
Jakarta, IndonesiaVoice.com – Ketika sejarah lisan bertemu dengan kebutuhan akan bukti tertulis, sebuah perdebatan penting tentang narasi kepahlawanan Batak kembali mengemuka.
Di jantung perbincangan tersebut, berdiri tegak sosok Raja Sijorat VIII, pemimpin legendaris dari Toba Habinsaran yang keberaniannya membakar semangat perlawanan terhadap penjajah Belanda.
Upaya serius untuk mengangkat kembali dan menguji kisah Raja Sijorat VIII dilakukan melalui Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan oleh Tarnama Institute dan Forjuba (Forum Jurnalis Batak) di Kampus Universitas Mpu Tantular, Jakarta, Senin (6/10/2025).
Pertemuan ini bukan sekadar diskusi, melainkan langkah awal menuju seminar besar pada 28 Oktober 2025 untuk memastikan kisah perjuangan ini terukir abadi.
Pemimpin yang Menantang Maut dengan Maklumat Perang
Raja Sijorat VIII adalah ikon keteguhan. Perjuangannya, yang tercatat sejak Maret 1878 hingga wafatnya Raja Sisingamangaraja XII pada 1907, adalah babak penting dalam sejarah perlawanan Tapanuli.
Ia adalah pemimpin yang tak hanya melindungi tanah leluhur, tetapi juga menjunjung tinggi adat istiadat dan budaya Batak.
Kisah paling memukau dari perjuangannya adalah Maklumat Perang (Oorlog Verklaring) pada 24 Agustus 1883.
Setelah memimpin 2000 pasukannya—termasuk 20 penasihat militer suku Aceh—menyerang benteng Belanda di Simanangking Laguboti, ia mengirimkan pesan nantang tersebut.
Baca juga: HUT TNI ke-80, Dr. John Palinggi: TNI Prima dan Rakyat Bersatu Demi Indonesia Maju
Bukan di atas kertas mewah, melainkan tertulis di sekerat bambu dan digantung di pohon dekat tangsi Belanda. Pesan dalam bahasa Batak itu adalah deklarasi perang habis-habisan.
Maklumat ini membuktikan keberanian yang melampaui logika militer. Meskipun perlawanan sengit di Sitorang akhirnya dipadamkan Belanda dengan pembakaran huta (desa) dan kekalahan tak terhindarkan akibat ketidakseimbangan senjata, Raja Sijorat VIII menolak menyerah.
Ia meloloskan diri dan melanjutkan perlawanan melalui perang gerilya di Habinsaran, bahkan menggunakan strategi gerakan bawah tanah yang cerdik dengan memanfaatkan agama Parmalim.
Baca juga: Dr John Palinggi: Melayani Rakyat Bukan Bergaya Raja, Tantangan Menteri Dibawah Kepemimpinan Prabowo
Dilema Sejarah, Antara Oral Story dan Artefak
Dalam FGD yang dibuka oleh Ketua Tarnama Institute, Budi Sinambela, para pembicara—akademisi Dr. Petrus Panjaitan, Jurnalis Ch. Robin Simanullang, dan perwakilan Keluarga Raja Sijorat, Drs. Ludin Panjaitan—menyoroti tantangan terbesar dalam memformalkan kisah pahlawan Batak.
Drs. Ludin Panjaitan, yang memaparkan detail perjuangan, dengan tegas mengusulkan Raja Sijorat VIII sangat layak diangkat sebagai Pahlawan Nasional.
Namun, Dr. Petrus Panjaitan menyentuh inti perdebatan. Ia menekankan bahwa penulisan sejarah, termasuk kisah Panjaitan sendiri, memerlukan referensi alat bukti sejarah atau artefak yang kuat, bukan hanya oral story (sejarah lisan).
Jurnalis senior Ch. Robin Simanullang, penulis buku Hita Batak: A Cultural Strategy, mengakui kelemahan historis masyarakat Batak: walaupun memiliki aksara dan ribuan Pustaha Laklak (kitab Batak kuno), hampir tidak ada yang mencatat sejarah secara detail. “Tarombo pun tidak ditemukan dalam ribuan Pustaha Laklak,” ujarnya prihatin.
Baca juga: St Berlin Sihaloho Resmi dilantik Sebagai Ketua DPD PPRSI SeJabodetabek 2025-2029
Namun, Robin memberikan solusi inspiratif: budayakan penulisan sejarah tokoh Batak, sekalipun dimulai dari oral story. Ia mengutip praktik Amerika Serikat yang telah menggalang penulisan sejarah berbasis lisan sejak 1960-an.
Baginya, keunggulan orang Batak dalam penuturan nilai-nilai lisan adalah modal berharga yang harus segera diangkat menjadi narasi tertulis.
FGD ini menjadi pengingat yang kuat: perjuangan Raja Sijorat VIII tidak hanya tentang pertempuran fisik, tetapi juga tentang perjuangan budaya dan narasi.
Dengan menggabungkan ingatan lisan yang kaya dan pencarian bukti fisik yang gigih, kisah pahlawan seperti Raja Sijorat VIII akan menemukan tempat terhormatnya, tidak hanya sebagai catatan sejarah lokal, tetapi sebagai inspirasi nasional yang terus membakar semangat juang generasi penerus.
Be the first to comment