Polemik Royalti Musik, Dr Hulman Panjaitan: Bukan Sistem yang Salah, Acapkali Pura-Pura Tak Tahu

polemik royalti musik
Dr. Hulman Panjaitan, SH, MH, Pengamat Karya Cipta dan Lagu, ketika diwawancarai di Ruang Rektorat UKI Cawang, Jakarta, Sabtu (9/8/2025).

IndonesiaVoice.comPolemik royalti musik belakangan ini hangat diperbincangkan, terutama di kalangan pengusaha kafe dan restoran.

Adanya penindakan hukum terhadap beberapa pengusaha menimbulkan kebingungan dan pertanyaan besar mengenai sistem, regulasi, dan implementasi hak cipta di Indonesia.

Namun, menurut Pengamat Karya Cipta dan Lagu, Dr. Hulman Panjaitan, SH, MH, masalah mendasar bukanlah pada sistem atau perundang-undangan.

Sejak Undang-Undang No.6 tahun 1982 tentang Hak Cipta hingga UU No. 28 tahun 2014, aturan sudah jelas yaitu setiap orang yang menggunakan karya cipta orang lain untuk kepentingan komersial, baik langsung maupun tidak langsung, wajib meminta izin dari pencipta.


Baca juga: Pemekaran Parsial, Solusi Realistis di Tengah Moratorium, Dr. JS Simatupang: Provinsi Tapanuli Paling Siap

Hulman Panjaitan menegaskan, “Ini bukan masalah sistemnya yang kurang atau tidak benar, tapi lebih kepada kurangnya pemahaman atau bahkan acapkali pura-pura tidak tahu.”

Hak Ekonomi Pencipta dan Fungsi LMKN

Hak cipta dikategorikan sebagai “benda bergerak tidak berwujud” menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

“Penggunaan karya tanpa izin sama dengan pencurian, yang secara pidana dapat dihukum dan secara perdata dapat digugat ganti rugi,” tegas Hulman yang pernah menjadi Konsultan Yayasan Karya Cipta Indonesia selama lima tahun.

Menurutnya, undang-undang juga membagi hak ekonomi pencipta menjadi dua kategori besar. Pertama, Performing Rights (Hak Mengumumkan) yaitu tindakan yang membuat suatu ciptaan diketahui orang lain. Contohnya adalah memutar lagu di kafe, restoran, atau konser.


Baca juga: Dr John Palinggi Apresiasi Kebijakan Presiden Prabowo Beri Abolisi Tom Lembong dan Amnesti Hasto Kristiyanto

Kedua, Mechanical Rights (Hak Memperbanyak) yaitu tindakan membuat ciptaan lebih dari satu, seperti merekam atau menggandakan lagu untuk kepentingan komersial.

Lalu, disinilah peran Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). LMKN adalah lembaga yang memediasi dan memfasilitasi kepentingan pencipta dan pengguna karya.

Hulman menjelaskan, “Bayangkan jika setiap pengusaha harus mencari ahli waris pencipta untuk setiap lagu yang mereka putar? Sebab itulah difasilitasi oleh LMKN.”

Kewenangan LMKN untuk mengelola royalti ini diberikan langsung oleh undang-undang, yang membuatnya memiliki posisi lebih kuat dibandingkan Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) sebelum tahun 2014 yang kewenangannya hanya timbul dari surat kuasa perdata.


Baca juga: Patambor Jakarta Timur Bersatu, Jadi Barometer Persatuan Pomparan Manurung se-Indonesia

LMKN berhak menggunakan maksimal 20% dari total royalti yang dipungut untuk operasional, sementara 80% sisanya didistribusikan kepada para pencipta,” ujar Penulis Buku “Performing Right” yang diterbitkan oleh UKI Press ini.

Transparansi dan Keadilan Proporsional

Meskipun sistem telah ada, Hulman mengakui masih ada kekurangan, terutama terkait transparansi dan keadilan dalam distribusi royalti.

Sampai saat ini, belum ada instrumen atau indikator yang jelas untuk menentukan besaran royalti yang harus diterima pencipta. Akibatnya, banyak pencipta yang merasa pembagian royalti tidak adil.

Hulman mengusulkan, “Harus ada sistem yang mampu secara otomatis mendeteksi lagu siapa yang paling banyak digunakan di suatu tempat usaha. Dengan sistem ini, pembagian royalti akan lebih adil dan transparan.”


Baca juga: Panggilan Iman Serukan Tutup TPL: Doa, Hukum, dan Ekonomi Menyatu untuk Danau Toba yang Luka

Isu lain yang disoroti adalah kebijakan tarif royalti yang “dipukul rata” bagi semua pelaku usaha, termasuk UMKM. Menurut Dr. Hulman, ini tidak adil.

Keadilan harus bersifat proporsional, di mana besaran royalti disesuaikan dengan skala usaha,” tegas Eks Konsultan Royalti Musik Indonesia, khusus Dangdut ini.

Undang-undang sendiri menyatakan tarif royalti seharusnya didasarkan pada kesepakatan antara pengguna dan pencipta.

Oleh karena itu, asosiasi pengusaha dapat bernegosiasi dengan LMK untuk menetapkan tarif yang adil,” tambah Wakil Rektor UKI Bidang Akademik dan Inovasi ini.


Baca juga: Rentetan Kapal Tenggelam, Capt. Anthon Sihombing Minta Presiden Prabowo Evaluasi Dirjen Hubla Kemenhub

Batasan Royalti dan Revisi UU

Hulman juga meluruskan beberapa miskonsepsi umum. Pertama, terkait suara alam dan burung. Penggunaan suara alam atau kicauan burung tidak menjadi domain LMKN untuk memungut royalti. LMKN hanya berfokus pada karya musik dan lagu.

Namun, jika ada individu yang mempublikasikan rekaman suara tersebut sebagai sebuah karya cipta, maka individu tersebut bisa dianggap sebagai pencipta,” jelasnya.

Kedua, terkait Lagu Kebangsaan dan Milik Umum. “Lagu-lagu kebangsaan seperti ‘Indonesia Raya’ atau lagu yang masa perlindungan hak ciptanya telah habis (seumur hidup pencipta + 70 tahun setelah meninggal dunia) adalah milik umum. Penggunaannya, bahkan untuk tujuan komersial, tidak melanggar hak cipta dan tidak dikenakan royalti,” imbuh Hulman.

Ketiga, kegiatan nirlaba. Kegiatan yang tidak bersifat komersial dan tidak memungut biaya, seperti acara keagamaan atau peribadatan, tidak wajib membayar royalti.


Baca juga: Dr. John Palinggi: Jangan Perpanjang Polemik Ijazah Jokowi, Percayakan ke Hukum

Namun, jika acara tersebut memungut biaya (misalnya, tiket atau fundraising), maka wajib membayar royalti,” ucapnya.

Di akhir wawancara, Hulman mengungkapkan keprihatinannya terkait perubahan delik pelanggaran hak cipta dari “kejahatan biasa” menjadi “delik aduan” dalam UU Hak Cipta terbaru.

Perubahan ini membuat penegakan hukum menjadi sulit karena penyidik tidak dapat bertindak tanpa adanya aduan dari pencipta yang sebelumnya telah melakukan mediasi,” beber eks Tenaga Ahli Bidang Hak Cipta, baik di kepolisian maupun di pengadilan.

Melihat kondisi ini, Hulman menyarankan beberapa poin penting untuk revisi undang-undang, termasuk, pertama, menciptakan sistem yang lebih mudah untuk menghitung penggunaan lagu secara adil.


Baca juga: Audiensi dengan Bappenas, Ketum DPP PPPT JS Simatupang: Ada Celah Pemekaran Daerah dalam RPJMN Prabowo-Gibran

Kedua, memperkuat lembaga penyelesaian sengketa agar lebih berpihak pada pencipta. Ketiga, meningkatkan perlindungan hukum kepada pencipta secara keseluruhan.

Pencipta harus dilindungi, Tanpa pencipta, hidup kita akan gersang. Mari kita hargai dan berikan penghargaan yang layak atas karya intelektual mereka,” pungkas Hulman.

#RoyaltiMusik #HakCipta #LMKN #PolemikRoyalti #UMKMRoyalti #HukumMusik #Pengusaha #DrHulmanPanjaitan #KreatorMusik #IndustriMusikIndonesia #PenegakanHukum #AturanHakCipta

 

 

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*