
IndonesiaVoice.com – Pada siang yang cerah, di bawah kubah langit Auditorium Grha William Soeryadjaya, Universitas Kristen Indonesia (UKI) Jakarta, suara yang teduh namun tegas mengalun dari podium kehormatan.
Prof. Dr. Aarce Tehupeiory, S.H., M.H., menapaki puncak karier akademiknya dengan menyampaikan orasi ilmiah bertajuk “Formula Kebijakan Pencegahan dan Pemberantasan Kasus-kasus Tanah untuk Pembangunan Kepentingan Umum” dalam pengukuhannya sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Hukum Agraria dan Pertanahan pada 24 Juni 2025.
Dalam orasinya yang kental dengan semangat keadilan dan kemanusiaan, Prof. Aarce tidak sekadar membentangkan teori.
Ia memulai dari kenyataan getir pembangunan infrastruktur yang kerap berbenturan dengan hak-hak tanah masyarakat, khususnya tanah hak milik dan tanah ulayat yang seringkali dikorbankan atas nama “kepentingan umum”.
Baca juga: Kisah Inspiratif Profesor Aarce Tehupeiory, Dari Saparua hingga Guru Besar Hukum Agraria
“Tanah bukan sekadar lahan kosong, tapi sumber kehidupan dan identitas bagi masyarakat. Ketika tanah dirampas tanpa keadilan, bukan hanya harta yang hilang, tetapi juga harga diri,” ujarnya dengan suara bergetar namun penuh keyakinan.
Data yang disajikan dalam paparannya mengejutkan. Konflik agraria yang berkaitan dengan pembangunan umum terus meningkat: 212 kasus pada 2022, 241 kasus pada 2023, dan melonjak menjadi 295 kasus di tahun 2024.
Provinsi seperti Jawa Barat, Sumatera Utara, dan Kalimantan Barat mencatatkan konflik terbanyak, banyak diantaranya melibatkan kriminalisasi pejuang hak atas tanah.
Prof. Aarce menjelaskan bahwa tumpang tindih sertifikat tanah, lemahnya koordinasi antar lembaga, hingga praktik mafia tanah yang melibatkan oknum aparat menjadi biang kerok utama.
Baca juga: Gelar 70 Orasi Ilmiah Nonstop Terlama, UKI Diganjar Rekor Dunia MURI
Ia menyebut penguatan digitalisasi pertanahan melalui sertifikat elektronik sebagai langkah penting, namun belum cukup.
“Tanpa perlindungan hukum yang komprehensif dan sistem pengawasan independen, digitalisasi justru bisa menjadi ladang baru kejahatan,” tegasnya.
Mengutip filsuf keadilan John Rawls, Prof. Aarce menegaskan bahwa hanya melalui keadilanlah sebuah bangsa bisa berdiri tegak.
Ia mengusulkan formula kebijakan berbasis pada keadilan substantif—meliputi penguatan regulasi, pembentukan lembaga khusus anti-mafia tanah, penerapan teknologi blockchain untuk transparansi data, hingga partisipasi aktif masyarakat dalam setiap proses pengadaan tanah.
Baca juga: Konflik Agraria di Tanah Batak, Kedurhakaan TPL terhadap Bangso Batak di Tanah Batak
Lebih dari itu, ia menggugah empati hadirin dengan menyuarakan perlindungan hak tanah bagi perempuan dan masyarakat adat.
“Terlalu lama kelompok marginal jadi korban. Sudah saatnya negara hadir dengan keberpihakan,” katanya lantang, menggetarkan ruang auditorium.
Orasi ilmiah ini bukan sekadar rutinitas akademik, tetapi refleksi mendalam dari perjuangan panjang seorang akademisi yang juga aktivis keadilan sosial.
Prof. Aarce—yang telah menulis belasan buku dan memimpin berbagai riset tentang agraria—menyimpulkan bahwa penyelesaian kasus tanah bukan hanya soal hukum, tetapi soal moralitas negara dalam menegakkan keadilan sosial.
Orasinya ditutup dengan ucapan syukur dan dedikasi kepada keluarga, mentor, rekan sejawat, dan seluruh pihak yang telah membersamainya dalam perjalanan panjang meraih gelar Guru Besar.
“Saya percaya,” tuturnya dengan mata berkaca-kaca, “adil bukan karena kita mengerti keadilan, tapi karena kita terbiasa bertindak adil.”
Baca juga: Perampasan Tanah dan Kriminalisasi Warga di Kawasan Danau Toba
Suasana hening sesaat, lalu gemuruh tepuk tangan menggelegar, seolah menjadi saksi bahwa hari itu bukan sekadar pelantikan, melainkan kelahiran suara hati bangsa—suara seorang Guru Besar yang menjadikan hukum sebagai ladang pelayanan bagi sesama.
(Victor)
Be the first to comment