
Jakarta, IndonesiaVoice.com – Wacana pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset terus terperangkap dalam tarik-ulur kepentingan politik di parlemen.
Sebuah dialog kebangsaan yang digelar Dewan Pimpinan Daerah Partai Solidaritas Indonesia (DPD PSI) Kota Depok pada Minggu (26/10/2025), di Rumah Perubahan, Bekasi, membongkar secara gamblang alasan politis di balik lambannya legislasi krusial ini, yang diklaim sebagai solusi mendesak untuk menyelamatkan negara dari korupsi ‘berlevel nuklir‘.
Diskusi ini dibuka oleh Sekretaris DPD PSI Depok, Marthin Jonathan Gultom SE, Ak, CMA., bersama Bendahara DPD PSI Depok, ALS Bonita Kawasaki, S.Sos., S.Pd., S.Psi., M.Si., yang bertindak sebagai pembawa acara pembuka (Master of Ceremony). Selanjutnya acara dipandu oleh Ossama Ruzicka, S.T. dan Sri Bakti Ningsih.
Baca juga: DPR DIBOHONGI? Jejak Janji Palsu TPL di Hadapan Wakil Rakyat dan Penderitaan Masyarakat Adat
Dalam sambutannya, Ketua Panitia, Muthia Esfand, S.S., menyampaikan apresiasi kepada seluruh pihak yang mendukung terselenggaranya acara ini. Ia menegaskan bahwa pembahasan RUU Perampasan Aset merupakan momentum penting untuk memperkuat integritas bangsa dan mendorong penegakan hukum yang berkeadilan.
Tiga Faksi Menghadang Pengesahan
Alih-alih menjadi prioritas, RUU Perampasan Aset justru terhenti di meja Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Pakar politik, Dr. Boni Hargens, Ph.D, secara eksplisit menunjuk faksi-faksi internal DPR sebagai biang keladi kebuntuan.
“RUU ini sulit disahkan karena DPR terbelah menjadi tiga kelompok: progresif-reformis, pragmatis-moderat, dan konservatif-resisten,” ungkap Boni, mengindikasikan adanya kelompok yang secara sengaja menghambat atau menawar substansi undang-undang tersebut.
Baca juga: Satu Tahun Kabinet Merah Putih Prabowo–Gibran: Stabilitas Terjaga, Gebrakan Masih Ditunggu
Padahal, Boni menegaskan, substansi RUU ini bersifat rehabilitatif dan restitutif—berfokus pada pemulihan kerugian negara—dengan mengadopsi pendekatan modern non-conviction asset-based forfeiture (perampasan aset tanpa harus menunggu vonis pidana).
Pertanyaan kritisnya, faksi manakah yang paling diuntungkan dari penundaan pengesahan RUU yang memungkinkan aset koruptor tetap aman?
‘Nuklir Korupsi’
Ketua DPD PSI Kota Depok, Binton Nadapdap, S.Sos., M.M., memberikan peringatan keras. Ia tak lagi menyebut korupsi sebagai sekadar masalah, melainkan ancaman eksistensial.
“Korupsi di negara ini bukan lagi duri dalam daging, tapi sudah seperti nuklir dalam tubuh kita,” tegas Binton.
Pernyataan ini semakin kontras saat Ronald Aristone Sinaga membeberkan praktik internasional. Ia menyebut Tiongkok berani menjatuhkan hukuman mati dan menyita seluruh aset koruptor, sementara Singapura memiliki pengadilan khusus.
“Di Indonesia, kita justru masih berdebat antara menyita harta atau menghukum pelakunya,” kritik Ronald, menyoroti lemahnya political will (kemauan politik) Indonesia dibandingkan negara-negara lain.
Baca juga: Menggali Potensi Raja Sijorat VIII sebagai Pahlawan Nasional di Tengah Dilema Oral Story
Kesenjangan praktik ini menguatkan dugaan bahwa kekuatan-kekuatan resisten di DPR mungkin berupaya melindungi jaringan atau potensi beneficiary korupsi di masa depan, alih-alih mengedepankan kepentingan rakyat.
Jebakan Akuntabilitas
Kekhawatiran terhadap penyalahgunaan kekuasaan dalam implementasi RUU juga mengemuka. Dr. Zevrijn Boy Kanu, S.H., M.H., menekankan RUU harus menjamin akuntabilitas dan menjunjung asas due process of law.
“Tantangannya adalah bagaimana memastikan RUU ini tidak disalahgunakan untuk kepentingan politik dan kekuasaan,” ujar Zevrijn.
Hal ini mengisyaratkan risiko politisasi RUU, jika disahkan, bisa menjadi senjata baru untuk menjatuhkan lawan politik.
Baca juga: HUT TNI ke-80, Dr. John Palinggi: TNI Prima dan Rakyat Bersatu Demi Indonesia Maju
Di sisi lain, Prof. Rhenald Kasali, Ph.D., menyoroti kelemahan mendasar pada Aparat Penegak Hukum (APH) sendiri.
Ia mengungkapkan bahwa banyak jaksa dan penyidik belum memahami dasar akuntansi dan bisnis.
“Penilaian kerugian negara harus berdasarkan standar akuntansi dan valuasi ekonomi yang benar,” tegas Rhenald.
Kritik ini menelanjangi potensi kegagalan implementasi RUU bahkan jika ia lolos dari hadangan politik, karena APH tidak siap secara keilmuan untuk menghitung dan mengejar aset berdasarkan standar valuasi yang ketat.
Baca juga: Dr John Palinggi: Melayani Rakyat Bukan Bergaya Raja, Tantangan Menteri Dibawah Kepemimpinan Prabowo
Dialog yang diinisiasi PSI Depok ini menjadi alarm keras: RUU Perampasan Aset tidak hanya terancam oleh resistensi politisi yang diuntungkan status quo, tetapi juga oleh minimnya kesiapan dan integritas APH dalam menjalankannya.

Be the first to comment