DPR DIBOHONGI? Jejak Janji Palsu TPL di Hadapan Wakil Rakyat dan Penderitaan Masyarakat Adat

tpl toba pulp lestari
DPR DIBOHONGI? Jejak Janji Palsu TPL di Hadapan Wakil Rakyat dan Penderitaan Masyarakat Adat

Jakarta, IndonesiaVoice.com – Di tengah hiruk pikuk kawasan Tano Batak, borok konflik agraria yang melibatkan raksasa pulp, PT Toba Pulp Lestari (TPL), terus menganga. 

Siaran Pers kritis dari Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) bertajuk “Tanah yang Luka, Iman yang Bangkit” yang dirilis pada 20 Oktober 2025, membongkar dugaan pola kekerasan, pengabaian janji, dan pengkhianatan terhadap nilai kemanusiaan yang terjadi di Desa Sihaporas, Kabupaten Simalungun.

Kasus ini mencuat tajam ke permukaan pasca Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi III DPR RI pada 5 Oktober 2025, yang secara spesifik menyoroti dugaan pelanggaran HAM oleh TPL terhadap masyarakat Lamtoras Sihaporas. 

Namun, alih-alih mereda, konflik justru memanas dengan pola eskalasi yang mengkhawatirkan.


Baca juga: Rakernas FORKONAS PP DOB 2025, Dr. JS Simatupang: “Pemekaran Bukan Politik, Tapi Pelayanan untuk Rakyat” 

Strategi Menghancurkan Sumber Hidup

Laporan dari Ephorus HKBP, Pdt Dr Victor Tinambunan, menggambarkan secara rinci tindakan brutal yang diduga dilakukan oleh TPL pada 22 September 2025. 

Konflik pecah saat perusahaan memaksakan penanaman di lahan yang diklaim sebagai pertanian masyarakat adat.

Ratusan orang (yang diduga preman) dan sekuriti PT TPL dikerahkan untuk menghadang warga yang mempertahankan tanah kehidupan mereka. Aksi tersebut tidak berhenti pada kekerasan fisik,” ungkap Ephorus HKBP.

Puncaknya adalah strategi sistematis yang diduga merusak sendi ekonomi masyarakat: perusakan akses jalan menuju ladang


Baca juga: Menggali Potensi Raja Sijorat VIII sebagai Pahlawan Nasional di Tengah Dilema Oral Story

TPL dituding menggali tanah hingga membentuk “kubangan sedalam sekitar tujuh meter.” 

Ini adalah sebuah tindakan yang bukan sekadar sengketa lahan biasa, tetapi diduga sebagai upaya terencana untuk memutus jalur logistik dan sumber penghidupan warga.

Akibatnya, masyarakat kehilangan jalur menuju sumber penghidupan mereka sendiri. Tindakan ini bukan hanya melukai tanah, tetapi juga mencederai martabat manusia,” tegas Pdt Dr Victor.


Baca juga: Dr John Palinggi: Melayani Rakyat Bukan Bergaya Raja, Tantangan Menteri Dibawah Kepemimpinan Prabowo

Janji Palsu di Hadapan Wakil Rakyat

Tindakan perusakan ini semakin diperparah dengan pengingkaran janji yang terekam jelas di forum negara. 

Setelah RDP Komisi III DPR RI, Direktur PT TPL, Jandres Silalahi, disebut berjanji untuk segera memperbaiki jalan yang rusak tersebut.

Namun, investigasi lanjutan HKBP membuktikan sebaliknya. Janji itu tidak kunjung ditepati. 

Sebagai respons kepedulian, pada 18 Oktober 2025, sebuah “Sekretariat Bersama (Sekber) untuk Keadilan Ekologi” yang melibatkan lebih dari 500 orang dari berbagai elemen gereja (HKBP, HKI, Katolik), mahasiswa, dosen, dan Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) seperti AMAN Tano Batak, melakukan aksi gotong royong memperbaiki lubang jalan tersebut.


Baca juga: St Berlin Sihaloho Resmi dilantik Sebagai Ketua DPD PPRSI SeJabodetabek 2025-2029

Fakta ironis kembali terjadi: “pada malam hari setelah perbaikan dilakukan, PT TPL kembali merusak jalan tersebut.”

Tindakan ini, menurut HKBP, bukan lagi sekadar pelanggaran etika korporasi, tetapi sebuah “pengingkaran terhadap upaya kemanusiaan dan iman yang tulus.” 

Hal ini menimbulkan pertanyaan besar: mengapa perusahaan berani secara terbuka mengabaikan janji yang disampaikan langsung di hadapan wakil rakyat? Apakah ada impunitas yang melingkupi operasional TPL?


Baca juga: Toraja, Rumah Para Leluhur: Tradisi yang Menyapa Lewat Lensa

Penyalahgunaan Otoritas Modal

Laporan ini secara keras mengkritik praktik bisnis TPL yang dianggap telah berlangsung sejak 1980-an, mengklaim konsesi di wilayah yang telah didiami masyarakat adat jauh sebelum kemerdekaan Indonesia.

Inti dari seruan HKBP adalah kritik terhadap “otoritas modal” yang dianggap lebih berkuasa daripada hukum dan kemanusiaan. 

HKBP menuduh adanya “pembiaran dan pengabaian (by omission) penderitaan masyarakat kecil di tengah eksploitasi alam yang menguntungkan perusahaan (modal).”


Baca juga: DJP Perkokoh Semangat Kemerdekaan dengan Doa Bersama Lintas Agama, Tapi Publik Menunggu Bukti Nyata dalam Penerimaan Negara

Laporan ini secara tegas meminta pertanggungjawaban negara:

  1. Pemerintah harus hadir untuk melindungi, menghormati, dan menghargai Hak Asasi Manusia.
  2. Keadilan harus ditegakkan, dan janji harus ditepati.
  3. Konflik TPL, yang memperoleh konsesi hingga 610.912 hektar di berbagai kabupaten, harus ditinjau ulang secara mendalam.



Baca juga: Panggilan Iman Serukan Tutup TPL: Doa, Hukum, dan Ekonomi Menyatu untuk Danau Toba yang Luka 

Mengutip Kitab Amos, HKBP menutup seruannya dengan sebuah ultimatum spiritual sekaligus tuntutan keadilan hukum: “Biarlah keadilan bergulung-gulung seperti air dan kebenaran seperti sungai yang selalu mengalir.”

Kasus Sihaporas adalah refleksi tragis bahwa di wilayah yang kaya akan budaya dan alam, tanah masih menjadi medan pertempuran antara kekuatan korporasi dengan masyarakat adat, sebuah konflik yang terus menuntut intervensi tegas dari negara yang selama ini dituding abai.

#TutupTPL #KonflikTPL #TanahAdatLawanTPL #HKBPBersamaRakyat #PelanggaranHAM #SihaporasMelawan #SaveTanoBatak

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*