KU TERKAPAR DILILIT TANYA
di pagi jernih bening hening
di tengah lantunan azan yang membelah sejarah
memanggil umat
mendirikan sholat
selalu saja
segumpal tanya menyeruak
menyesakkan dada
melahirkan asam lambung
dan pengap
menyergapdi pagi jernih bening hening
diantara semilir angin pagi
sepoi-sepoi
mengalirkn sejuk
sambil mengunyah
sisa-sisa mimpi eskatologis
yang tertoreh
di hati perih
selalu saja terulang
seonggok pertanyaan retorik
yang mengusik
yang menginterupsi
episode kehidupangumpalan tanya seperti itu kadang
bermetamorfosis
menjadi penyakit
yang melukai tubuh
menikam dalam
kehidupan
mengapa pandemi
mesti datang (lagi)
mengguncang dunia
mengapa manusia
dengan bobot intelektualitasnya
yang Tuhan karuniakan
takmampu melawan pandemimengapa virus covid 19 mesti
memecah diri dalam denominasi baru yang lebih dahsyat dalam
menbunuh manusiamengapa bangsa-bangsa dan lembaga internasional tidak terlalu optimal
menyatutubuh melawan pandemimengapa Tuhan seakan diam dan tidak bertindak mengubah realitas ini
mengapa sop dan ptotap yang Tuhan miliki terkesan lamban
dan tidak berada pada frame out of the box
apakah ini cara Tuhan memperingatkan umat manusia
agar mereka bertobat dan berhenti berbuat dosa?
pertanyaan-pertanyaan seperti itu semakin menggumpal
dan menggumpal
lalu nafas terasa
tersengal-sengal
ku terkapar
nanar
tanpa sadar
tiba-tiba
istriku memegang tanganku pelan
sambil mengucap kata:
“pak, sudah siang
puisi belum rampung
hidup belum selesai!Jakarta, 11 November 2021/pk 4.50
Be the first to comment