Praperadilan Ditolak, Tersangka Tak Ditahan, Pengacara: Diduga Ada Mafia Tanah Berkedok Agama

kasus sengketa tanah dan bangunan
Sukowati S Pakpahan, SH, MH, CPCLE, Kuasa Hukum Lily

IndonesiaVoice.com | Kuasa Hukum Lily, Sukowati S Pakpahan, SH, MH, CPCLE, menyatakan keheranannya mengapa sampai saat ini para tersangka belum juga ditahan oleh pihak kepolisian, usai Praperadilan yang diajukan oleh keempat tersangka (pemohon) ditolak oleh pengadilan.

“Diduga ada mafia tanah berkedok agama terkait kasus yang berlarut-larut ini. Kasus ini bergulir sejak 2013. Kasus ini pernah dilaporkan ke Polsek Kebon Jeruk, namun tidak bisa memberikan kepastian hukum. Tahun 2019 dilaporkan ke Polres Jakarta Barat pun tak diterima,” jelas Suko Pakpahan dalam konferensi pers di Bekasi, Selasa, 27 Desember 2022.

Padahal berdasarkan Putusan Praperadilan No 16/Pid Pra 2022/PN Jkt Barat, pada pertimbangan putusan prapreradilan Termohon (Penyidik) menyatakan, bahwa asal usul dari tanah dan bangunan seluas 371 M2 yang letaknya di Komplek Perumahan Green Garden O4 No. 16, Kelurahan Kedoya Utara, Kecamatan Kebon Jeruk Jakarta Barat, dibeli oleh Amih Widjaya, ibu dari Lily klien dari pengacara Sukowati S Pakpahan, SH, MH, CPCLE.

Suko menjelaskan, Amih Widjaya pada awalnya membeli dari PT Taman Kedoya Barat Indah tahun 2001 dan tercatat di Notaris PPAT Iwan Halimy SH.

“Namun, saat ini ada sekelompok orang, yang kini menjadi tersangka, mengklaim tempat ini adalah milik mereka,” kata dia.

Baca juga: GALARUWA: Proses Hukum Pencopot Logo Aksi Kasih Gereja Reformed Injili Indonesia di Tenda Pengungsian Korban Gempa Cianjur





Perkara ini, lanjut Suko, muncul ketika ada yayasan yang mengklaim bahwa tanah dan bangunan adalah milik mereka. Berawal pengakuaan dari Yayasan Metta Karuna Maitreya disebut didirikan dari Ny Amih Widjaja, Ny Mawarly, Ny Tjoeng Sherly, Ny Linda dan Ny Eva Tjokkandau yang sepakat pada tahun 1999 membeli sebidang tanah yang terletak di Perumahan Green Garden Blok O4 No. 16, Jakarta Barat, seluas 371 M² yang katanya, memakai nama Ny Amih Widjaja.

“Para tersangka mengklaim bahwa atas tanah dan bangunan Vihara Tien En Tang dan Yayasan Metta Karuna Maitreya yang dibangun dan tahun 2002 disebut bersertifikat Hak Guna Bangunan nomor 7465 atas nama Amih Widjaja yang terbit tertanggal 4 Desember dibukukan dan diterbitkan pada tanggal 4 Desember 2012 di Kantor Pertanahan Kota Administrasi Jakarta Barat,” urai dia.

Hal ini juga, menurut Suko, menjadi pertanyaan besar, sesungguhnya izin yayasan atau izin rumah ibadah sesuai perizinannya di alamat tersebut. Karena, menurut ahli waris Lily, IMB tersebut atas nama Amih widjaja sudah jelas izin rumah tinggal.

Terkait Sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor :07465/Kedoya Utara atas nama Amih Widjaja, kemudian berdasarkan pewarisan/Akta Keterangan Hak Waris Nomor: 16/BBH/N-KHW/XI/2020 Tanggal 30 November 2020, sebagaimana sesuai dengan data yang ada pada buku tanah, bahwa nama pemegang hak ahli waris, sebagaimana berdasarkan Pewarisan/Akta Keterangan Hak Waris Nomor: 16/BBH/NKHW/XI/2020 tanggal 30 November 2020 yang dibuat oleh Benn Benyamin Haryanto, SH selaku Notaris diterbitkan atas nama Lily.

Pun, sesuai dengan data yang ada pada buku tanah, bahwa berdasarkan Surat Ukur Nomor 00042/ 2012 tanggal 07 Mei 2012 luas tanah atas Sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor: 07465/Kedoya Utara tercatat atas nama Lily tersebut adalah seluas 371 M2 (tiga ratus tujuh puluh satu meter persegi) yang terletak di Perumahan Green Garden Blok O4 No. 16.

Baca juga: Hukuman Teroris Diringankan, Setara Institute Pertanyakan Hakim yang Tidak Berpihak Korban





“Artinya, bangunan Nomor: 2925/Kedoya Utara atas nama Amih Widjaja, status sertifikat tersebut sudah tidak berlaku karena sudah dihibahkan ke Lily, sebagaimana klaim yayasan bahwa dihibahkan kepada mereka,” beber Suko.

“Padahal dengan tegas dinyatakan dalam KUHPER Kitab Undang-Undang Perdata Pasal 1682 tentang Cara Menghibahkan Sesuatu bahwa Tiada suatu penghibahan pun kecuali termaksud dalam Pasal 1687 dapat dilakukan tanpa akta notaris, yang minut (naskah aslinya) harus disimpan pada notaris dan bila tidak dilakukan demikian maka penghibahan itu tidak sah,” imbuh dia.

Suko sangat menyayangkan kasus ini masih belum ditarik oleh pihak Kejaksaan. Pun, menurutnya, kasus ini diduga terkait mafia tanah berkedok agama pun bukan tanpa alasan.
“Kenapa saya duga mafia tanah berkedok agama, karena selalu dikaitkan dengan tempat Vihara dan yayasan. Kadang disebut Vihara Tien En Tang dan kadang disebut Yayasan Metta Karuna Maitreya,” ujar dia.

Menurut Suko, pernah ada pertemuan rapat terkait klarifikasi keberadaan yayasan dan vihara di komplek perumahan tersebut.

“Pihak kami juga diundang untuk klarifikasi terkait keberadaan yayasan dan vihara di komplek perumahan tersebut yang dihadiri oleh Divisi Hukum Walikota Jakarta Barat yang dihadiri Bapak Rudi, Pengurus FKUB (Forum Komunikasi Umat Beragama) Jakarta Barat dan Satpol PP Jakarta Barat. Pemprov DKI sudah memberikan pernyataan bahwa di lokasi Komplek Green Garden Blok O4 No.16, Jakarta Barat, tidak ada pernah diterbitkan izin untuk rumah ibadah dan yayasan. Lalu darimana izinnya itu? Inilah yang perlu diusut oleh bapak kita di pemerintahan,” pungkas dia.

Baca juga: Perjuangan Lima Tahun Lukas Budi Andrianto Menuntut Kepastian Hukum





Suko menegaskan sejauh ini tidak ada bukti otentik yang menyatakan itu milik mereka (para tersangka).

“Tetapi diduga ada oknum-oknum di belakang mereka yang memberikan harapan, pandangan dan edukasi yang diduga kurang baik sehingga mereka berani menyatakan tanpa bukti,” kata dia.

Pun jika merujuk pada Pasal 184 ayat (1) KUHAP disebutkan bahwa alat bukti yang sah adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa.

“Sepanjang apa yang saya ketahui sebagai Lawyer, mereka (tersangka) tidak dapat membuktikannya,” kata dia.

Lebih lanjut Suko menegaskan, mereka (tersangka) tidak pernah punya akta hibah, namun hanya punya selembar surat hibah dibawah tangan.

Baca juga: Merasa difitnah, Pegawai CS RS Primaya Hospital PGI Cikini Minta Klarifikasi





“Sebab kalau yang namanya akta hibah itu produk Notaris. Sedangkan selembar surat hibah di bawah tangan itu telah gugur berdasarkan KUH Perdata yang dengan jelas dinyatakan, tiada suatu penghibahan pun dapat dilakukan tanpa akta notaris yang minut (naskah asli) yang disimpan Notaris. Dan bila tidak dilakukan demikian maka penghibahan itu tidak sah (cacat hukum). Artinya ini (surat hibah dibawah tangan) jelas tidak sah,” tegas dia.

Suko juga menyangsikan adanya tanda tangan Amih Widjaya dalam selembar surat dibawah tangan tersebut lantaran beliau dalam keadaan sakit keras saat itu.

“Ada rekam medis yang menyatakan Ibu Amih Widjaya, pada tanggal 19 Mei 2013 sampai Juni 2013, sedang sakit keras masuk IGD dan dirawat inap di RS Eka Hospital Tangerang. Lalu, disitu dia (Amih Widjaya) dinyatakan terkena ginjal kronis, dimana fungsi ginjal tinggal 15 persen. Kondisi Ibu Amih ketika itu kedua tangannya membesar dan diinfus serta tidak bisa berjalan. Pertanyaannya, apakah orang dalam keadaan koma boleh menandatangani surat hibah? Tentu tidak,” imbuh dia.

Ditambah lagi, lanjut Suko, ada anaknya (Lily) yang menjaga Ibunya Amih Widjaya ketika di rumah sakit. “Apakah anaknya buta? Tidak. Anaknya bisa melihat siapa yang datang. Di IGD rumah sakit tersebut tidak boleh ada yang masuk, kecuali anggota keluarga. Itu pun nggak bisa banyak orang,” beber dia.

“Jadi selembar hibah dibawah tangan itu tidak sah dan cacat hukum. Karena itu ini harus dibongkar. Kalau benar kita mau memberantas mafia tanah maka kasus ini harus dibongkar. Kasihan rakyat miskin yang terzolimi,” kata dia.

Baca juga: Perampasan Tanah dan Kriminalisasi Warga di Kawasan Danau Toba





Paska Praperadilan

Praperadilan yang diajukan oleh keempat tersangka (pemohon) telah ditolak pengadilan. “Biasanya, kalau ditolak ada konsekuensinya. Begitu juga kalau diterima, ada konsekuensi hukum atau tindakan tegas dan terukur dari pimpinan. Tetapi ketika para tersangka (pemohon praperadialan) kalah dalam rangka mencoba melemahkan hukum di Polres Jakarta Barat, mereka justru tak mendapatkan sanksi apa-apa. Malah diduga semakin dimanjakan dan mendapatkan fasilitas VIP,” ujar Suko.

Lebih lanjut Suko menjelaskan dugaan semakin dimanjakan dapat terlihat
ketika ada orang yang berani menerobos obyek tanah dan bangunan yang tadinya dikuasai kliennya, Lily. Diduga mereka berani menerobos didampingi dan dikawal oleh para oknum polisi baik itu dari Polres Jakarta Barat maupun Polsek Kebon Jeruk.

“Dimana lagi wibawa negara ketika ada masyarakat mempertontonkan dengan menerjang dan melemahkan hukum tetapi tidak ada tindakan tegas dan terukur oleh polisi kita,” jelas dia.

“Kepada jajaran polisi di Jakarta Barat, Saya sangat menghormati dan apresiasi terhadap putusan praperadilan tetapi saya tidak pernah apresiasi pada saat masyarakat menerobos obyek dan belum ada tindakan hukum yang tegas dan terukur yang diambil polisi hingga saat ini. Saya juga sudah mengadu kepada Bareskrim Polri karena Praperadilan yang diputus 9 November 2022 belum ada tindakan tegas dan terukur dari Polri hingga kini. Padahal UUD 1945 pasal 28 D ayat 1 menjamin bahwa setiap warga Negara Republik Indonesia berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum,” tandas dia.

(VIC)

Be the first to comment

Tinggalkan Balasan