
Ketika kedamaian terguncang di sudut desa yang tenang di Sukabumi, suara duka dan keprihatinan menggema dari Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI).
Dalam pernyataan sikap resmi yang dirilis pada 30 Juni 2025, PGI mengecam keras peristiwa intoleransi yang disertai kekerasan dan teror terhadap jemaat Kristen di Desa Tangkil, Kecamatan Cidahu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.
Peristiwa tragis tersebut terjadi pada Jumat, 27 Juni 2025, ketika ratusan warga memasuki secara paksa sebuah rumah yang digunakan untuk kegiatan retreat dan pembinaan rohani umat Kristen.
Di tengah suasana ibadah yang seharusnya sakral, kekerasan pun meletus. Kayu salib dijatuhkan dan digunakan untuk merusak kaca-kaca jendela.
Baca juga: Media Center PGI, Wadah bagi Jurnalis Kristen, Diresmikan
Properti dihancurkan, dan ketakutan menyelimuti puluhan jemaat yang kemudian dievakuasi oleh aparat keamanan menggunakan tiga kendaraan—yang juga menjadi sasaran amukan massa.
“Ini adalah pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia dan konstitusi,” tegas Pdt. Darwin Darmawan, Sekretaris Umum PGI, dalam pernyataan tersebut.
Ia menyebut tindakan main hakim sendiri itu tidak hanya tidak beradab, tapi juga menghina nilai-nilai dasar kebangsaan.
PGI menyayangkan sikap aparat keamanan dan para pemimpin masyarakat setempat yang dinilai gagal mencegah dan meredam kekerasan.
Baca juga: GAMKI Dukung Sidang Raya PGI 2024, Dorong Kolaborasi Demi Kemajuan Gereja dan Bangsa
Padahal sejak April 2025, ketegangan sudah mulai muncul antara warga dan pengelola rumah tersebut.
Bahkan Forkopimcam, Kepala Desa, Ketua MUI, dan Ketua RT diketahui telah mengetahui akan adanya ibadah, namun tidak ada langkah antisipatif yang dilakukan.
“Pembiaran ini memperlihatkan lemahnya keberpihakan negara terhadap perlindungan hak-hak konstitusional warga,” bunyi salah satu poin pernyataan PGI.
PGI mendesak pemerintah daerah, baik di tingkat kecamatan, kabupaten, maupun provinsi, untuk segera bertindak agar insiden serupa tidak kembali terjadi.
Baca juga: Anak SD Tewas Akibat Intoleransi, Alarm Merah untuk Penegakan Pancasila di Sekolah
Mereka juga menyerukan pentingnya pendekatan dialog dan musyawarah sebagai jalan damai dalam menyelesaikan konflik antarwarga.
Tak hanya itu, PGI juga menyoroti dampak psikologis dari peristiwa ini, terutama bagi anak-anak yang turut menjadi korban.
Mereka mendorong pemerintah, aktivis, dan pegiat kebebasan beragama untuk memberikan layanan pendampingan psikologis dan trauma healing bagi para korban.
Dalam sikap yang lebih luas, PGI mengajak gereja-gereja di seluruh Indonesia untuk terus mendoakan agar peristiwa persekusi dan intoleransi semacam ini tidak terulang kembali.
Baca juga: Keterbukaan dan Sikap Kritis Kunci Pulih dari Intoleransi
Mereka juga meminta Presiden Prabowo Subianto untuk mengevaluasi peraturan pemerintah mengenai Kerukunan Umat Beragama.
“Peraturan tersebut harus menjadi instrumen yang efektif untuk memastikan kepatuhan terhadap konstitusi dan perlindungan terhadap hak setiap warga negara,” tegas PGI, mengingatkan bahwa hak untuk beragama dan beribadah tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.
Baca juga: Gubernur Lampung: Penguatan Kearifan Lokal Cegah Intoleransi
Di tengah retaknya harmoni kebangsaan yang terus diuji oleh intoleransi, PGI tetap percaya bahwa Indonesia yang adil dan damai bisa terwujud.
Kuncinya adalah komitmen seluruh elemen bangsa untuk menjunjung tinggi konstitusi dan hidup dalam semangat cinta kasih serta perdamaian.
Be the first to comment