Narasi Retret yang Ternoda, LBH Galaruwa Laporkan Kapolsek Cidahu hingga Kapolda Jabar ke Mabes Polri

Lembaga Bantuan Hukum Yayasan Galaruwa Nusantara Abadi (LBH YGNA)
LBH YGNA, Ir. Santiamer Silalahi, resmi melaporkan Kapolsek Cidahu AKP Endang Slamet, Kapolres Sukabumi AKBP Dr. Samian, dan Kapolda Jawa Barat Irjen Pol. Rudi Setiawan ke Divisi Propam Mabes Polri, Jakarta (17/7/2025)

IndonesiaVoice.com – Sore yang semula diharapkan menjadi momen refleksi spiritual bagi 36 anak-anak Kristen berusia 10-14 tahun, berubah menjadi mimpi buruk pada Jumat, 27 Juni 2025. 

Di sebuah vila tenang di Desa Cidahu, Kecamatan Cidahu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, suasana mendadak mencekam saat ratusan orang mendobrak masuk dan memaksa pembubaran acara retret anak-anak tersebut.

Tidak hanya membubarkan acara, massa yang mengamuk juga merusak pagar, bangunan vila, bahkan menghancurkan simbol-simbol keagamaan seperti salib besar dan poster bergambar Tuhan Yesus. 

Anak-anak yang tengah mengikuti kegiatan rohani dilaporkan mengalami trauma akibat kekerasan fisik dan psikis yang mereka saksikan dan alami langsung.


Baca juga: GAMKI Temui PBNU, Adukan Intoleransi dan Usul Konsensus Nasional Lintas Iman

retret anak vila cidahu
Lembaga Bantuan Hukum Yayasan Galaruwa Nusantara Abadi (LBH YGNA) mendatangi Vila Cidahu, Jawa Barat, 16 Juli 2025.

Merespons insiden memilukan itu, Lembaga Bantuan Hukum Yayasan Galaruwa Nusantara Abadi (LBH YGNA) mengambil langkah hukum. 

Pada 17 Juli 2025, Ketua LBH YGNA, Ir. Santiamer Silalahi, resmi melaporkan Kapolsek Cidahu AKP Endang Slamet, Kapolres Sukabumi AKBP Dr. Samian, dan Kapolda Jawa Barat Irjen Pol. Rudi Setiawan ke Divisi Propam Mabes Polri.

Kronologi: Dari Retreat Damai Menuju Teror Massa

Retret diadakan di vila milik Bapak Yongki, seorang warga lokal yang telah lama membuka pintu rumahnya untuk kegiatan rohani lintas komunitas. 

Seperti biasa, Bapak Yongki telah memberitahukan aparat desa mengenai rencana kegiatan dan mendapat izin informal, termasuk dari ketua RT yang bahkan meminta dokumentasi kegiatan tersebut.


Baca juga: Kasus Ijazah Palsu Jokowi Naik ke Penyidikan, Ketum Bara JP, Willem Frans Ansanay: Ini Konsekuensi Fitnah, Bukan Kriminalisasi

Namun, tak disangka, pada siang hari setelah ibadah Jumat, sekelompok massa mulai berdatangan. Gelombang pertama berjumlah sekitar 15 orang, berhasil ditenangkan oleh aparat. 

Namun, sekitar pukul 13.30 WIB, gelombang kedua datang—ratusan orang dengan wajah beringas, meneriakkan tekanan dan memaksa masuk ke vila.

Anak-anak yang tengah berada di kamar-kamar mereka panik. Massa mendobrak pintu, naik ke lantai dua tempat ruang doa berada, dan di sinilah penistaan simbol agama terjadi. 

Salib besar diturunkan dan dijadikan alat perusakan. Poster Yesus dirusak, salib kecil dicopot dari gantungan dan dibuang. 


Baca juga: Ketum DPP BARA JP, Willem Frans Ansanay, Tegaskan Warga Papua Terima Wapres Gibran Dengan Senang Hati

Bahkan salib besar diarak dan diinjak-injak di jalan raya—sebuah penghinaan terbuka terhadap keyakinan keagamaan.

Aparat yang Terkesan Pasif

Ketua LBH YGNA, Ir. Santiamer Silalahi, menyoroti sikap aparat yang dianggap pasif dan bahkan diskriminatif. 

AKP Endang Slamet, Kapolsek Cidahu, dalam keterangannya di lokasi menyebut bahwa “wilayah Cidahu diperuntukkan hanya untuk yang beragama Islam”. 

Pernyataan ini, menurut LBH YGNA, sangat bertentangan dengan semangat konstitusi dan Pancasila.


Baca juga: Terobosan St Morita Farma, Andaliman Jadi Bahan Baku Kosmetik Pertama yang Disetujui BPOM!

Lebih jauh, Forum Komunikasi Pimpinan Kecamatan (Forkopimcam), bersama tokoh agama dan MUI setempat, juga menyerukan agar pelaku tidak diproses hukum dan cukup diselesaikan secara musyawarah. 

Ini dinilai LBH YGNA sebagai bentuk pembiaran atas tindak intoleransi dan persekusi terhadap minoritas.

Laporan ke Mabes Polri 

LBH YGNA menilai bahwa penanganan kasus oleh Polres Sukabumi pun hanya menyentuh aspek perusakan pagar dan bangunan, tanpa menyentuh isu yang lebih substansial yakni penistaan simbol agama dan kekerasan terhadap anak. 

Padahal, perusakan simbol agama merupakan delik biasa, bukan delik aduan. Polisi seharusnya bertindak tanpa menunggu laporan.


Baca juga: Mengurai Jalan Keadilan Agraria, Orasi Ilmiah Prof. Dr. Aarce Tehupeiory di UKI

Kini, laporan resmi terhadap ketiga perwira kepolisian itu telah diterima Divisi Propam Mabes Polri, dan LBH YGNA menyatakan akan melanjutkan dengan pelaporan tindak pidana penistaan agama (Pasal 156 KUHP) serta kekerasan terhadap anak-anak (Pasal 76C dan 80 UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak).

Intoleransi yang Mengancam Konstitusi

LBH YGNA menekankan bahwa peristiwa ini bukan sekadar kasus lokal. “Ini adalah luka bagi kebhinekaan,” ujar Ir. Santiamer. 

Ia menambahkan bahwa akar dari intoleransi seperti ini bisa jadi berakar dari narasi-narasi lama, termasuk penolakan terhadap Piagam Jakarta dan semangat untuk menjadikan Indonesia sebagai negara mayoritas yang tidak ramah pada minoritas.

Peristiwa di Cidahu, menurutnya, harus menjadi perhatian nasional. “Jika dibiarkan, ini akan menjadi preseden buruk. Negara harus hadir melindungi semua anak bangsa, tanpa melihat latar belakang agama dan etnis,” tegasnya.


Baca juga: Dr John Palinggi: Polri di Usia 79, Dekat dengan Masyarakat, Modern, dan Penuh Integritas

Cidahu yang seharusnya menjadi tempat pelarian sejenak dari hiruk pikuk kota, malah menjadi saksi bisu dari sebuah kekerasan yang mengoyak nilai-nilai kebebasan beragama dan perlindungan anak. 

Kini, bola panas ada di tangan Mabes Polri, apakah akan membiarkan luka ini terus menganga, atau berdiri tegak di sisi konstitusi?

(Victor)

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*