Ahmadiyah Disegel, Gereja Ditolak, Masjid Terganjal, Presiden Jangan Acuh Tak Acuh

Tren yang mengkhawatirkan ini bukan isapan jempol. Pada tahun 2024, di awal pemerintahan Prabowo, tercatat 260 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) dengan 402 tindakan.

intoleransi beragama
Api Intoleransi Kian Membara, SETARA Institute Desak Presiden Prabowo Bertindak Tegas

IndonesiaVoice.com – Enam bulan pasca-pelantikan Presiden Prabowo Subianto, genderang intoleransi di Indonesia justru kian nyaring.

Demikian alarm bahaya yang dibunyikan oleh SETARA Institute, sebuah lembaga riset dan advokasi hak asasi manusia, dalam siaran pers terbarunya hari ini.

Data yang mereka paparkan bukan sekadar angka; ia adalah cermin buram dari janji konstitusi yang terancam karam di tengah gelombang diskriminasi yang tak kunjung surut.

Tren yang mengkhawatirkan ini bukan isapan jempol. Pada tahun 2024, di awal pemerintahan Prabowo, tercatat 260 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) dengan 402 tindakan.

Baca juga: SETARA Tolak Keppres 17/2022 Terkait Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu, Ini Alasannya 

Angka ini melonjak signifikan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, menunjukkan kemunduran nyata dalam persoalan KBB.

“Kenaikan ini menunjukkan bahwa terjadi kemunduran dalam persoalan KBB,” tegas SETARA Institute.

Wajah Intoleransi di Berbagai Penjuru Nusantara

Kasus Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Kota Banjar, Jawa Barat, menjadi salah satu sorotan utama.

Masjid Istiqamah milik JAI didatangi oleh Tim Penanganan yang diketuai Kepala Kemenag Kota Banjar, beranggotakan sekitar 30 orang, dengan maksud menyegel kembali masjid tersebut.



Baca juga: Hukuman Teroris Diringankan, Setara Institute Pertanyakan Hakim yang Tidak Berpihak Korban

Mereka bahkan memberikan batas waktu hingga Selasa, 9 Juni 2024, untuk mengosongkan masjid, mendasarkan diri pada Perwali No. 10 Tahun 2011 tentang Pembekuan Aktivitas JAI di Kota Banjar.

Padahal, Perwali ini mengacu pada Pergub Jabar No. 12 Tahun 2011 yang telah direkomendasikan Kemenkumham RI untuk dicabut karena melanggar HAM.

Tak hanya itu, Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri No. 3 Tahun 2008 juga dijadikan dasar hukum untuk diskriminasi terhadap Ahmadiyah.

Namun, Banjar hanyalah satu dari sekian banyak potret pilu. Awal Juni ini, Rektor IAIN Manado membatalkan agenda bedah buku “Menyingkap Tabir Kebenaran Ahmadiyah” setelah mendapat tekanan dari MUI Kota Manado dan Provinsi Sulawesi Utara.



Baca juga: Pernyataan Presiden Prabowo Terhadap LSM Disesalkan, Dinilai Ancam Kebebasan Sipil

“Pembatalan ini menunjukkan betapa lemahnya perlindungan negara hak konstitusional untuk beribadah dan kebebasan berekspresi,” kritik SETARA Institute.

Jauh sebelumnya, pada Mei 2025, warga Samarinda kembali menolak pendirian Gereja Toraja Kelurahan Sungai Keledang.

Ketegangan sosial ini mengemuka menyusul munculnya spanduk-spanduk penolakan di beberapa titik strategis, termasuk di bawah Flyover Jembatan Mahakam IV dan dekat Kantor Kelurahan.

Di sisi lain, proses pendirian Masjid Al-Muhajirin di Tomohon masih terhambat sejak 2021, dengan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) yang belum mengeluarkan rekomendasi, meskipun Kemenag setempat telah menyepakatinya.

Baca juga: Anak SD Tewas Akibat Intoleransi, Alarm Merah untuk Penegakan Pancasila di Sekolah



Seruan Tegas: Presiden Jangan Acuh Tak Acuh!

“Pemerintah harus mengambil tindakan yang diperlukan untuk menjamin hak konstitusional atas kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB),” tegas SETARA Institute.

Mereka khawatir bahwa tindakan diskriminatif dan pelanggaran KBB ini mengganggu stabilitas sosial-politik serta menghambat akselerasi pembangunan dan perwujudan Asta Cita Presiden Prabowo.

SETARA Institute mendesak Pemerintah Pusat untuk segera turun tangan menuntaskan pelanggaran KBB, termasuk kasus JAI Banjar, Tomohon, Samarinda, dan berbagai kasus intoleransi lainnya.

“Pemerintah jangan diam saja melihat sekelompok warga negara menjadi korban dari menguatnya mayoritarianisme, dimana mayoritas memaksakan kehendaknya untuk membatasi hak-hak minoritas,” seru mereka, mengingat Pasal 29 Ayat (2) UUD 1945 yang menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama dan beribadah sesuai keyakinannya.

Baca juga: Kriminalisasi Advokat, Dua Bulan Penjara untuk Sebuah Fitnah Tanpa Bukti



Lebih lanjut, mereka menuntut Presiden untuk tidak acuh tak acuh dan memerintahkan seluruh Kementerian/Lembaga terkait untuk menegakkan UUD 1945.

Ini termasuk meninjau ulang atau membatalkan Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama Nomor 90/80 Tahun 2006, SKB 3 Menteri Tahun 2008 tentang Peringatan terhadap JAI, serta produk hukum daerah turunannya.

Pembubaran Badan Koordinasi Pengawas Kepercayaan Masyarakat (Baporpakem) juga menjadi tuntutan.

Menteri Dalam Negeri RI juga didesak untuk mendisiplinkan Pemerintah Daerah terkait agar tidak melanggar hak konstitusional warga negara atas kemerdekaan beragama dan beribadah, mengingat agama merupakan yurisdiksi Pemerintah Pusat.

Baca juga: Rayakan Dies Natalis ke-27, Pascasarjana UKI Dorong Kesetaraan Masyarakat untuk Akses Pendidikan Bermutu



Terakhir, Menteri Agama RI diharapkan memobilisasi institusi vertikal Kantor Wilayah Agama di seluruh NKRI untuk bersikap toleran, tunduk pada Konstitusi, menjamin hak konstitusional kelompok agama minoritas, dan mewujudkan kerukunan antar umat beragama.

Mampukah pemerintahan Prabowo menghentikan laju intoleransi yang mengancam sendi-sendi kebangsaan ini?

Masa depan kebebasan beragama di Indonesia kini berada di tangan para pemegang kekuasaan.

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*