
Semarang, IndonesiaVoice.com – Sebuah drama penegakan hukum yang jarang terjadi diungkap Kamis (20/11/2025). Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (Kanwil DJP) Jawa Tengah I, dengan didukung penuh aparat Bareskrim Polri, mengambil langkah ekstrem: Penyanderaan (Gijzeling) terhadap seorang wajib pajak berinisial SHB.
Angka utang pajak SHB bukan main-main: lebih dari Rp 25,4 Miliar ($25,471,351,451.00), utang PPh Pasal 25/29 Orang Pribadi yang terdaftar di KPP Madya Dua Semarang.
Tindakan ini, yang secara harfiah berarti pengekangan sementara kebebasan seseorang, membuka kembali pertanyaan kritis: Mengapa negara harus menggunakan cara sekeras ini untuk menagih kewajiban warga negaranya?
Baca juga: Anggaran Pendidikan Indonesia ‘Melejit’, Dana Belanja Inti Justru Tercekik
Jejak Utang Miliar Rupiah
Tindakan gijzeling ini dilakukan bukan tanpa alasan. Menurut sumber dari Kanwil DJP Jateng I, SHB telah menjadi target penagihan aktif setelah serangkaian upaya persuasif tidak diindahkan.
Hal ini memicu pertanyaan mendalam, Apa yang membuat seorang wajib pajak dengan utang sebesar ini menolak kooperatif?
Apakah dana sebesar Rp 25,4 Miliar telah dipindahkan, disembunyikan, atau digunakan untuk kepentingan pribadi tanpa mempertimbangkan kewajiban kepada negara?
Baca juga: Anggaran Pendidikan Rp 757 Triliun ‘Tersandera’ Lintas Sektor, Mutu Terancam
Undang-Undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (UU No. 19 Tahun 1997/2000) memang memberikan kewenangan ini. Namun, gijzeling hanya bisa dilakukan jika dua syarat terpenuhi:
- Utang pajak minimal Rp 100 Juta.
- Diragukan itikad baiknya dalam melunasi utang.
Kasus SHB menyoroti celah sistem di mana wajib pajak yang memiliki aset besar diduga sengaja memanfaatkan birokrasi dan legalitas untuk menghindari tanggung jawab.
Keraguan akan “itikad baik” inilah yang menjadi kunci dan legitimasi tindakan penyanderaan ini.
“Penyanderaan kami lakukan sebagai langkah penegakan hukum sesuai UU Penagihan Pajak… memastikan hak negara terpenuhi, serta adil bagi negara dan wajib pajak,” ujar Nurbaeti Munawaroh, Kepala Kanwil DJP Jawa Tengah I, dalam siaran persnya, Kamis (20/11/2025).
Dilema Etika dan Efek Jera
Dalam pernyataannya, Nurbaeti Munawaroh menegaskan bahwa DJP tidak memiliki “niat zalim/tidak adil” dan hanya melaksanakan ketentuan yang berlaku.
Namun, tindakan penyanderaan selalu memicu dilema etika: apakah pengekangan kebebasan adalah cara yang proporsional untuk menagih utang finansial?
Dari sudut pandang negara, langkah ini adalah perwujudan keadilan bagi pembayar pajak yang patuh dan memastikan alokasi dana untuk pembangunan publik.
Penyanderaan adalah sinyal keras, sebuah efek jera yang diharapkan akan menekan wajib pajak lain yang berpotensi melakukan penghindaran.
Kasus ini menunjukkan bahwa koordinasi antara DJP dan Polri (yang didasarkan pada PKS/7/III/2021) kini berada di level yang sangat operasional.
Ini adalah pesan terselubung: era negosiasi berkepanjangan bagi penunggak besar telah berakhir, digantikan oleh penegakan hukum yang tegas.
Baca juga: Ridwan Manurung: Protap Jadi Korban, Provinsi Lain Dapatkan ‘Jalur Khusus’
SHB dapat dilepaskan segera setelah utang pajak dan biaya penagihan dibayar lunas. Hingga saat itu, kasus ini akan terus disorot sebagai barometer komitmen pemerintah dalam memerangi penghindaran pajak dan memastikan kedaulatan penerimaan negara.
Kasus ini patut dijadikan studi lebih lanjut: Bagaimana mekanisme penelusuran aset SHB dilakukan? Apa saja aset yang diduga disembunyikan? Dan mengapa upaya persuasif yang notabene adalah hak wajib pajak yang diabaikan?(Vic)
#PenyanderaanPajak #Gijzeling #PenegakanHukumPajak #UtangPajak #KanwilDJPJatengI #InvestigasiPajak

Be the first to comment