah penghormatan spirit yang luar biasa.
“Mari sebagai anak bangsa kita menghormati keputusan Presiden, dan sambil kita mendoakan, keluarga-keluarga, anak cucu, cicit yang ditinggalkan,” pungkasnya, menutup dengan sebuah seruan untuk berdamai dengan masa lalu dan fokus membangun masa depan yang rukun dan bersatu.

Be the first to comment