MPK Ungkap Skenario Suram Pasca Putusan MK: 40% Sekolah Kristen ‘Struggling’ Terjepit Dilema Subsidi Negara

Ancaman Kepunahan Sekolah Swasta Minoritas di Balik Anggaran Jumbo 

Ketua Umum Majelis Pendidikan Kristen (MPK), Handi Irawan D., MBA., M.Com

Jakarta, IndonesiaVoice.com – Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) per 27 Mei 2025 yang mewajibkan negara membiayai sekolah dasar (SD) dan menengah pertama (SMP) swasta hingga bebas pungutan biaya (sekolah gratis) ternyata menimbulkan kekhawatiran serius. 

Alih-alih menjadi solusi, Ketua Umum Majelis Pendidikan Kristen (MPK), Handi Irawan D., MBA., M.Com., mengungkapkan bahwa implementasi putusan ini tanpa skema juknis (petunjuk teknis) yang tepat justru berpotensi mematikan ribuan sekolah swasta minoritas.

Dalam Webinar Nasional MPK “Meneropong Tata Kelola & Postur Anggaran Pendidikan di Masa Mendatang,” Handi Irawan memaparkan bahwa juknis implementasi putusan MK—yang saat ini masih tertahan di Kementerian Keuangan dan Bappenas—akan menjadi penentu hidup atau matinya sekolah kategori D dan E, terutama di daerah 3T.


Baca juga: Revisi UU Pangan 2012, JPPN Desak Hentikan Impor & Sanksi Pidana Alih Lahan 

Ancaman Nyata: 40% Sekolah Kristen Terancam Tutup

MPK, yang menaungi lebih dari 520 yayasan pendidikan Kristen dengan total 7.000 unit sekolah, telah mengkategorikan kondisi sekolah anggotanya:

  • Grade A/B (30%): Sekolah mapan (SPP > Rp 700 ribu, Gaji Guru UMR/di atasnya). Mampu bertumbuh tanpa Putusan MK.
  • Grade C (30%): Sekolah stagnan (SPP Rp 300-700 ribu, Gaji Guru di bawah UMR). 10% diperkirakan tutup dalam 10 tahun ke depan.
  • Grade D/E (40%): Sekolah yang struggling dan declining (SPP bahkan di bawah Rp 200 ribu, gaji guru seringkali di bawah Rp 1 juta, banyak di Nias, Papua, NTT, dan Maluku).



Baca juga: Penganugerahan 10 Pahlawan Nasional, Dr John Palinggi Serukan Untuk Akhiri Pertikaian dan Berdamai Dengan Sejarah

Dilema Juknis MK 

Berdasarkan bocoran kajian internal dari Ditjen PAUD Dikdasmen, Handi Irawan D. mengungkapkan perkiraan batas cut-off sekolah yang akan disubsidi penuh oleh negara:

Kajian dari Dikdasmen pun ternyata tidak jauh dari apa yang disarankan oleh MPK. Sekolah-sekolah yang SPP-nya di bawah Rp 200 ribu per bulan… mereka akan sangat sulit untuk survive [tanpa subsidi].”

Ini melahirkan skenario kritis pasca-implementasi juknis:

Kategori SekolahSPPOpsi dan Dampak
A & B> Rp 700.000Akan memilih memungut SPP dan menolak subsidi penuh negara (hanya menerima BOS/PIP).
D & E< Rp 200.000Akan memilih tidak memungut SPP. Berharap gaji guru dan biaya operasional ditanggung pemerintah.
C (Posisi Sulit)Rp 300.000 – Rp 700.000Sulit berkembang. Mereka tidak masuk kriteria sekolah gratis (SPP terlalu tinggi) tetapi juga kesulitan bersaing finansial. Terjepit di tengah persaingan mutu dan biaya.

Saya sungguh berharap kalau tahun depan… pemerintah punya uang Rp 20 triliun saja. Saya yakin banyak sekolah D dan E dari sekolah Kristen yang ada di Maluku, di Papua, [dan 3T lainnya] akan tertolong,” kata Handi, menyiratkan bahwa kebutuhan dana untuk menyelamatkan sekolah struggling ini jauh lebih kecil dari alokasi program prioritas baru.


Baca juga: Ridwan Manurung: Protap Jadi Korban, Provinsi Lain Dapatkan ‘Jalur Khusus’ 

Anomali Kedua: Dana BOS yang Tidak Berkeadilan

Selain masalah juknis MK, MPK juga menyoroti kelemahan struktural dalam pendanaan pendidikan: Dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) yang belum berkeadilan.

Saat ini, disparitas alokasi Dana BOS antar daerah (per siswa) hanya berkisar 2 hingga 2,5 kali lipat antara yang terendah dan tertinggi. Padahal, studi MPK—bekerja sama dengan Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan (PSPK)—menggunakan data asli IKK dan Purchasing Power Parity (PPP) menunjukkan perbedaan riil:

  • IKK Murni: Indeks Biaya Pendidikan (IBP) di daerah tertentu, seperti Papua, Sangihe Talaud, atau Nias, seharusnya mencapai 5 hingga 6 kali lipat dibandingkan daerah dengan nilai IKK rendah.
  • Normalisasi Algoritma: Dikdasmen ternyata menggunakan algoritma normalisasi yang memangkas disparitas IKK. Akibatnya, daerah 3T yang paling membutuhkan (karena SPP rendah dan biaya hidup tinggi) tidak mendapatkan alokasi BOS yang proporsional.

Seandainya mereka menggunakan IKK perhitungan murni, mestinya beberapa tempat seperti Papua… harusnya mereka bisa mendapatkan 4 kali lipat dibandingkan dengan rata-rata,” kritik Handi.

MPK berkomitmen untuk mendorong kajian akademis agar Ditjen Dikdasmen mengubah algoritmanya. Sebab, jika sekolah swasta ini tutup, negara harus hadir membangun sekolah baru, yang biayanya jauh lebih besar daripada sekadar membantu operasional sekolah yang sudah memiliki gedung dan infrastruktur.



Baca juga: Usulkan Gugat Massal (Class Action), Dr. JS Simatupang Ungkap Jalan Hukum Membongkar ‘Aib’ TPL

Wajib Belajar 13 Tahun & Peringatan Krisis Guru PAUD

Handi Irawan D. juga menyinggung poin krusial dalam Rancangan UU Sisdiknas yang sedang diperjuangkan Komisi X DPR: perluasan wajib belajar dari 9 tahun menjadi 13 tahun (termasuk TK/PAUD satu tahun, 9 tahun pendidikan dasar, dan 3 tahun menengah).

Perluasan wajib belajar ini, jika disahkan, akan memicu krisis baru di lingkungan sekolah swasta. Handi menyerukan gereja dan yayasan Kristen untuk segera membangun banyak PAUD.

Akan terjadi seperti tahun 2009 ketika budget semakin besar… nanti banyak guru-guru Kristen dari Guru Sekolah Minggu yang diambil [ke PAUD negeri atau swasta lain] karena mereka mendapatkan kompensasi yang lebih baik,” ia memperingatkan, sambil mendorong kerja sama dengan FKIP untuk mencetak guru PAUD Kristen berkualitas.

Secara keseluruhan, pemikiran MPK menegaskan bahwa masalah utama pendidikan Indonesia bukan lagi soal ketersediaan dana (20% APBN), melainkan kemauan politik untuk memastikan dana tersebut terimplementasi secara fokus (khusus Dikdasmen/Dikti) dan berkeadilan (melalui algoritma BOS yang jujur), sehingga Putusan MK dapat menjadi berkat, bukan ancaman, bagi sekolah yang paling struggling.

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*