Daur Ulang Sampah, Membangun Ekonomi Sirkular dan Menciptakan Lapangan Kerja

daur ulang sampah ekonomi sirkular
Ir. Edward Tanari, M.Si, Praktisi Lingkungan Hidup

Daur Ulang Sampah, Membangun Ekonomi Sirkular dan Menciptakan Lapangan Kerja

Oleh: Ir. Edward Tanari, M.Si

(Praktisi Lingkungan Hidup. Tinggal di Bina Lindung – Kota Bekasi.)

 

Salah satu persoalan klasik yang terus berkembang seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dan pola konsumsi masyarakat saat ini  adalah sampah. Setiap hari, jutaan ton sampah dihasilkan oleh rumah tangga, industri, dan aktivitas ekonomi lainnya.

Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan bahwa Indonesia menghasilkan lebih dari 18 juta ton sampah per tahun, dan sebagian besar masih berakhir di TPA tanpa proses daur ulang yang memadai.

Khusus DKI Jakarta yang menjadi ibukota negara, masalah sampah sudah berada pada titik kritis sehingga penanganan sampah sudah harus menjadi salah satu prioritas.

Ada 7.500 – 8.000 ton sampah yang diproduksi tiap harinya. Dari jumlah tersebut, hanya sekitar 4.000 ton yang mampu dikelola  di hilir. Sisanya masih dibuang ke TPA atau tak tertangani dengan sempurna.

Tak ayal bila Pemda DKI Jakarta mengembangkan Refuse Derived Fuel (RDF) di Rorotan untuk mengubah sampah menjadi bahan bakar, namun baru berkapasitas 2.500 ton/hari. Sisanya sekitar 2.000 ton masih disuplai ke Bantargebang yang limit kapasitas alias hampir penuh.


Baca juga: Rentetan Kapal Tenggelam, Capt. Anthon Sihombing Minta Presiden Prabowo Evaluasi Dirjen Hubla Kemenhub

Banyak jenis sampah—seperti plastik, logam, kertas, dan organik— yang dapat didaur ulang menjadi produk bernilai jual tinggi. Jika tidak dikelola dengan baik, sampah dapat mencemari tanah, air, dan udara—mengancam kesehatan manusia serta merusak ekosistem.

Sejatinya, Indonesia telah memiliki fondasi hukum yang kuat untuk mengatasi persoalan sampah secara sistematis dan berkelanjutan.

Landasan utama penanganan lingkungan hidup diatur dalam Undang-Undang Nomor 32  Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Undang-undang ini menegaskan bahwa setiap orang memiliki hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, sekaligus kewajiban untuk menjaga dan melestarikannya.

Lebih khusus, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah mengubah cara pandang terhadap sampah: dari sekadar limbah yang dibuang, menjadi sumber daya yang dapat dimanfaatkan kembali.


Baca juga: Dr. John Palinggi: Jangan Perpanjang Polemik Ijazah Jokowi, Percayakan ke Hukum

Undang Undang ini mendorong pengelolaan sampah secara menyeluruh, mulai dari pengurangan sampah di sumbernya, pemilahan, hingga daur ulang dan pemanfaatan kembali. Konsep 3R—Reduce, Reuse, dan Recycle— menjadi prinsip utama dalam kebijakan ini.

Untuk memperkuat implementasi, pemerintah juga telah mengeluarkan berbagai peraturan turunan, seperti: Perpres No. 97 Tahun 2017 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga, yang menargetkan pengurangan 30 persen sampah dan penanganan 70 persen sampah pada tahun 2025. Permen LHK No. P.75/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2019 tentang Peta Jalan.

Pengurangan Sampah oleh Produsen, yang mendorong produsen untuk bertanggung jawab atas sampah kemasan produknya. Sayangnya, tantangan di lapangan masih besar: minimnya fasilitas daur ulang, lemahnya kesadaran masyarakat, dan terbatasnya penegakan hukum sering menjadi hambatan.

Oleh karena itu, pengelolaan sampah bukan hanya tugas pemerintah, tetapi tanggung jawab bersama seluruh elemen masyarakat. Kolaborasi antara pemerintah, swasta, dan masyarakat sipil sangat dibutuhkan agar regulasi yang sudah ada dapat berdampak nyata.


Baca juga: Audiensi dengan Bappenas, Ketum DPP PPPT JS Simatupang: Ada Celah Pemekaran Daerah dalam RPJMN Prabowo-Gibran

Ekonomi Sirkular dan Peluang Kerja

 Di tengah krisis lingkungan akibat peningkatan volume sampah dan eksploitasi sumber daya alam, ekonomi sirkular hadir sebagai pendekatan baru yang berkelanjutan.

Salah satu pintu masuk yang paling relevan untuk Indonesia adalah melalui pengelolaan sampah. Sampah, yang sebelumnya dianggap beban dapat menjadi motor penggerak ekonomi baru yang inklusif, berkelanjutan, dan membuka peluang kerja di berbagai lini.

Dalam ekosistem ekonomi sirkular, proses seperti pemilahan, daur ulang, pengomposan, produksi ulang (remanufacturing), hingga  pemanfaatan limbah sebagai energi (RDF atau biogas) menciptakan rantai nilai baru.

Ini membuka berbagai lapangan kerja: dari pemulung, pengepul, pelaku UMKM daur ulang, teknisi pengolah limbah, hingga inovator produk ramah lingkungan.

Beberapa studi memperkirakan bahwa sektor daur ulang sampah  di Indonesia memiliki potensi nilai ekonomi mencapai puluhan triliun rupiah per tahun.


Baca juga: TPL Rugikan Alam dan Investor, Siapa Diuntungkan?

Misalnya: Sampah plastik bisa diolah menjadi bijih plastik daur ulang, paving block, bahkan bahan bangunan. Sampah organik bisa diolah menjadi pupuk cair hayati, kompos dan biogas. Limbah elektronik (e-waste) mengandung logam berharga seperti emas dan tembaga yang bisa diproses ulang.

Program Bank Sampah, yang kini berjumlah lebih dari 11.000 unit di seluruh Indonesia, menjadi contoh nyata bagaimana pengelolaan sampah bisa  diubah menjadi kegiatan ekonomi produktif masyarakat.

Pengelolaan  sampah pun dapat bersifat padat karya sehingga dapat melibatkan banyak orang. Disamping itu, teknologi pengelolaan sampah pun masih relatif sederhana sehingga dapat dilakukan oleh berbagai kalangan masyarakat tanpa mensyaratkan tingkat pendidikan.

Sebagai contoh, pengolahan cairan lindi menjadi pupuk cair/organik hayati. Cairan lindi yang baunya sangat menyengat keluar dari tumpukan sampah yang telah melarutkan zat berbahaya, dapat diolah menjadi pupuk organik/hayati cair yang memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi.

Cairan lindi di TPA ditampung dalam kolam-kolam Instalasi Pengolahan Air Sampah (IPAS) yang jumlahnya cukup besar. Sebagai contoh kasus, TPA Karang Diyeng di Mojokerto yang berada di atas lahan seluas 4,5 ha memiliki 6 buah kolam penampungan cairan lindi dengan kapasitas rata-rata 600.000 liter per kolam/tahun.


Baca juga: Ketum DPP BARA JP, Willem Frans Ansanay, Tegaskan Warga Papua Terima Wapres Gibran Dengan Senang Hati

Cairan lindi ini bertambah seiring dengan pertambahan jumlah sampah setiap saat. Jika cairan lindi tersebut diproses menjadi pupuk cair dengan harga jual rata-rata pupuk hayati cair di pasaran sebesar 50.000 per liter.

Maka nilai ekonomi sebuah kolam adalah 600.000 liter x 50.000 rupiah sama dengan 30 milyar rupiah per kolam/tahun. Sebuah angka yang sangat signifikan dalam pengelolaan sampah.

Proses produksi tidak memerlukan teknologi yang mahal dan rumit. Selain itu, proses pengelolaannya pun dapat dilakukan dengan padat karya.

Demikian juga pengembangbiakan Maggot/BSF- Black Soldier Fly– larva lalat tentara hitam (Hermetia illucens) yang fase pertumbuhannya digunakan mengurai sampah organik, larvanya dapat dijadikan pupuk cair biokonversi serta pakan ternak.

Dilaporkan bahwa program BSF DKI Jakarta yang digunakan menunjang pengelolaan sampah telah berkembang dari inisiatif kecil (rumah maggot) menjadi strategi pengolahan sampah organik sistemik dengan pola per daerah.


Baca juga: Hidup yang Mengalir, Jejak Inspiratif Robert Sitorus di Usia 70 Tahun

Manfaatnya sangat nyata dalam pengurangan sampah ditingkat RT dan wilayah, pengolahan produk bernilai, dan pemberdayaan warga serta petugas.

Gambaran ini menjadi sebuah informasi yang penting dalam rangka pengelolaan lebih lanjut ke dalam skala ekonomi sirkular yang dapat memberi peluang kerja bagi masyarakat.

Hanya dibutuhkan intervensi minimal dari pemerintah dalam bentuk edukasi, permodalan-bisa melalui Koperasi-Merah Putih- dan kolaborasi antar  lembaga atau bidang agar program bisa berjalan secara simultan dan berkelanjutan.

Intervensi Pemerintah

Agar potensi ini benar-benar terwujud menjadi lapangan kerja yang luas dan berkelanjutan, diperlukan intervensi nyata dari pemerintah, antara lain melalui:

  1. Insentif Ekonomi, subsidi atau insentif pajak bagi industri daur ulang dan produsen yang menjalankan extended producer responsibility (EPR) serta pemberian dana bergulir untuk UMKM dan Koperasi berbasis sampah. 2. Peningkatan Infrastruktur, fasilitas TPS3R (Tempat Pengolahan Sampah Reduce-Reuse-Recycle), bank sampah digital, dan TPA ramah lingkungan serta akses terhadap teknologi daur ulang yang terjangkau dan efisien. 3. Penguatan Kapasitas SDM dan Edukasi Publik, pelatihan keterampilan untuk masyarakat (pemilahan, daur ulang, pembuatan produk upcycle) serta edukasi rutin soal ekonomi sirkular dan peran individu/komunitas. 4. Penegakan Hukum dan Pengawasan, penguatan pengawasan terhadap produsen dan pelaku usaha yang tidak mematuhi kewajiban pengurangan sampah serta penerapan sanksi yang tegas dan konsisten. 5. Kolaborasi antar lembaga pemerintah dan masyarakat, kolaborasi misalnya antara kementerian lingkungan hidup dan kementerian pertanian dalam pemanfaatan produk pupuk cair hayati/organik. Dibeberapa belahan dunia, pertanian ramah lingkungan menjalankan program yang dikenal dengan istilah Low Input Sustainable Agriculture (LISA). Sebuah pertanian ramah lingkungan ber-input rendah yang menekankan pada efisiensi penggunaan sumberdaya alam, pengurangan input kimia sintetis, serta pemeliharaan keberlanjutan ekosistem pertanian. Pertanian serupa ini dibutuhkan dalam rangka mendukung proses pemanfaatan hasil produksi dari pengelolaan sampah organik agar ekonomi sirkular dan pertanian bisa berjalan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.



Baca juga: Mengurai Jalan Keadilan Agraria, Orasi Ilmiah Prof. Dr. Aarce Tehupeiory di UKI

Ekonomi sirkular berbasis sampah bukan sekadar wacana lingkungan, tetapi peluang ekonomi nyata yang inklusif dan berkeadilan.

Dengan mendorong kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, pelaku usaha, dan akademisi, Indonesia dapat memanfaatkan krisis sampah sebagai jalan menuju ekonomi sirkular yang menciptakan pekerjaan, menjaga lingkungan, dan memperkuat ketahanan sosial.

Kini saatnya mengubah cara memandang sampah—bukan sebagai akhir, tetapi sebagai awal dari siklus ekonomi berkelanjutan yang memberi harapan ditengah kelangkaan lapangan kerja saat ini. Semoga!

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*