
Jakarta, IndonesiaVoice.com – Kementerian Hak Asasi Manusia (HAM) Republik Indonesia menggelar manuver terbaru dalam konflik agraria yang tak kunjung usai antara masyarakat Sumatera Utara dengan raksasa bubur kertas, PT Toba Pulp Lestari (TPL).
Setelah mendapat mandat dari Komisi XIII DPR RI, Menteri HAM Natalius Pigai membentuk Tim Khusus elit, menjanjikan bahwa keadilan akan diukur secara mutlak dari sudut pandang pihak yang paling lemah yaitu masyarakat yang terdampak.
Namun, di tengah janji ini, muncul pertanyaan mendasar yakni Mampukah intervensi pemerintah kali ini membongkar simpul masalah multi-dimensi dan menahan kekuatan korporasi yang telah bertahun-tahun memicu sengketa?
Baca juga: Ultimatum BATAK CENTER: Pemerintah Diminta Bekukan Izin PT TPL Jika Terbukti Abai
Membedah Komposisi dan Mandat Tim Khusus
Tim yang baru dibentuk ini dipimpin oleh Dirjen Pelayanan dan Kepatuhan HAM, Munafrizal Manan, dan diperkuat oleh tenaga ahli kaliber seperti Ahmad Taufan Damanik (mantan Ketua Komnas HAM), Ester Indahyani Jusuf, dan Yos. Tim ini telah melakukan peninjauan lapangan, mengumpulkan data, fakta, dan informasi.
Pigai secara tegas menyatakan keadilan hanya akan tercapai ketika “orang yang berada di titik lemah” – yakni korban, keluarga korban, dan masyarakat luas – menyatakan puas dan adil.
“Sampai pada kata terakhir adalah menurut kehendak masyarakat lokal, masyarakat berdampak, masyarakat yang kecil, masyarakat yang lemah menyatakan saya puas dan adil. Di situ baru nanti Kementerian HAM akan menyatakan selesai,” urai Natalius Pigai dalam konferensi pers di Lobby Kementerian HAM, Jakarta (2/12/2025).
Sikap ini, meski terdengar pro-rakyat, menempatkan beban berat pada pemerintah dan korporasi. Pemerintah didorong tidak hanya mencari solusi teknis, tetapi juga solusi yang sepenuhnya diakui oleh pihak terlemah, sebuah standar yang sangat tinggi dalam konflik agraria berlarut.
Tiga “Sumbatan” Krusial
Dari peninjauan awal, Tim Khusus mengidentifikasi tiga bottleneck (titik sumbatan) utama yang menunjukkan betapa kompleksnya tumpang tindih masalah di lapangan:
- Tapal Batas Dualisme: Adanya dua versi batas wilayah yang saling bertentangan—versi perusahaan dan versi masyarakat—memerlukan jalan tengah yang sulit.
- Multiversi Kepemilikan Lahan: Data lahan yang berbeda-beda antara versi masyarakat, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), dan Kementerian Kehutanan. Ini mengindikasikan adanya kelemahan fundamental dalam sinkronisasi data antar-institusi negara, yang selama ini menjadi celah konflik.
- Ancaman Kunci Budaya: Problem pelestarian nilai budaya lokal yang berpotensi “terkunci” atau hilang akibat perluasan operasional perusahaan.
Baca juga: Usulkan Gugat Massal (Class Action), Dr. JS Simatupang Ungkap Jalan Hukum Membongkar Aib TPL
Ahmad Taufan Damanik menambahkan, tim baru saja pulang dari Sumatera Utara setelah bertemu dengan Wakapolda Sumut, Gubernur Sumut, kepala-kepala daerah dan tokoh masyarakat dari enam kabupaten bersengketa, hingga perwakilan Kementerian Kehutanan dan ATR/BPN. Pengecekan langsung di lapangan mengenai tata batas menjadi agenda krusial yang akan dilanjutkan.
Ujian Kredibilitas di Tengah Tekanan Opini dan Korporasi
Natalius Pigai menekankan, Kementerian HAM, yang diisi oleh para veteran penanganan kasus (termasuk dirinya dan Taufan Damanik yang disebutnya “sudah katam” menangani ribuan kasus), tidak akan gegabah atau mengikuti “kehendak opini”. Penanganan kasus akan didasarkan pada fakta, data, peristiwa, dan kehendak orang paling terlemah.
Pernyataan ini secara implisit adalah respons terhadap berbagai pihak yang selama ini menyuarakan pandangan.
Baca juga: DPR DIBOHONGI? Jejak Janji Palsu TPL di Hadapan Wakil Rakyat dan Penderitaan Masyarakat Adat
Ujian kredibilitas Kementerian HAM kini terletak pada kemampuannya untuk menahan tekanan korporasi besar dan menyelaraskan data multi-lembaga negara (ATR/BPN, Kehutanan) agar selaras dengan klaim masyarakat.
Jika kementerian gagal menemukan solusi yang secara tulus diakui adil oleh masyarakat, komitmen “keadilan terukur” ini berisiko menjadi retorika tanpa dampak nyata, mengulang siklus konflik TPL yang telah lama membelenggu Sumatera Utara.

Be the first to comment