Talaud dan Barito Masih Gugat ke MK, Jeirry Sumampow Minta PSU Tidak Jadi Siklus Tak Berujung

Pemungutan Suara Ulang (PSU)
Koordinator Komite Pemilih Indonesia (TePI), Jeirry Sumampow (Kedua dari Kiri) dalam diskusi bertajuk "Menjaga Marwah MK: Independen, Konsisten, dan Efisien dalam Menangani Sengketa Pilkada Pasca PSU" di Jakarta, (10/5/2025).

IndonesiaVoice.com – Pemungutan Suara Ulang (PSU) dalam rangkaian Pilkada 2024 belum benar-benar menutup babak sengketa. Dua kabupaten—Kepulauan Talaud di Sulawesi Utara dan Barito Utara di Kalimantan Tengah—masih melanjutkan gugatan hasil PSU ke Mahkamah Konstitusi (MK), dengan potensi bertambahnya daerah penggugat dari PSU tahap akhir April lalu.

Yang menarik, sebagian gugatan justru menyentuh isu baru yang sebelumnya tidak pernah dipersoalkan, seperti keaslian ijazah calon kepala daerah. Hal ini memunculkan kekhawatiran akan penyalahgunaan jalur hukum demi kepentingan politik, serta potensi pemborosan anggaran negara.

Isu Ijazah Jadi Fokus Baru Sengketa

Jeirry Sumampow, Koordinator Komite Pemilih Indonesia (TePI), dalam diskusi publik bertajuk “Menjaga Marwah MK: Independen, Konsisten, dan Efisien dalam Menangani Sengketa Pilkada Pasca PSU”, mengungkapkan bahwa ada kekhawatiran serius terhadap materi gugatan yang bergeser dari pokok hasil pemilu ke persoalan administratif calon.

Baca juga: Banding Dikabulkan, Hukuman Guru Besar Unhas, Prof Dr Marthen Napang Naik Jadi 3 Tahun Penjara 


“Khusus di Talaud, gugatan kini menyasar dugaan ijazah palsu. Penggugat mempertanyakan apakah calon bupati benar-benar memiliki ijazah asli atau hanya menggunakan legalisir. Padahal, secara aturan, legalisir sudah cukup saat pendaftaran di KPU,” ujar Jeirry di Jakarta, Sabtu (10/5/2025).

Ia menambahkan, “Jika isu seperti ini terus diangkat setelah PSU selesai, maka kita bisa terus-terusan masuk ke siklus PSU tanpa akhir. Ini berisiko mengacaukan kepastian hukum, menguras anggaran, dan mengganggu jalannya pemerintahan di daerah.”

Tantangan Bagi MK, Menjaga Efisiensi dan Keadilan

Dalam diskusi yang juga dihadiri oleh para pakar pemilu dan aktivis masyarakat sipil seperti Ray Rangkuti (Lima Indonesia), Yusfitriadi (Visi Nusantara Maju), Jojo Rohi (KIPP), Roy Salam (Indonesia Budget Center), Rafih Sri Wulandari (Univ. Langlang Buana), dan Abhan (mantan Ketua Bawaslu RI), disepakati bahwa Mahkamah Konstitusi harus semakin selektif dalam memproses gugatan Pilkada.

Baca juga: Kasus Kriminalisasi Tony Budidjaja, Todung Mulya Lubis: Ini Teror Terhadap Profesi Advokat dan Lembaga Peradilan


Jeirry menekankan tiga hal penting yang patut menjadi perhatian MK:

  1. Kepastian hukum, agar proses Pilkada tidak terus-menerus terganggu oleh sengketa berulang.
  2. Efisiensi anggaran, mengingat biaya PSU tidak kecil dan anggaran negara terbatas.
  3. Kepastian pemerintahan daerah, karena berkepanjangan sengketa bisa mengganggu pelayanan publik dan pembangunan.

“MK harus bisa menilai apakah gugatan yang masuk memang menyangkut substansi pemilu atau hanya upaya untuk menjegal lawan secara administratif setelah kalah,” ujarnya.

Baca juga: MK Tolak Gugatan Pilkada Tapanuli Utara, Kuasa Hukum Paslon Nomor 1 Kecewa


Menanti Putusan MK 14 Mei

Sidang putusan untuk dua daerah yang masih bersengketa, yakni Barito Utara dan Talaud, dijadwalkan berlangsung pada 14 Mei 2025. Masyarakat kini menunggu langkah Mahkamah Konstitusi: apakah akan menegaskan kepastian hukum atau membuka peluang PSU jilid selanjutnya?

Yang jelas, publik berharap MK tetap menjadi lembaga yang independen dan konsisten dalam menjaga integritas pemilu—bukan hanya sebagai tempat akhir sengketa, tapi juga sebagai pengawal demokrasi.

(Vic)

Be the first to comment

Tinggalkan Balasan