
IndonesiaVoice.com – Malam itu, Sabtu (12/7/2025), Restaurant Golden Leaf di Kelapa Gading, Jakarta Utara, bermandikan cahaya kehangatan.
Bukan sekadar perayaan ulang tahun biasa, melainkan sebuah penanda perjalanan panjang seorang tokoh yang hidupnya mengalir seperti sungai, membentuk alur dan memberi kehidupan bagi sekitarnya.
Robert Sitorus, Ketua Umum Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) masa bakti 1986-1988, merayakan ulang tahunnya yang ke-70, sekaligus meluncurkan sebuah biografi yang merangkum tujuh dekade pengabdian: “70 Tahun Robert Sitorus, Hidup Yang Mengalir.”
Buku ini, bukan sekadar untaian kata, melainkan sebuah cermin yang memantulkan perjalanan epik Robert Sitorus.
Dari belantara Sumatera Utara, kampung halamannya, hingga gemerlap Jakarta yang menjadi medan juangnya, setiap lembar mengisahkan liku-liku hidup yang penuh dedikasi.
Baca juga: Pelantikan BPN PIR 2024-2029, Sihar Sitorus Ajak Kembali ke Titik Nol di Sibisa
Kado Inspirasi dan Cermin Organisasi
Sahat HMT Sinaga, mewakili keluarga, tak bisa menyembunyikan rasa bangga. “Ini kado kami dari keluarga kepada abang kami yang telah memberikan inspirasi dan teladan bukan hanya kepada keluarga tetapi juga kepada komunitas GMKI,” ujar Sahat, suaranya sarat makna.
“Inspirasi itu, yang selama ini mengalir dalam bentuk teladan nyata, kini lebih terstruktur dan bisa dibaca banyak orang melalui buku,” tambahnya.
Buku ini bukan hanya untuk keluarga, melainkan juga untuk “rumah” besar yang turut membentuk Robert Sitorus yakni GMKI.
“Semoga buku ini bisa menjadi cermin bagi GMKI sekaligus tolak ukur bagi organisasi,” harap Sekretaris Jenderal Perkumpulan Senior GMKI ini, menggambarkan betapa relevannya kisah Robert sebagai panduan bagi generasi penerus.
Sebuah Biografi dalam Pusaran Sejarah
Lahir di Tarutung, Sumatera Utara, pada 8 Juli 1955, Robert adalah anak sulung dari tujuh bersaudara.
Ayahnya, seorang pensiunan tentara di masa pergolakan politik Indonesia, dan ibunya, pendamping setia, membentuk fondasi karakter Robert.
Hidupnya diwarnai perpindahan, mengikuti jejak dinas sang ayah mulai dari Tarutung ke Dairi, Porsea, Padangsidimpuan, hingga Gunungsitoli di Nias. Pada 1967, keluarga ini akhirnya menetap di Medan, kota yang menjadi saksi bisu awal mula pengabdiannya.
Di Medan, Robert menimba ilmu di Fakultas Teknik Sipil Universitas Sumatera Utara (USU), meraih gelar insinyur pada 1985.
Namun, kampus ini juga menjadi tempat ia menemukan panggilannya yang lain. Pada 1975, ia bergabung dengan GMKI Komisariat Teknik, lalu memimpin komisariat tersebut pada 1977, hingga puncaknya menjadi Ketua Cabang GMKI Medan pada 1981.
Baca juga: Kisah Inspiratif Profesor Aarce Tehupeiory, Dari Saparua hingga Guru Besar Hukum Agraria
Tahun 1986 menjadi tonggak penting. Dalam kongres GMKI di Palangkaraya, Robert Sitorus terpilih sebagai Ketua Umum GMKI.
Masa kepemimpinannya berlangsung di tengah gejolak politik Orde Baru, di mana Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 mewajibkan semua organisasi masyarakat (ormas) untuk mengadopsi Pancasila sebagai satu-satunya asas.
Di tengah tekanan ini, Robert berhasil menahkodai GMKI menghadapi dinamika internal, menjaga marwah organisasi tanpa kehilangan arah.
Usai mengabdi di GMKI, Robert merambah dunia profesional. Bergabung dengan PAM Jaya, lalu Palyja—mitra PAM Jaya dari Prancis—ia kembali dihadapkan pada tantangan.
Dinamika penolakan internal terhadap kerja sama dengan perusahaan asing, Palyja dan Thames PAM Jaya (TPJ) asal Inggris, berhasil ia atasi dengan kematangan dan visinya.
Baca juga: GAMKI: Menteri Agama Urus 30 Hektar Untuk Komplek Syariah, Gereja Sebidang Tanah Pun Sulit
Inovasinya tak berhenti di sana. Robert adalah pionir dalam standar keselamatan publik. Ia memulai era pemasangan pembatas dengan banner untuk mengisolasi lubang-lubang galian, memastikan keamanan masyarakat. Sebuah praktik yang kini menjadi standar diikuti berbagai pemilik utilitas.
Tak hanya itu, ia juga merintis “pengerjaan malam hari” untuk pemasangan jaringan pipa di jalan-jalan umum, sebuah langkah cerdas untuk menghindari kemacetan lalu lintas di jam kerja.
Dari Sahabat, Sebuah Pengakuan dan Harapan
Buku setebal 190 halaman ini, yang disusun oleh Alui Marundruri, Abrianto Lumbangaol, Rita Sitorus, dan Sahat HMT Sinaga, dengan tata letak Doni Butar Butar dan fotografer Renhard Manik, tidak hanya berisi kisah Robert.
Ia juga memuat catatan dari 22 sahabat yang melukiskan kesan dan pengalaman mereka bersama sang tokoh.
Baca juga: Keterbukaan Informasi Pengadaan Barang dan Jasa DKI: Antara Digitalisasi, Kejujuran, dan Keadilan
Yasonna Laoly, mantan Menteri Hukum dan HAM sekaligus anggota DPR RI dan senior GMKI, dalam kata sambutannya memuji terbitnya buku ini.
“Buku ini berguna untuk semakin mendorong budaya menulis dan menerbitkan buku sehingga memberikan dampak positif bagi masyarakat, terutama kepada generasi yang lebih muda,” kata Yasonna.
Baginya, kiprah Robert di GMKI, dunia profesional, hingga keterlibatannya di Lembaga Keumatan Kristen, adalah kisah yang layak dibukukan sebagai inspirasi.
Di antara para penulis catatan sahabat, terdapat nama-nama besar seperti Didiet Haryadi Priyohutomo (mantan Direktur PAM Jaya dan Ketua Umum KNPI), Pendeta Martin Lukito Sinaga, Rekson Silaban (aktivis perburuhan dan mantan Dewan Pengawas BPJS Ketenagakerjaan), Immanuel Blegur (mantan Ketua Umum GMKI), Brigjen TNI (purn) dr. Alex Ginting (mantan anggota tim dokter kepresidenan), Hakim Konstitusi Daniel Yusmic FoEkh, Sigit Triyono (Sekretaris Umum Lembaga Alkitab Indonesia), Pendeta Liesje Sumampow (mantan Ketua Umum Gereja Protestan di Indonesia), dan Febry C. Tetelepta (Ketua Umum Pengurus Nasional Perkumpulan Senior GMKI).
Setiap kisah, setiap testimoni, menegaskan satu hal bahwa Robert Sitorus adalah pribadi yang mengalirkan inspirasi.
Biografinya bukan hanya tentang angka 70, melainkan tentang perjalanan hidup yang kaya makna, mengajarkan tentang ketekunan, integritas, dan semangat untuk memberi. Sebuah “hidup yang mengalir” tak hanya untuk dirinya, tetapi untuk kebaikan bersama.
Be the first to comment